Fushi [Keabadian]
Senja menggelayut manja sore ini. Tapi, si abu-abu tampak
lebih mendominasi. Mungkin karena hujan mengguyur Tokyo siang tadi. Dari tanah
tercium bau basah, oleh darah luka yang merekah.
Resah. Kekosongan yang menyakitkan itu melandaku
tiba-tiba. Luka lama kembali terbuka dan menari-nari di atas penderitaanku.
Luka lama yang sudah kukubur mati-matian itu kini bangkit lantas membalas
dendam dengan cara menghajarku habis-habisan. Seperti tenggelam tapi tak
kunjung kehilangan kesadaran.
Aku benci kenangan. Karena bersamanya; mati semua kebahagiaan,
hilang semua senyuman, lenyap semua; orang-orang yang kucintai. Aku benci
kenangan, karena bersamanya, aku bisa terjebak dalam satu kenangan; yang ingin
kulupakan.
Aku benci kenangan, karena bersamanya; ingatanku larut
oleh gadis itu.
Semua ada oleh kenangan itu. Kenangan panjang yang kini
disebut masa lalu. Masa lalu itu punya nama; Ran Mouri, siswi SMA Beika, ketua
klub karate, gadis aneh yang begitu keras hati tapi cengeng. Gadis itu hidup
dalam masa laluku. Larut dalam lautan luka oleh rasa sakit yang penuh menghiasi
dada, gadis itu tenggelam di dalamnya. Rasa sakit itu semakin menari, semakin
menjadi-jadi, semakin mengiris nadi.
Sesuatu yang terlihat kerdil, kini membuat jiwaku semakin
menggigil. Kekuatanku mulai lenyap secuil-secuil. Aku ingin melupakannya, tapi
semua tentang gadis itu selalu ada, dan hal itu sungguh menyiksa.
Seperti sore ini, gadis itu tiba-tiba datang, membawa
sebuket bunga, dan wajahnya dihiasi oleh air mata. Shit, apa dia tidak tahu betapa aku membenci air mata itu?
“Shinichi ...” desisnya lirih. Dan rasa gemuruh di dadaku
membuat luka itu semakin perih. Kumohon, Ran. Aku tak ingin mendengar desaumu
karena merindukannku. Itu menyulitkanku.
“Aku merindukanmu, Shin ... sangat merindukanmu.” Ujar Ran
lagi. Dengan air mata-nya yang mulai menganak di pipi tirus-nya. Pipi itu,
satu-satunya di mana aku ingin mendaratkan ciumanku. Satu-satunya tempat di
mana aku ingin mengelusnya lembut, pelan, dan penuh kasih sayang. Dan pipi itu
kini basah karenaku. Aku yakin tak ada yang lebih buruk dari ini.
“Sudah banyak waktu berlalu sejak saat itu dan perasaanku
tak pernah berubah. Shin, apa kau mendengarku?” Ran kini menghapus air matanya.
Suaranya bergetar hebat, tapi dia tetap bergeming. Dia setia pada tempatnya,
terpaku dengan perasaan yang sama.
“Aku sangat merindukanmu.”
‘Aku nyaris gila karena tak bisa bertemu denganmu.’
“Aku sendirian sekarang.”
‘Aku jauh lebih kosong.’
“Aku sakit.”
‘Lukaku bahkan jauh lebih parah.’
“Aku lelah terus menangisimu.”
‘Air mataku telah kering.’
Ran masih sesenggukan di tempatnya. Dan dari sini, aku
menikmati pemandangan memilukan itu. Di sini, di tempat ini, di tempat di mana
aku bisa melihatnya menangisiku. Aku yang bodoh dan bebal, aku tak tahu
bagaimana harus memberi tahunya bahwa di sini aku jauh lebih sakit; jauh lebih
terluka; jauh lebih tersiksa. Bahkan air mata ini mengalir jauh lebih deras di
hati ini.
Masa lalu adalah sesuatu yang tak bisa lagi kita genggam.
Tapi, satu-satunya hal yang membuatku menyesal adalah mengapa aku tidak pernah
berusaha untuk mencegahnya. Bagaimana moncong pistol itu memuntahkan peluru
biadab yang mengenai tepat di jantungku, bagaimana aku tak sempat berkutik
untuk menghindarinya, dan ... bagaimana aku mati karenanya.
Aku tidak menyesali kematianku, aku menyesal karenanya
Ran harus turut terluka. Sakit, sungguh sakit luar biasa. Karena melihat Ran
menangis, rasanya jauh lebih perih daripada sekadar tertembak tepat di
jantungku.
Ran meletakkan buket bunga di pusara bertuliskan namaku.
Dia menghapus air mata untuk entah yang keberapa kalinya. Semua sunyi senyap,
hanya sengguk tangisnya yang bisa kudengar. Dan aku ingin marah kenapa hanya
itu yang sanggup kulakukan.
Jika ada yang tahu apa yang tepat untuk protes pada
Tuhan, segera katakan padaku. Aku tidak akan meminta hidupku kembali, aku hanya
ingin senyum Ran kembali. Aku ingin gadis itu terus bahagia, dengan atau tanpa
aku bersamanya. Bahkan jika ia harus melupakanku, aku rela menukarnya, asal dia
terus bahagia.
“Shin, aku mencintaimu. Saat ini dan selalu ...”
Ran, jangan.
“Karena bagiku, tak ada artinya hidupku jika tanpa kamu.
Tentu kau pernah ingat ucapanku bahwa satu-satunya dunia yang tak ingin
kutinggali adalah dunia tanpa ada kamu di dalamnya.” Ran mendesah. “Sekarang,
aku harus terpaksa hidup pada dunia itu. Jadi, satu-satunya hal untuk membuatmu
terus ada adalah tak pernah melupakanmu dan terus mencintaimu.”
Ran berdiri. Dia sedikit membersihkan rok sifon biru-nya yang agak kotor. Dari
sini, tepat di belakangnya, aku tak luput dari setiap geriknya. Dia melihat
makamku sekali lagi, mengelus pusaranya, dan kemudia berlalu. Di jalan, dia sedikit
mengeratkan jubahnya. Aku tahu dia sangat kedinginan sekarang dan rasanya
seperti ingin segera menghambur dan kemudian memeluknya.
Apa ada yang tahu kata yang tepat untuk protes terhadap
Tuhan? Beri tahu aku.
-FIN
Komentar
Posting Komentar