Bintang Panggung
Riuh tepuk tangan para penonton menggelora memenuhi aula
ini. Semua tampak puas dengan penampilan seorang pria dengan nyanyiannya dan
gitar akustik. Beberapa dari penonton bahkan melakukan standing applause untuk memberikan apresiasinya terhadap pria yang
baru saja mengusaikan pernampilannya itu.
Pria itu nampak puas. Dengan gaya penuh kharisma, dia
membungkukan badannya. Dasi sepanjang tiga perempat dada dengan pangkal yang
tak terikat sempurna—tapi malah memberikan kesan seksi—turut melambai jatuh.
Dia tak henti memamerkan senyumnya yang mengagumkan. Senyum yang mampu membius
kesadaran kaum hawa. Senyum yang mampu menaklukan siapapun.
Begitu juga aku.
Dari sudut sini, kursi paling pojok di aula sekolah ini,
aku menyaksikan pria itu tampil. Lagu Dengar Bisikku kepunyaan The Rain yang
baru saja dia mainkan membuat mulutku tak henti menganga. Malam hari ini,
penampilannya sempurna. Bahkan sampai beberapa detik setelah dia selesai
perform, tepuk tangan masih belum berhenti. Sekali lagi, mulutku belum berhenti
menganga.
“Tutup mulutnya, Neng, laler aja udah bersarang di situ.”
Aku sontak menutup mulutku. Di sampingku, seorang pria dengan jas warna biru
tua tengah tersenyum sarkastik sambil menatapku. Aku balas menatapnya tak kalah
sewot. Dia Bagas, salah seorang teman sekelasku.
“Biarin! Bintang, ‘kan, memang keren! Emang kamu bisa?”
“Cih, gitar doang, mah, kecil.” Katanya menyatukan jari
telunjuk dan jempolnya sambil memasang wajah mengejek.
Aku tersenyum miring, “Tetap aja Bintang yang paling
keren!”
Ya, nama pria yang baru saja tampil itu Bintang. Seorang
pemain gitar yang selalu tampil berkilau di atas panggung—seperti namanya.
Seorang pria yang petikan nadanya selalu berhasil menyentuh hati siapapun.
Namanya Bintang, si gemerlap yang petikan nadanya; selalu
membuat hatiku ingin bernyanyi.
---
Aku mengenal Bintang sejak awal kami masuk ke sekolah ini
karena kami disatukan dalam satu kelas. Dia kukenal ramah, lucu, dan tentu
saja; tampan. Sejak awal kami mengenal, aku seperti mendapatkan kemistri yang
entah berasal dari mana. Bukan karena zodiak kami sama-sama gemini, tapi pria
itu terkesan magis dengan kemisteriusan dan ketertutupannya. Dia teman bicara
yang menyenangkan, sekaligus menyebalkan.
Dia dikenal sebagai sosok yang punya sejuta celetukan
lucu. Dan semua celetukan itu selalu membuatku diserang perasaan serba entah,
entah akan tertawa, atau entah akan marah. Pria dengan banyolan menyebalkan itu
juga lawan berdebat yang tak terkalahkan. Argumennya sulit kupatahkan atau
bahkan sekadar kulawan. Si Keras Kepala yang cerdas dalam berpendapat. Cara
pandangnya terhadap sesuatu berbeda daripada pria kebanyakan. Cenderung aneh,
tapi tetap masuk akal.
Mungkin, hal itulah yang membuat hatiku jadi berdebar
tiap kali kami terjebak dalam percakapan. Mungkin itulah yang jadi sebab
mengapa wajahnya yang dihiasi senyum tak mau pergi dari dinding-dinding
kamarku. Mungkin itulah yang jadi alasan mengapa aku selalu bahagia saat kami
tak sengaja disatukan dalam satu kelompok.
Mungkin itulah yang jadi alasan mengapa aku;
mencintainya. Cinta yang tak bisa kuantisipasi karena kedatangannya yang
tiba-tiba. Kedekatan selama dua tahun—atau bahkan lebih—itu tak kusangka malah
membawaku ke arah yang semakin jauh. Arah yang semula kupikir salah, arah yang
membawaku ke suatu negeri asing yang tak kutahu terletak di benua sebelah mana.
Arah itu membawaku semakin jauh; pada satu hal, yang mungkin saja tak Bintang
kehendaki.
