Cappucino to Lose

Souce picture : www.thedieline.com

            Musim gugur London selalu menyenangkan. Setidaknya, begitulah yang Jonathan Ivanov rasakan saat ia berjalan selepas turun dari taksi sembari menghirup angin autumn yang terasa amat menyenangkan. Pria berdarah Rusia ini kini tengah berlari kecil menaiki tangga di depan flat. Tapi, saat sampai di tangga nomor tiga dari bawah, ia melihat sekilas bahwa ada kedai kopi kecil di seberang jalan. Dia berpikir sejenak, lalu membalikan tubuhnya dan menyeberang menuju kedai kopi itu.

            “Aku terlalu suka capuccino, bahkan tiada hari yang bisa aku lewati jika belum menyesap kopi itu.” Jo ingat betul betapa seseorang yang meninggali flat di lantai tiga gedung seberang itu begitu mencintai capuccino. Dan, jadilah ia membeli segelas capuccino dengan sedikit sekali krimer di dalam gelas karton. Gelas itu tertutup, tapi Jo bisa merasakan asap yang mengepul dari celah-celah tutup gelas itu.

            Jo menghela napas. Dia berharap kopi ini bisa membuat segalanya menjadi lebih baik—setidaknya bagi Hanna.
---

            Flat di lantai tiga, rumah ke tiga. Milik Hanna.

            Jo sudah sampai di depan pintu flat Hanna. Pintu ber-cat soft-black itu nampak anggun dan elegan, tapi dingin. Sama seperti sang empunya flat. Ia menekan bel yang terletak di sudut pintu itu sekali.

            Dua kali.

            Tiga kali.

            Empat kali.

            Tidak ada sahutan. Mengherankan. Apa Hanna masih terlelap? Jo pikir, Hanna bukan tipe gadis yang bangun di siang hari. Ini sudah pukul sembilan pagi, dan London tampak semakin sibuk. Apa terjadi sesuatu di dalam? Atau, Hanna tidak berada di rumahnya? Tapi, ke mana gadis itu akan pergi? Jo sudah mendapat informasi akurat bahwa hari ini Hanna tidak memiliki janji dengan siapapun atau jadwal akan mengunjungi tempat manapun. Itu semua didapatkannya dari Elena—adik Hanna sekaligus teman satu flatnya.

            Jo menekan bel sekali lagi. Dan, masih tidak ada sahutan sampai seseorang menepuk pundaknya dan memanggil namanya dengan nada terkejut.

            “Jonathan?”

            Itu Hanna.
                                                                          ---

            Hanna tidak tahu apakah ia harus terkejut, bahagia, marah, atau sedih melihat seorang Jonathan Ivanov tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Ia berdiri di depan flatnya, menekan bel, dan di tangan kirinya ia memegang segelas kopi dengan label yang ia kenali—milik kedai di seberang jalan. Hanna terpaku beberapa detik di tempatnya, ia terlalu shock untuk sekadar berjalan menuju pria itu, menyapanya, dan menanyakan tujuannya mengapa ia tiba-tiba datang ke London mengingat bahwa Rusia-Inggris tidak bisa dijangkau hanya dengan sekali naik kereta bawah tanah.

            Ia baru saja membeli bahan makanan untuk satu bulan ke depan di LiDl, kemudian berhenti sejenak di kafe hamburger yang baru buka minggu lalu itu—dan kata Elena sangat enak dengan variasi daging yang diracik sendiri oleh pemilik kedai itu—untuk mencoba roti isi itu sekaligus sebagai menu sarapannya. Kemudian, ketika sampai di depan flatnya, ia menemukan Jo berdiri gelisah di sana. Hanna nyaris mengira bahwa hamburger tadi beracun dan racun-racun itu mulai merusak lakmus-lakmus otaknya sehingga ia sampai berhalusinasi tentang Jo yang tiba-tiba mengunjunginya. Tapi kemudian, Hanna sadar bahwa Jo yang berdiri di depan pintu flatnya itu memang nyata dan bukan hanya fantasinya saja. Tapi, ada apa? Dan ... bagaimana bisa?

            Sebentar. Jonathan Ivanov.

            Hanna tiba-tiba mengingat sesuatu yang membuat jantungnya seperti diremas dalam beberapa saat. Ada perih yang menggerayangi dadanya. Sepertinya, Hanna tahu mengapa pria itu tiba-tiba datang ke flatnya pagi ini.

             “Jonathan?”

            Jo menengok dan mata kelabunya mendapati sesosok wanita berambut berombak sebahu itu sudah berdiri tepat di belakangnya. Menenteng dua plastik besar yang nampak penuh dan berat. Jo tiba-tiba kehilangan suara begitu Hanna sudah ada di hadapannya. Karena, sosok Hanna seperti tidak nyata. Tampak kabur dan abu-abu. Ia tidak percaya bahwa apa yang ia lihat kini adalah Hanna yang sama dengan sosok yang begitu ia cinta, dan Hanna yang sama dengan sosok yang terpaksa ia lepaskan dua tahun lalu, karena keadaan tidak berpihak pada mereka.

