Kepada Seseorang yang Menjauh

Selasa siang ini, kulihat kamu duduk sendirian didekat jendela. Berkutat serius dengan buku matematika dan pensil. Dahimu berkerut seolah mengisyaratkan bahwa kamu sedang berpikir serius. Dengan cahaya matahari yang menyusup melalui celah jendela dan menyentuh kulit cokelatmu, membuatmu menjadi semakin mempesona. Aku mendesah panjang, bolehkah aku duduk disebelahmu dan kita akan mengerjakan matematika bersama?

Aku ingat, beberapa bulan lalu ketika kita masih baik-baik saja, saat segalanya masih bisa kukatakan bahagia. Kukenang kamu, senyuman sarkatismu, jokes gilamu. Tak mungkin kuberhasil melupakan semuanya, karena segalanya seolah terukir dan tercetak baik diotakku, memori dirinya sendiri dan aku tak cukup sanggup untuk memformatnya.

Kupikir, aku sudah punya kekuatan yang cukup membuatku sanggup untuk berhenti berharap. Agar segala angan yang pernah kuharapkan bisa segera pergi. Lalu, bisa kunikmati lagi kenyataan yang mungkin akan kujalani tanpa sosokmu lagi. Kamu tetaplah kamu, yang seabadi apapun hanya akan berada di mimpiku.
Aku tak pernah sanggup, sayang, sungguh. Kamu tak pernah berhasil kuusir dari khayalan. Kamu masih abadi, menjadi sosok pria yang paling kucintai.

Harusnya, sejak dulu aku sadar. Mencintaimu adalah hal yang tak boleh kulanjutkan bahkan sejak aku belum selesai memulainya. Harusnya sejak awal kumulai merasakan getaran itu, secepat mungkin harus kuusaikan segalanya.
Tapi, orang mana yang menang berargumen dengan perasaannya sendiri? Aku jatuh cinta, dan perasaan yang tercipta ini tak pernah kaugubris sedikitpun. Tak pernah kaupedulikan barang sedikit saja tentang perasaan yang tercipta karena sikapmu sendiri. Absurd memang, harapanku memang terlalu jauh, dengan perumpamaan seperti pungguk merindukan bulan. Karena seperti yang kamu tahu, aku adalah wanita kuat yang kebal disakiti dalam bentuk apapun. Mungkin, itulah salah satu alasan mengapa kutetap bertahan walau disia-siakan.

Usahaku mungkin belum cukup hebat untuk mencairkan dinginnya hatimu. Jemariku masih belum sampai untuk menjamah hatimu. Aku gagal, walau kau tak mungkin tak tahu bahwa aku sudah berjuang mati-matian.

Setelah mengusaikan tugas matematikaku, aku lalu berdiri dan pindah kursi. Mungkin tujuannya agar semakin menjauhimu, dan menyembunyikan air mataku. Lucu, ya? Aku mengerjakan tugas sambil menangis, yang mungkin layak disebut sebagai air mata tanpa alasan. Aku semakin menjauh, seiring dengan air mataku yang semakin deras. Dasar, bodoh. Bagaimana mungkin aku jadi selemah ini dikendalikan perasaan?

Sampai diujung siang, aku mengeringkan lukaku yang mulai basah lagi. Merampungkan tulisan yang lagi-lagi bertemakan kamu.
Aku mendesah keras, lagi-lagi aku rindu dibatas jarak sedekat ini.

Bodohmu,
yang lagi-lagi merindu

Komentar

What's most