Aku mencintainya. Cinta itu tumbuh secara rasional, dan
aku hanya memeliharanya dalam keheningan. Tak ada yang tahu perihal perasaanku,
selain Tuhan tentu saja. Cinta ini terpenjara dalam diam, dan aku membiarkan
waktu yang akan membukanya. Karena tentu tak ada rahasia yang abadi.
Terjebak dalam zona pertemanan tak membuatku surut untuk
terus mencintainya. Pria yang membuat jantung berdegup tak keruan dan dadaku
bergemuruh. Pria yang kini sedang berjalan ke arahku, sambil menenteng gitar
akustik kesayangannya. Jas yang kebesaran tampak sedikit bergerak seiring
langkahnya. Pria itu—Bintang menuju diriku.
Dadaku berdegup.
“Gimana penampilanku, Sheil? Keren atau mengagumkan?”
Ah, kamu lebih dari sekadar itu, Bintang.
---
Pesta perpisahan malam ini berlangsung begitu meriah. Aku
puas. Ternyata kinerjaku dan rekan-rekan panitia perpisahan cukup berhasil.
Semua yang turut tampil juga memberikan usahanya dengan maksimal. Seperti
pertunjukan drama barusan. Adik-adik kelasku menampilkan drama dengan tema
jenaka tapi tetap sarat dengan pesan dan makna. Sebuah drama yang mengambil
sudut pandang para pencopet sebagai tokohnya.
Sebentar lagi, acara perpisahan akan selesai. Aku melirik
arlojiku, pukul setengah sepuluh, berarti selanjutnya ada satu lagi penampilan
dari teman sekelasku dan ia akan menjadi penampil terakhir.
“Sheil, kamu udah makan, ‘kan?” Bintang yang berkata
begitu. Kini pria itu tengah duduk di sampingku. Gitar akustiknya yang telah
bersemayam rapi di tas-nya diletakkan di sampingnya, disandarkan pada tembok.
Aku menoleh padanya, “Aku cuma nyemil biskuit sebiji
tadi. Soalnya aku gak mau melewatkan satu pun penampilan,” kataku.
Bintang mendengus kesal, “Gila, kalau perut kamu kosong
terus maag kamu kambuh gimana? Kamu mau sakit dan bikin aku khawatir?”
Aku mendesah pelan. Sikap perhatian Bintang yang kadang
menyebalkan ini mau tak mau membuatku senang juga. Kadang, aku berpikir-pikir
nakal. Benarkah perhatian ini murni perhatian dari seorang pria kepada sahabat
perempuannya?
“Makan dulu, yuk! Tadi aku cek kayaknya masih lumayan banyak,
deh, di belakang.” Bintang menggenggam tanganku menuju arah stand makanan. Ada beberapa kotak snack yang masih utuh. Bintang mengambil
dua, untukku dan untuk dirinya sendiri. Aku diam-diam tersenyum melihatnya,
tingkahnya yang kadang berlebihan itu membuat pipiku merona. Aku bahagia.
Bisakah kuminta waktu lebih lama dari selamanya; untuk ini?
“Cie, berduaan mulu, nih, suami istri,” si betawi Galang
mengejek aku dan Bintang. Pria itu kini berdiri di depanku, dan ucapannya
barusan membuatku sedikit malu.
“Apaan, sih, enggak akan, lah!” kataku.
“Iya. Gak mungkin, lah. Lagipula aku sama Sheila ini
banyak banget kesamaannya. Kalau jatuh cinta sama dia, ‘kan, sama aja kayak
jatuh cinta sama diri sendiri. Ya, nggak, Sheil?”
‘Ya Tuhan, zona macam apa ini?’ desisku pelan dalam hati.
“Hati-hati kalian, seorang pria dan wanita tidak akan
pernah bisa menjalin persahabatan murni. Itu sudah menjadi hukum alam!” kata
Galang dengan seringai-nya yang menyebalkan.
“Kalau gitu, pasti Sheila yang suka sama aku! Gitu,
Sheil?” tanya Bintang.
“Enggak, lah! Pede sekali!” balasku sambil menjulurkan
lidah dan sontak kami bertiga pun tertawa. Kemudian setelah itu, Galang pamit
undur diri untuk memenuhi kekasihnya; Alissa. Yang kutahu, awalnya Galang dan
Alissa juga bersahabat dan kini malah menjadi sepasang kekasih. [1] Apa aku dan
Bintang bisa seperti itu?
“Halo, Dinda?” aku melirik Bintang yang kini malah tengah
menelepon. Aku membuka kotak snack-ku,
mengambil martabak dan melahapnya.