            Jo tiba-tiba merasa bawha semesta mengancamnya; hendak menikam ia saat itu juga. Seketika, keberaninya luntur; lenyap tak berbekas, luluh lantak. Ketakutan yang ia rasakan selama dua tahun lamanya kembali. Menelusup dalam relung-relung di mana masih disinggahi oleh Hanna; penyebab dari semua ketakutan-ketakutan itu. Ia takut jika ia kembali ke sini, ia justru akan kehilangan gadis ini lagi.

            “Hai, Jo? Are you ok?” tanya Hanna sembari melambaikan tangannya tiga puluh sentimeter di depan wajah pria itu. Jo terkesiap dan mengerjapkan matanya. Hanna mengerling heran.

            “Hai, Hann—“

            Mereka berdua saling menatap. Dan bumi nyaris seperti berhenti berotasi.

---

            Jo memperhatikan sekeliling flat yang ditinggali oleh Hanna dan Elena ini. Bergaya klasik, minimalis, dan sederhana tapi tidak biasa saja. Kesan elegan tampak begitu mendominasi. Begitu masuk ke flat itu, akan ada sebuah ruang tamu mungil yang temboknya didominasi wallpaper vintage berwarna abu-abu. Terdapat sebuah sofa yang berukuran sedang berwarna hitam, di seberangnya—yang dibatasi sebuah meja—ada dua sofa untuk satu orang berwarna putih bersih. Jo suka cara Hanna—dan mungkin dibantu Elena—dalam mendesain ruang tamu ini.

            Selain itu, aroma floral dari bunga lily bersenyawa dengan atmosfer ruangan ini. Tenang dan menyegarkan. Tapi, begitu Jo sedang menikmati wangi lily, aroma lain yang lebih halus dan lembut menggantikannya. Body Burberry, parfum ini favorit Hanna.

            Hanna membawa nampan berisi dua cangkir teh dan sepiring kue-kue kering. Ia meletakkan suguhan itu, lalu kembali ke belakang. Jo mencegatnya, “Hann, tak perlu repot-repot.”

            Ia tersenyum kecil, “Tidak, Jo. Lagipula, mana mungkin aku mengabaikan tamu yang datang jauh-jauh dari Rusia?”

            Mana mungkin.          

            “Hei, Hann, kau seharusnya mengabaikanku.” Kata Jo, sedikit mencoba jenaka. Membuat Hanna memperlebar senyumnya.

            “Ya, mungkin seharusnya begitu, ya, Jo.” Dia mengedikan bahu. “—tapi aku tidak bisa.”

            Hanna berlalu menuju ke belakang dan meninggalkan Jo yang termenung sendirian. Sesungguhnya, Jo terkejut melihat reaksi Hanna perihal kedatangannya ke London yang tiba-tiba ini. Ia sudah siap seandainya Hanna akan mengamuk lalu memanggil satpam untuk mengusirnya pergi dari tempat ini. Tapi, alih-alih akan marah atau menamparnya, Hanna malah menyuruhnya masuk; dan menyuguhi Jo dengan teh dan kue-kue itu. Jo menghela napas, betapa Hanna masih sama.

            Hanna kembali menuju ruang tamu. Kemudian duduk di sofa besar. Diam-diam, Jo memperhatikan gerak-gerik Hanna. Ia duduk dengan gelisah, tapi ia mencoba tetap tampak cool dan elegan. Jo tersenyum, Hanna masih semenggemaskan dulu.

            “Jadi, apa kau sudah menerima paketku?” Jo memecah keheningan. Hanna terkejut, ia tidak menyangka bahwa Jo akan se-to the point ini. Ia mengira bahwa Jo akan sedikit berbasa-basi, menceritakan tentang perjalanannya dari Rusia menuju Inggris, mengeluh tentang jet lag, atau cerita apa yang telah dilewatkan Hanna dalam hidup Jo selama mereka berpisah. Hanna menghela napas, ia sadar bahwa seharusnya ia tak perlu berharap banyak tentang hal itu.

            “Ya ...”

            “Lalu?”

            “Apanya yang ‘lalu’?”

            Jo memandang Hanna takjub, mengira bahwa gadis itu sedang berpura-pura tidak tahu atau tidak paham tentang pertanyaannya. Sementara Hanna balas memandang heran, ia benar-benar tidak mengerti apa maksud dari pertanyaan Jo.

            “Hff—Hann, jangan begitu ...”

            “Oh, come on, Jonathan, aku serius tidak mengerti apa maksudnya.” Terang Hanna.

