Snap!
Senyumnya adalah nomor satu dari bagian yang paling
kuhapal. Yang kedua adalah, bagaimana dia menggunakan Winchester 70 kebanggaannya. Dari puncak
gedung tertinggi di Beika, mengarahkan moncong senapan pada target dari jarak
jauh; dan yang menganggumkan, dia tak pernah meleset. He is my beloved silver bullet.
Dan, dia tak hanya lihai menembakkan peluru ke arah
musuh, tapi juga pandai memperlihatkan pesona itu padaku. Pesona yang
mengagumkan dan memabukkan, sampai aku sadar bahwa aku sudah jatuh terlalu
dalam pada pesona itu.
Shuu adalah nama pria itu. Sosok dari setiap doa yang
kadang kuselipkan pada tiap tugasnya sebagai FBI. Ketika dia menangani
kasus-kasus yang membahayakan nyawanya, rasa khawatir yang hadir tak pernah
berhasil kutepis. Oh, ya, dia adalah rekan kerjaku. But my feeling is more than friend.
Cinta yang kurasakan ini hanya mampu kusembunyikan dalam
setiap sikapku. Karena sejak awal, bahkan sejak pertama kali aku sadar bahwa aku
mulai mencintainya ..
Aku tahu;
Dia tak akan pernah merasakan hal yang sama.
Hatinya masih tertinggal pada sebuah nama. Sebuah nama
yang seharunya sudah lama mati, tetapi tetap hidup dan abadi pada ingatan dan
hati Shuu. Sometimes, I have no idea about this. Pria sekuat
dia punya titik lemah pada masa lalu dan cintanya. Pria sekuat dia tak bisa
melupakan Akemi Miyano. Pacarnya yang penjahat itu. Ha-ha, ok, I know. Dia
bukan penjahat, tapi dia mantan anggota organisasi kejahatan.
Shit, apa aku
harus mengaku bahwa sebenarnya aku cemburu pada orang yang sudah tewas itu?
---
“Shuu,” panggilku lirih pada pria itu. Kami berdua kini
tengah berada di atap sebuah gedung di pusat Tokyo. Shuuichi Akai sedang
memandang ke arah gedung-gedung di sekitar. Gerlap-gerlip lampunya membuat
nuansa malam di Tokyo semakin manis dan romantis. Ini salah satu sebabnya aku
betah di kota ini.
“Apa, Jodie-chan?” tanyanya sembari melirik sekilas ke
arahku. Aku berjalan menuju sebelahnya dan berdiri di sampingnya. Turut melihat
pemandangan itu.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku.
Shuu menghela napas pelan. Dia tak menengok ke arahku,
tapi tetap fokus pada pemandangan gerlip lampu gedung di sana. “Aku hanya
sedang mengingat sesuatu ...” katanya pelan.
“Mengingat atau merindukan?”’ tanyaku sedikit
mendesaknya. Sudah dapat kutebak akan ke mana arah pembicaraan ini.
Shuu tertawa getir. Ada nada sedih terdengar lirih dari
tawanya itu. Tawa yang terkesan dipaksa, tawa yang seakan dipakainya untuk
menyembunyikan luka yang dimilikinya. Tawa yang selalu membuat hatiku terawa
sakit.
“Seperti yang kau tahu, Jodie. Akemi tak pernah pergi.”
“She had died!”
“Dia hidup di hatiku.”
Aku terdiam mendengar kata-katanya. Shuu-pun begitu.
Keheningan menguasai keadaan. Aku tidak tahu bagaimana cara untuk mencairkan
suasana yang terlanjur beku, dan Shuu bahkan tak terlihat berminat untuk
melakukannya. Aku mendesah, do you ever
know, Shuu?
“Shuu ...”
“Nande?”
“Apa kau tak pernah berusaha untuk melupakannya?” tanyaku
pelan dan hati-hati. Aku takut pria ini marah.
“Berusaha melupakannya sama seperti berusaha
membangkitkannya kembali dari kematian. Sulit dan tidak akan pernah mungkin,”
terangnya getir. Dia memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
“But, you must do
it! Kau tidak mungkin terus hidup dalam bayang-bayang gadis itu terus, kau—“
“Selagi aku tidak mati karenanya, selagi aku masih mau
makan dan berbicara, selagi aku masih dapat melaksanakan tugasku, aku akan
terus mengingat Akemi. Dan terus ... mencintainya.”
Aku merasa mataku panas mendengar jawabannya. Dadaku
sesak, tapi aku tidak mungkin menangis sekarang.
“Ke..napa, Shuu?”
“Jodie,” dia memanggil namaku. Ada jeda dua detik,
sebelum dia berkata, “Apa kau pernah temukan alasan untuk jatuh cinta?”
Shuu, aku tidak pernah temukan alasan untuk mencintaimu.
---
Aku baru saja datang ketika tahu bahwa Shuu pergi karena
mendapat panggilan dari Kir. James very
stupid! Bagaimana mungkin dia membiarkan Shuu pergi padahal dia sudah pasti
tahu bahwa itu adalah jebakan?
“Itu jebakan!” seruku emosi ketika mendengar Shuu pergi. James
yang memberitahuku.
“Stay calm, Jodie!
Dia akan bisa mengatasinya!”
“Dia bisa saja mati, Mr. James!” kataku semakin emosi.
Aku tak bisa menepis kekhawatiranku mengingat Shuu akan menemui seseorang dari
organisasi musuh.
“Jodie, what happen
with you? Shuu yang meminta agar ia diizinkan pergi, aku yakin dia sudah
tahu apa yang akan terjadi dan apa yang akan dilakukannya untuk itu!” aku
sedikit terdiam mendengar kata-katanya. Tapi, panik itu tak berhasil reda.
“But, James ...
I can’t, I ...” aku terduduk di kursi
sudut ruangan. James terdiam, Camel yang berapa di sebelahnya pun begitu.
Kemudian, mereka meninggalkanku sendiri. Menurutku, itu lebih baik. Aku butuh
waktu untuk menenangkan diri.
Aku merasa bahwa air mataku sudah turun sebutir. Aku
benar-benar tidak tahu bagaimana mengendalikannya, tapi aku mendadak seperti
mendapat firasat buruk.
Sebuah firasat bahwa aku tak akan pernah bertemu
dengannya lagi.
Komentar
Posting Komentar