Secepat Senja

Aku melihat pria itu lagi. Menenteng sebuah buku bersampul cokelat muda setengah krem dengan judul Historiografi Sastra Indonesia 1960-an karya Asep Sambodja. Pria itu duduk disalah satu bangku lalu menaruh buku dan tas selempangnya disampingnya. Lalu, kulihat mengambil kertas dan mulai menulis disana.
Aku menyesap tehku perlahan tanpa menjauhkan pandanganku dari sosoknya. Jika kulihat tatap matanya yang seperti jauh membentang, bisa kupastikan ia sedang menulis puisi. Dari mana aku tahu? Karena akupun biasa melakukannya saat sedang jenuh. Suasana rindang di taman pusat kota ini membuat otak serasa segar kembali, pohon-pohon akasia membuat suasana asri di taman ini, kedai-kedai teh seakan menambah suasana adem disini, terlebih jika kesini saat waktu-waktu sore menjelang petang.
Sambil tetap melihat pria itu yang sibuk menulis, aku berpikir sejenak, mengingat beberapa waktu yang lalu saat pertama kali aku melihatnya. Ketika itu, sehabis pulang dari kantor redaksi. Pikiranku bengah sekali waktu itu, sehingga tulisankupun kacau. Lalu, aku menuju taman ini yang kebetulan kukewati. Berhenti disalah satu kedai teh, lalu melihat sosok pria berkacamta, dengan garis wajah tegas, membawa setumpuk buku dan sejumput kertas yang tak kutahu isinya apa. Entah, tak dapat kusimpulkan bagaimana rasanya, yang jelas hatiku mulai bergetar berirama, menghembuskan napas cinta. Aku tidak tahu bagaimana cinta dapat bertumbuh secepat ini, bahkan pada seseorang yang tak pernah kukenal sebelumnya, bahkan baru pertama kali kutemui. Aku tidak tahu pasti bagaimana perasaan itu bisa terbentuk, yang kutahu adalah hasilnya; aku yang sangat menganguminya, merasakan perasaan ini makin bertambah seiring detik berlalu.
Aku menghela napas. Mengalihkan pandangan ke laptopku. Kembali melentikan jemari ke keyboard laptop dan merangkai kalimat menjadi sebuah drama ajaib berbentuk paragraf; novel. Aku sedang dalam proses merampungkan novel tebaruku, novel yang lagi-lagu bernapaskan cinta. Sembari menyesap tehku, aku mulai berkonsetrasi menulis, melupakan pria itu sejenak.
***
Keesokan harinya, terulang lagi. Sore ini, pukul setengah lima tepat, aku ke taman lagi, tapi kali ini aku tidak ke kedai teh, melainkan ke kursi disekeliling taman yang biasanya pria itu duduki. Iya, sebut saja aku menunggunya datang, lalu aku dapat melancarkan tujuanku; mengajaknya berkenalan.
Kubiarkan semilir angin sore yang berhembus ditaman ini menerbangkan rambutku. Sembari membaca buku kumpulan cerpen karya Sapardi Djoko Damono, aku menunggu pria yang selama ini membuatku penasaran datang.
Sekitar setengah jam kemudian, suara berat dan nyaring menyapaku. Aku tidak tahu bagaimana caranya jantungku jadi berdegup secara tidak normal dengan tempo yang begitu cepat.
"Permisi, mbak. Boleh duduk disini?"
Aku mulai mengatur napasku. Mencoba mengatur suaraku agar tidak seperti orang sakit, lalu menjawab pertanyaannya.
"Ya, silakan. Ini kan bukan bangku milik saya, tapi milik pemerintah. Siapapun boleh duduk disini."
Pria itu tersenyum, membuat degupan jantungku semakin cepat. Aku sungguh tak sanggup mendeskripsikan bagaimana perasaanku saat ini. Milyaran kata dalam jutaan bahasapun takkan ada yang bisa menjelaskan perasaanku dengan pasti. Ah, secepat inikah cinta memaut pada satu hati?
Keheningan yang menyeruak membuatku muak. Pria ini sibuk dengan bukunya sendiri sambil sesekali membetulkan letak kacamatanya. Seolah-olah mengabaikan keadaanku, yang duduk disampingnya sambil mengatur desahan napasku yang mulai tak beraturan. Bahkan kupikir, jika ada bom atom meledak disampingnyapun dia takkan peduli, selagi bom itu belum menghancurkan bukunya itu.
