Ketika Kau Pergi
Ketika pertama kali
kudengar bahwa kau harus pergi, saat itu aku tahu bahwa hatiku mulai hancur
pelan-pelan. Ketakutan-ketakutan yang tiba-tiba hadir begitu saja,
memukul-mukul dadaku, dan menyentakanku pada satu kenyataan bahwa selamanya
denganmu adalah sebuah harapan kosong; dan mimpi yang menyakitan.
Aku tidak berani percaya bahwa setelah kepergianmu semua
akan baik-baik saja. Lagipula, aku tidak bisa membayangkan akan jadi seperti
apa hidupku jika ia kehilangan cahaya penunjuknya? Aku yakin, sekuat apapun
aku, kehilangan kamu akan jadi titik paling lemahku. Aku yakin bahwa setelah
kamu pergi, luka di dadaku akan bertambah parah. Setelah itu, tak akan ada lagi
sosok yang dengan rasa sakitku sendiri, kupersembahkan bahagia untuknya.
Tapi, apapun yang akan kamu lakukan bukanlah kendaliku.
Aku tak punya peran apapun dalam hidupmu, dan tentu saja tak punya hak
sedikitpun untuk mencegahmu melakukan sesuatu. Termasuk mencegahmu pergi dari
hidupku.
Kamu benar-benar pergi.
Saat itu, kekosongan yang menyakitkan melandaku
tiba-tiba. Rasanya, saat seperti ada sesuatu dalam dirimu yang direnggut paksa.
Kosong dan berbeda. Seperti mimpi buruk yang nyata dan aku harus terpaksa
menjalaninya. Sakit dan lelah, tapi kau tak kunjung sadar bahwa aku terus
mencintaimu dengan terengah-engah.
Denganku, kau tak pernah punya rasa. Bahkan sekalipun
rasa iba karena selama ini aku telah mencintaimu dengan caraku yang sederhana.
Sampai pada akhirnya aku harus tetap mengikhlaskanmu pergi walau terpaksa, aku
tetap tak bisa menerima karena aku tak pernah kau beri kesempatan untuk
membuatmu bahagia. Dengan setiap sikapmu, kau beritahu aku kenyataan bahwa
nyatanya, dari hatimu tak pernah ada cinta untukku.
Aku tak pernah membencimu, tapi aku benci pada diriku
sendiri karena sangat mencintaimu. Dan kesalahan terbesarku, tak ada cinta
bagiku selain kamu. Tak ada rindu selain beralamatkan kamu. Denganmu, tak ada
cinta yang bisa disebut sederhana. Bahagia hanya ambisi yang tak bisa kudapati.
Dan ucapan sayang hanya kebahagiaan yang terlalu dipaksakan. Kini tinggal aku
menangisi puing-puing kepergianmu, yang terlalu terlambat untuk menyuruhmu
tetap tinggal, juga tak mungkin terus menunggu kembalimu.
Karena siapapun tahu, kau tak akan kembali.
Kupikir tak ada yang lebih buruk daripada kehilangan
kamu, tapi nyatanya ada. Yakni harus hidup pada satu lingkup dunia tanpa kamu
di dalamnya. Tak ada lagi canda yang walau terkesan terpaksa selalu kunikmati
ceritanya. Aku tidak tahu harus merubahnya kembali seperti semula atau cukup
menerima bahwa semua tak lagi sama.
Saat ini, aku hanya bisa berusaha merelakan kepergianmu.
Walau sungguh aku tak bohong bahwa saat ini tanpamu; rasanya luar biasa sepi.
Sepi dalam kebisingan, level kesepian paling menyeramkan. Aku percaya, akan
tiba saatnya kamu sadar bahwa aku pernah sangat mencintaimu. Kau akan sadar
hebatnya usahaku memperjuangkanmu. Dan saat itu, kau akan menyesal karena
pernah mengabaikanku. Lalu, waktu akan menamparmu dengan bijaksana, dengan
sesuatu yang ia bawa, bernama rindu. Rindu yang sama seperti yang kurasakan
saat ini, dan jauh lebih pedih juga jauh lebih menyakiti.
Tapi jika waktunya tiba, aku sudah tak ada di sana.
lengkap
BalasHapus