            Jo menghela napas, “Apa kau akan datang?” tanya Jo pelan-pelan. Tapi, suara berat itu malah membuat Hanna mengunci bibirnya rapat-rapat. Cukup sakit untuk menjawab pertanyaan itu mengingat bahwa Hanna belum sepenuhnya melupakan Jo. Atau mungkin dia malah belum melupakannya sama sekali.

            Hanna menghela napas, mengapa Jo tak pernah paham?

            “Untuk pernikahanmu ... aku belum memikirnya, Jo.” Terang Hanna, sedikit berpura-pura tegar.

            “Apa kau tak mau melihatku melepaskan masa lajangku?”

            “Aku mau, Jo, seandainya aku sudah tidak mencintaimu.”

            Jonathan terkejut mendengar penuturan Hanna. Ia tidak menyangka bahwa Hanna akan sejujur ini mengungkapkan perasaannya. Jo tidak mengira—sama sekali tak mengira bahwa ternyata Hanna masih mencintainya. Setelah semua yang terjadi dulu, setelah semua yang telah dunia lakukan pada mereka berdua. Jo pikir semua telah menghilang. Tentu saja, selain kesedihan yang tak tahu jalan pulang, tak ada yang bisa mereka harapkan dari hubungan itu. Dulu, Jo melepaskan Hanna karena ia ingin melihat gadis itu bahagia tanpanya.

            Tapi, mengapa Hanna malah terlihat semakin muram?

            “Jo, sejak kau pergi semua tidak berjalan seperti yang kauduga. That day arrived and it was so damn hard but the next was harder. I wasn’t going to be okay for a very long time.” Hanna menghela napas, “Why you never understand?”

            “Kau tahu semua tak lagi sama, Hanna. Terlebih, dunia tak berpihak pada kita, kau tahu.” Jo tahu bahwa Hanna menahan air matanya, tapi ia sendiri pun masih dengan sangat baik merasakan rasa sakit itu. Rasa sakit yang sama persis seperti dulu. Rasa sakit karena kehilangan.

            “I have losing myself in the midst of losing you, Jo.” Hanna sudah tidak kuasa lagi menahan krintal bening itu meluncur bebas di pipinya. Dengan spontan ia menghapus dengan bahunya.

            Jo terpaku. Keinginannya memeluk Hanna tiba-tiba menguat lagi. “Would you hug me?”

            “Nope. Kau mau membuatku semakin tidak bisa melepaskanmu untuk menikahi Tatyana?”

            Hening. Suasana agak mencair. Hanna sudah cukup bisa mengendalikan diri untuk tidak mengatakan perasaannya selama Jo—atau mungkin dirinya pergi. Akan terlalu banyak, tentu saja. Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah perpisahan. Hanna cukup tahu diri untuk tidak menangisi kehilangan yang seharusnya sudah lama lapuk itu. Seharusnya Hanna bisa menerima semuanya bahwa Jo kini bukan lagi miliknya. Hanna seharusnya bisa memahami hal itu. Tapi, mengapa bagi Hanna semua begitu sulit?

            “Aku sebetulnya membawakanmu cappucino.” Jo meraih gelas karton yang tadi ia letakkan di atas meja. “Aku ingat kau suka kopi ini.”

            Hanna menerima uluran gelas dari Jo, tapi tak segera meminumnya melainkan meletakkannya kembali di meja.

            “Jo, aku tidak bermaksud mengusirmu, tapi sebaiknya kau pulang,” kata Hanna. Jo menatap mata biru Hanna yang berkilau.

            “Pulang?”

            “Iya, pulang ke tempat seharusnya kau kembali,” Hanna mendesah, “Yang pasti bukan di sini.

            Hanna berdiri, yang diikuti oleh berdirinya Jo. Seperti sudah memahami maksud Hanna, Jo melangkahkan kakinya menuju pintu. Ia akan menuruti permintaan Hanna, jika hanya itu yang mampu membuatnya lega. Terlalu jauh untuk bahagia, bahkan dua tahunpun tidak cukup.

            Sebelum menutup pintu, Hanna menyempatkan diri untuk berkata, “Aku akan menyempatkan diri untuk datang, Jo, peryalah.”

            Jo mengangguk dan kemudian berlalu pergi. Ia menuruni anak tangga dan kemudian lenyap di telan kerumunan orang-orang London yang berlalu lalang. Hanna masih terpaku di balik pintu yang tertutup. Ia menimbang keputusannya, apakah ia akan datang ke pernikahan Jo atau tidak. Hanna tahu benar bahwa hal itu akan sangat menghancurkan hatinya.

            Ia melangkahkan kaki menuju kursi ruang tamu dan duduk di sana. Teh dan kue-kue yang ia sajikan untuk Jonathan masih seperti saat ia letakkan tadi. Terang saja bahwa Jo bahkan tidak menyentuhnya sama sekali. Lalu, gelas karton berisi cappucino yang Jo belikan untuknya. Perlahan, air matanya menetes lagi.

            Masih ada waktu seminggu untuk Hanna menyembuhkan hati.

Komentar

What's most