Aku menarik napas, sambil mencoba memecah keheningan dan berkata, "Suka sastra ya, mas?"
Pria itu mengalihkan pandangannya dari bukunya sejenak, lalu melihat kearahku. Matanya itu... aku melihat sesuatu. Sesuatu yang magis, misterius, seolah menyimpan berjuta-juta rahasia. Mata tajamnya mengisyaratkan isi otaknya, mata tajam layaknya milik orang cerdas dengan otak penuh pengetahuan.
"Bukan cuma suka, sastra itu hidup saya. Bukannya kamu sendiri juga suka sastra?"
Kalimatnya barusan membuatku kaget karena dua hal. Satu, ia mengubah sapaan "mbak" menjadi kamu yang terlihat lebih santai dan dua, darimana dia tahu aku suka sastra?
"Jangan heran. Matamu kelihatan penuh imajinasi, buku yang kau baca adalah buku sastra, dan kamu mengawali pembicaraan dengan hal yang berbau sastra yang jarang dipakai orang awam. Mungkin kamu nggak cuma suka sastra, tapi hidupmu penuh dengan sastra."
Aku terperanjak mendengarnya. Pria ini dapat dengan tepat membacaku. Aku menatap tajam matanya, mencari-cari sesuatu yang dapat menjawab pertanyaanku. Kenyataannya; nihil.
"Hebat. Kamu dengan tepat membaca semua yang ada sama aku."
"Ah, biasa aja." Ujarnya merendah.
"Apa kamu juga penulis?" Tanyaku pelan. Tapi, dia justru tertawa dengan pertanyaanku itu yang sama sekali tidaa mengandung unsur humor. Aku melirik kanan kiri, apa ada yang salah?
"Pertama." Paparnya. "Kamu lucu. Kamu heran banget sama aku yang langsung bisa menebak kamu padahal kamu punya kemampuan yang sama dan bahkan jauh lebih hebat daripada aku. Kamu sama kayak aku, pengamat orang lain, lalu diam-diam mengkritik dalam hati." Ujarnya, tetap menggantung.
"Jangan ambigu, ah! Coba paparkan lebih jelas."
"Nah, ini. Ini yang kedua. Dari tadi, aku sudah mengamatimu, begitu pula kamu mengamatiku. Bukan, aku bukan penulis. Tapi kamu yang penulis. Dari bahasamu yang jarang digunakan orang awam sudah terlihat. Kamu lebih memilih memakai 'paparkan' daripada 'jelaskan',  orang biasa yang bukan penulis akan menggunakan kata yang kedua. Lalu, tadi kamu bilang ambigu. Haha, itu sudah jelas sekali."
Aku mendengus. "Kesan pertama yang buruk. Baik, aku penulis. Dan kamu memang bukan penulis seperti dugaanku tadi, melainkan pendebat. Ahli bahasa yang pintar omong, juga pintar menilai orang."
"Sudah mengakui kemampuanku?" Tanyanya licik.
"Iya, kamu menang."
"Terima kasih. Aku terima pujian itu."
Aku tersenyum mendengar kalimatnya barusan. Pria ini benar-benar cerdas, langka dan jarang ditemukan, membuatku semakin mengaguminya.
"Dari tadi kita udah beradu argumen tapi belum sempet kenalan, aku Dylan, mahasiswa"
"Wow, aku Alissa, mahasiswi dan... yah seperti yang kamu tebak, aku penulis."
Lalu, setelah perkenalan singkat itu kami mulai bercerita mengenai banyak hal. Senja menjadi saksi percakapan tentang sastra Indonesia tahun 1960 dan Taufik Ismail. Mlipir kesana kemari sampai aku bercerita tentang kampus dan tulisanku. Diapun sebaliknya.
Entah, walaupun sepanjang sore kami sudah saling mengenal, ada satu dalam diri Dylan yang tak dapat kupahami. Sorot matanya yang begitu magis, misterius, dan seolah menyimpan jutaan rahasia.
..tapi, aku tidak peduli. Yang kutahu adalah aku sudah mengenal Dylan dan aku bahagia. Bunga-bunga cinta dihatiku mulai mekar, membawa harum semerbak seperti bau berak pelangi surgawi. Ah, diksi yang buruk. Yang jelas, aku bahagia, bahagia yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata; aku mulai mencintainya. Cinta secepat sore yang merambat menjadi senja.

Komentar

What's most