Setelah Kita Berjauhan

Setelah kita berjauhan, aku belajar melewati banyak hal sendirian. Aku belajar mengobati luka dengan jemariku sendiri, belajar mengikhlaskan, belajar berjalan sendirian, belajar menjalani hidup tanpa dirimu. Aku belajar banyak, tapi satu-satunya hal yang belum berhasil kupelajari adalah melupakanmu.

Setelah kita berjauhan, aku tak pernah tahu kabarmu. Kupikir, kamu juga tak akan mau merepotkan diri untuk tahu kabarku. Kita hidup masing-masing; dalam satu ruang lingkup dunia tanpa sapa. Saat tak sengaja tatap mata kita bertemu saat jam pelajaran Biologi, aku dan kamu sama-sama saling memalingkan muka. Kita saling menghindar, tanpa tahu apa yang perlu dihindari. Kita seperti lari, saling melarikan diri dari sesuatu kasat mata yang hanya ada di hati kita masing-masing; yang bahkan tak pernah kita ketahui.
Setelah kita berjauhan, aku sadar bahwa segalanya tak dapat kukembalikan. Mau meraung pada Tuhan, mau menangis sekeras apapun, mau meradang, atau apapun yang kulakukan tak akan dapat merubah keadaan. Aku dan kamu sama-sama egois, tidak mau mengalah, sama-sama gengsi, tak ada yang mau mengakui.

Setelah kita berjauhan, aku sadar berada di dekatmu adalah hal yang paling kurindukan. Entah kamu. Aku menjalani hidupku sendiri, susah payah berdiri tanpa dekapanmu lagi; dan kamu baik-baik saja. Seolah tak peduli, seolah kedekatan kita dulu sama sekali tak punya arti.

Setelah kita berjauhan, seolah tak ada lagi alasan bagi kita untuk kembali memperjuangkan. Jarak yang hanya kita rasakan ini menghancurkan segalanya. Keegoisan kita, gengsi yang tiada duanya. Aku dan kamu sama-sama keras kepala, bahkan saat aku dan kamu sama-sama terluka.

Setelah kita berjauhan, perasaan itu malah bertambah seribu kali. Rasa yang kuredam mati-matian ini malah menguat. Aku tak mengerti mengapa wajahmu tak mau pergi dari dinding-dinding kamarku, bahkan setelah kita berjauhan.

Ada beberapa hal yang baru kupahami soal perasaan. Ia tak akan semudah itu melepaskan apa yang ia perjuangkan. Kamu, tidakkah sadar? Aku sudah berusaha tidak peduli pada segalanya. Aku sudah menulikan telinga pada setiap bisikan busuk yang mereka katakan tentang kita. Ketahuilah, Sayang, aku sudah melepaskan banyak hal untuk bersamamu, tapi kamu malah memilih pergi. Menghancurkan apa yang sudah kita jaga bersama. Memupuskan harapan yang sudah kita rancang berdua. Kamu menyerah, dan menuntutku untuk melakukan hal yang sama.

Kadang, nalarku menuntutku untuk segera berhenti mencintaimu, tapi bisa apa aku? Seandainya bisa, aku sudah melakukannya sejak dulu, sebelum perasaan ini menjalar ke seluruh tubuhku dan berbaur bersama darahku. Aku sudah bisa mengikhlaskan, tapi aku belum mengerti alasanmu pergi.
Setelah kita berjauhan, aku tidak pernah membencimu. Tapi aku benci hari-hariku tanpamu dan aku harus memaksakan diri untuk menerimanya. Setelah kita berjauhan, tak ada yang bisa kulakukan. Bahkan menangisipun takkan merubah keadaan. Aku benci karena aku harus menganggap semuanya biasa, padahal aku sedang tidak baik-baik saja.

Setelah kita berjauhan, atau mungkin setelah aku selesai menulis ini, aku masih bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuatmu pergi?

Ini surat,
entah keberapa,
untukmu dariku yang bertanya-tanya,
mengapa kepergianmu meninggalkan begitu banyak luka.

Komentar

What's most