Aku Sudah Mencintaimu Sejak Tiga Tahun yang Lalu

Kisah sederhana ini dimulai sejak awal aku masuk sekolah itu--sekolah terbaik di kotaku--yang sejujurnya tak benar-benar membuatku nyaman. Aku pernah tak berniat berteman dengan siapapun, bahkan untuk berbincang dengan salah seorang teman sekelasku. Aku berniat untuk menjadi seseorang yang introvert, geek, dan dingin. Tapi kemudian, seluruh niat yang sudah benar-benar kurangkai sedemikian rupa, tak jadi terlaksana ketika aku dengan seorang pria aneh, sederhana; tapi dari sorot matanya aku temukan binar istimewa. Dari matanya, aku temukan apa yang selama ini kucari-cari. Apa yang selama ini kupertanyakan dalam hidup, bisa terjawab hanya dalam sekali tatap.

Pria itu kamu.

Perkenalan aneh itu, yang sungguh masih dapat kuingat setiap potongnya dengan jelas, yang aku yakin kau tak akan mengingatnya barang sedikit saja. Aku tak mau menceritakannya lagi karena sudah lebih dari tiga tulisanku yang bercerita tentang itu. Ironi yang manis, aku tak bisa melupakannya sementara kamu mengingatnya pun tidak sama sekali. Akan menyakitkan jika aku menulisnya terus-terusan, jadi akan kumulai saja sebuah kisah yang terjadi seusai perkenalan sederhana itu. Sebuah perkenalan tanpa jabat tangan, tanpa saling menyebutkan nama; tapi di hatiku, menimbulkan sebuah kesan, yang tak bisa kulupakan debarnya sampai sekarang.

Oh, iya, aku baru ingat di bagian ini. Saat itu seluruh kelas menertawakan kita, apakah kau ingat? Oke, cukup. Aku tidak mau disakiti oleh kata 'tidak' sekali lagi.

Kemudian, kisah itu terjalin jauh lebih mudah daripada yang kubayangkan sebelumnya. Aku ingat pertama kali kita masuk kelas saat itu adalah bulan puasa, aku dalam kondisi mengantuk luar biasa karena semalaman tak tidur menyelesaikan tulisanku. Sepanjang pelajaran aku tak berhenti menguap, dan kamu selalu memergokiku saat sedang melakukannya. Sungguh, aku tak tahu kenapa saat itu aku merasa begitu tolol di hadapanmu. Aku tak menyangka bahwa peristiwa yang sama sekali bodoh itu masih kuingat dengan jelas sampai detik ini, pukul dua puluh dua lebih lima puluh sembilan menit, tanggal lima belas Juli dua ribu lima belas. Padahal peristiwa itu sudah terjadi tiga tahun yang lalu-dan aku masih mengingat bagaimana rona merah pipiku saat itu.

Pangeran Konyol-ku, Kamen Rider-ku, atau siapapun aku biasa memanggil lirih kamu di setiap tulisanku. Aku ingin jujur bahwa sudah lama aku berniat menuliskan ini. Tentang semua perihal kamu yang selama ini berdiam lama di otakku. Tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya, aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama kali aku tahu namamu. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama kali aku dibuat tertawa olehmu. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama kali kamu memergoki aku menguap tanpa menutup mulut. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak lama; tiga tahun yang lalu.

Kemudian, tahun kedua kita bersekolah dan aku tidak tahu harus girang atau senang mengetahui fakta bahwa kita disatukan dalam satu kelas lagi. Saat itu, beberapa hari sebelum masuk kelas, kita sering bertukar pesan via ponsel dan kemudian aku tak bisa berhenti tersenyum. Kamu menyuruhku mengganti provider ponselku agar lebih murah tapi aku tidak mau. Kalau kamu tahu, aku benar-benar bahagia. Hingga kemudian kamu bercerita tentang dia, mantan kekasihmu; cahayamu di malam hari, si pemantul sinar matahari. Kamu bercerita bagaimana dia masih mengisi tiap ruang dalam hatimu. Kamu memintaku untuk membantumu mendapatkannya lagi, dan kemudian usahaku tak sia-sia. Ya ... si munafik ini mengorbankan hatinya untuk kebahagiaanmu. Hubungan kalian tak bertahan lama, dan akhirnya semua kembali seperti biasa. Kamu sulit melupakannya dan dia kembali pada dia yang diperebutkan banyak pria. Aku sempat mengabadikan itu dalam sebuah cerpen dengan judul 'Melihatmu' yang ku posting di blog ini juga beberapa monolognya. Perihal cerpen itu, abaikan saja. Isinya hanya khayalan bodohku yang terlalu berharap padamu. Karena ketika menulis itu, dengan telak aku mengaku bahwa aku mencintaimu.

Oh, ya, kemarin-kemarin aku sempat jujur pada mantan kekasihmu itu bahwa aku mencintaimu. Dan dia kaget seratus persen. Tapi, aku bilang padanya bahwa semua sudah terjadi dan tidak seharusnya peristiwa itu menjadi hal yang kusesali.

Tahun kedua sekolah adalah tahun yang panjang. Aku mengenal seorang pria lain, dan mencintainya. Kisahnya kutulis dalam monolog berjudul 'Melepas Tanpa Pernah Memiliki', 'Sepuluh Hari Setelah Kepergianmu', dan masih ada dua atau tiga kisah lainnya. Saat itu, aku berpikir bahwa aku sangat mencintainya. Aku beranggapan bahwa sosokmu hanya seorang teman yang tak begitu penting. Aku melupakanmu dan mengira bahwa pria itu satu-satunya orang yang mengisi hatiku. Tanpa menyadari bahwa sebenarnya kamulah pemilik aslinya. Kamu sudah ada dalam tiap sisi ruang hatiku, mengendap di dalamnya. Dan aku terlambat menyadarinya.

Bukan, bukan cinta itu yang hadir terlambat, aku yang terlalu bodoh dan bebal hingga tak pernah paham bahwa sebetulnya sosok yang kucintai hingga saat ini adalah kamu.

Lalu, tahun ketiga kita sekelas, kamu berubah. Kamu entah karena sebab apa menjauhiku dan aku jadi hancur karena itu. Kamu boleh baca semua monolog tentang itu, ada mungkin sepuluh yang bercerita tentangnya. Kalau kamu peka, kamu bisa tahu betapa hancurnya aku saat itu. Aku ingat aku menangis tiada henti seharian sampai lupa makan. Aku. Benar. Benar. Hancur.

Ah, jika kuceritakan semuanya, satu posting ini akan menjadi kisah yang luar biasa panjang. Mungkin, aku akan menuliskannya lain kali dengan beberapa sequel. Aku ingin kisah tentang aku yang mencintaimu menjadi lebih abadi daripada waktu. Dari pertama kita bertemu, sampai pada akhirnya kepergianmu.

Eh, benar kamu pergi? Bukannya kamu memang tak pernah benar-benar tinggal?

Komentar

What's most