Tunggu, siapa nama yang dia sebut tadi?
“Kamu di belakang panggung? Iya, aku ke sana sebentar
masih makan sama Sheila. Aku ajak Sheila gak apa-apa, ‘kan? Sekalian kenalan,
gitu?”
“...”
“Oke, tunggu, ya, Sayang.”
Tiba-tiba, aku merasa seperti tenggorokanku tercekat, aku
sulit bernapas, dan jantungku seprti diremas.
“Anterin aku ke belakang panggung, yuk. Aku mau kenalin
seseorang, hehe.”
---
Sekarang, aku berdiri di sini. Di belakang panggung.
Tubuhku utuh tak kurang satu apapun.
Tapi hatiku hancur berkeping-keping.
Bintang kini tengah memeluk Dinda. Seorang gadis manis
bertubuh kecil yang rambutnya diikat ekor kuda. Dia mengenakan dress selutut warna biru muda. Namanya
Dinda, dia ..
“Kenalin, Sheil, ini Dinda, pacarku.”
Aku menjabat tangan Dinda ogah-ogahan. Tiba-tiba saja,
mataku panas. Aku ingin menangis, menumpahkan air mata yang sejak tadi
tertahan. Aku meremas tangan Dinda, membuat gadis itu sedikit kaget dan
kemudian segera menarik tangannya. Aku menundukan kepala. Sudah cukup, Bintang.
Awalnya aku mencintai Bintang secara rasional, tapi entah mengapa, aku
tiba-tiba merasa tolol.
Atmosfer backstage
ini tiba-tiba terasa begitu panas. Memang perasaanku saja, atau suasana di sini
memang berubah? Aku merasa seperti ada api yang menyala-nyala di hatiku dengan
panasnya yang membara.
“Aku ke depan lagi, ya, Bintang.”
Sudah cukup.
Aku berlari meninggalkan backstage. Dalam langkahku, air mataku turun pelan-pelan. Seperti
ada sesuatu yang memaksa untuk keluar. Dan rasanya sangat menyakitkan. Aku tak
bisa mengibaratkan rasa sakit ini dalam diksi apapun. Hatiku penuh, oleh nanah
luka yang tiba-tiba menganga.
Aku berlari ke belakang aula. Di mana di sana aku bisa
bebas menangisi ketololan dan kebodohanku. Aku menyandarkan tubuhku ke tembok
di belakang aula. Menikmati rasa sakit, menangis tanpa suara.
“Sheila?” Aku menengok pelan ke sumber suara dan
mendapati Bagas tengah menatapku dengan pandangan ... entah kaget, terkejut,
atau takjub. Dia mendekat padaku. Tuhan, jangan. Jangan biarkan Bagas bertanya
aku kenapa.
Bagas kini tepat di hadapanku. Dia terus menatapku dengan
pandangan aneh itu yang tak bisa kutafsirkan apa namanya. Aku tak peduli. Air
mata sialan ini terus menetes dan aku tak mencoba untuk menghapusnya. Aku
membiarkan air mata itu terus mengalir
dan rasa sakitku juga turut keluar dengan seiring itu.
“Sini peluk.” Kata Bagas singkat. Dia melebarkan kedua
tangannya, dan tanpa menungguku berucap apapun, dia memelukku. Membawaku ke
dalam pelukannya.
Seperti kesetanan, aku menangis di pelukan Bagas. Kali
ini lebih keras, dan sedikit mengerang. Bagas mengeratkan pelukannya, dan dia
tak berkata apapun selain membiarkan aku terus menangis.
Dalam pelukan Bagas, aku mencoba berpikir tentang
kejadian tadi; sumber air mataku. Potongan-potongan kecil tentang Bintang yang
tiba-tiba mengenalkan Dinda sebagai kekasihnya. Segala yang tak bisa kutebak
itu membuatku semakin merasa bodoh dan bebal. Aku semakin keras menangis, dan
Bagas tetap mendekapku dengan hangatnya.
“Puas-puasin dulu nangisnya, ya. Udah jangan dipikirin.”
Suara Bagas yang lembut dan hangat itu menghiasi telingaku. Dan sedetik
kemudian, menjamah hatiku.
Ah, mengapa aku merasa pelukan Bagas sangat nyaman dan
menghangatkan?
Aku melanjutkan menangis.
[1] Kisah Alissa dan Galang
Desclaimer : Kisah ini request dari Tama Putri Amalia.
Komentar
Posting Komentar