Saling Melepaskan

Selamat malam, Tuan Mahacuek.

Di kotaku, hujan turun lebat. Bagaimana dengan Bandar Lampung? Apakah sama lebatnya? Dan jika iya, apa kamu masih merasakan dingin dengan hebatnya, seperti waktu itu?

Tuan, malam ini begitu dingin. Aku sibuk menghangatkan diri di kamar, menggunakan selimut tebal sembari asik mengetik ketika tiba-tiba ingatan tentang dirimu berlalu lalang di otak. Setelah kuputuskan untuk mengakhiri hubungan kita beberapa minggu yang lalu, ini pertama kalinya aku merindukanmu.

Aku tidak tahu kabarmu setelah waktu itu. Aku tidak tahu bagaimana keadaanmu saat ini, akankah masih sering megeluh sakit tenggorokan, atau masih kerap main di warnet dari malam sampai malam lagi. Aku tidak tahu, dan ketidak tahuanku ini memaksaku untuk jadi perindumu.

Ketika kemarin temanmu tiba-tiba berkata bahwa kamu masih mencintaiku, sejujurnya aku ingin menolak percaya. Aku tidak ingin larut lagi dalam kebodohanku beberapa waktu lalu. Aku menolak menerima bahwa kenyataanya aku senang kamu masih mencintaiku. Katakan saja, aku tidak ingin berharap padamu lagi. Dengan begitu pengaruhmu akan lepas dari diriku, dan aku bisa dengan ikhlas melepaskanmu dan menerima perpisahan kita. Bukankah hal utama dari perpisahan adalah mengikhlaskan?

Hanya saja, aku tidak ingin munafik. Aku juga masih mencintaimu, tapi aku masih ingin menyembuhkan lukaku. Setelah kita berpisah, aku belajar banyak hal. Aku belajar mengobati luka hati dengan jemariku sendiri, aku juga belajar untuk memperbaiki diriku lantas menyambut orang baru sebagai pengganti dirimu. Tuhan tentu adil, Tuan. Ia tak akan membiarkanku tersiksa lebih lama lagi.

Aku tidak akan mengenang masa-masa indah ketika kita masih bersama. Itu hanya akan membuatku semakin sulit melupakanmu. Dan kita juga akan semakin sulit untuk saling melepaskan. Bukankah waktu itu kamu juga pernah bilang bahwa jika yang terbaik adalah menjalani hidup masing-masing, kita harus saling melepaskan, apapun yang kita rasakan dan apapun yang akan kita rasakan. Kamu ingat, 'kan? Aku tidak menangis waktu itu, saat kudengar suaramu begitu lirih berkata bahwa sebaiknya kita tidak bersama, tapi kamu tidak ingin membiarkanku pergi begitu saja. Aku tidak mengerti maksudmu, dan tidak ingin mencoba mengerti. Yang jelas aku langsung berkata putus dan mengakhiri sambungan telepon. Aku benar-benar emosi kala itu, karena sebelumnya kamu berkata bahwa kamu sudah ingin mengakhiri hubungan, tapi tidak nyaman jika bukan aku yang mengakhirinya. Jadi, setelah aku memutuskanmu, semuanya baik-baik saja, 'kan? Aku tidak menangis, tapi hatiku menjerit begitu keras. Rasanya menyakitkan.

Seminggu sesudah itu, segalanya memang baik-baik saja. Aku menjalani hidupku dan kamu menjalani hidupmu. Jarak antara kita yang jauh kupikir akan memudahkanku untuk melupakanmu, tapi ternyata tidak semudah itu. Bayang-bayang dirimu masih menggerayangi hidupku. Aku belum bisa hidup tanpa dirimu, aku masih terikat oleh hatimu.

Sampai waktu berlalu dan kupikir semua berjalan sesuai rencana. Kini, aku sudah tak lagi bergantung padamu. Memang saat-saat kemarin aku tak pernah merindukanmu karena sibuk menyibukan diri. Hingga tiba-tiba saja, hujan sialan ini malah membawaku pada ingatan tentangmu. Aku jadi merindukanmu, dan mengingat semuanya. Terlebih ketika tiba-tiba saja temannu berkata bahwa kamu masih mencintaiku. Tuan, aku harap kamu paham mengapa aku menolak untuk mempercayai hal itu.

Saat ini, yang perlu kulakukan hanya melupakanmu. Aku harus bangkit dan berjalan lagi menuju garis yang memanh ditakdirkan untukku. Terima kasih, Tuan, karena telah menyimpan rasa cinta itu, tapi ini bukan saatnya menangisi luka, ini bukan saatnya untuk mengais rindu dan mencari kenangan di dalamnya. Ini saatnya melupakan, dan melepaskan.

Tuan, hujan semakin lebat dan dingin semakin menusuk. Apa kamu juga merasakan hawa yang sama seperti disini?

Tuan Mahacuek, terima kasih untuk satu bulan penuh cintanya. Terima kasih juga karena masih mencintaiku sampai saat ini. Akan tetapi, aku akan terus berpura-pura sudah melupakanmu, sampai aku lupa bahwa aku sedang berpura-pura. Kupikir, kamu juga harus melakukan hal yang sama.

Ah, sudah sampai pada paragraf ke tiga belas. Apa surat tadi membuatmu galau lagi? Oh, iya, apa kabar? Seandainya kamu baca surat ini, aku harap kamu sedang dalam kondisi baik-baik saja. Kamu sudah mau ujian nasional, lho, Tuan! Jangan terlalu banyak main game, jangan sering begadang, juga jangan terlalu sering merutuki nasib.

Terima kasih sudah pernah menjadi bagian hidupku. Aku senang pernah mencintaimu.Tuan, semoga kau paham, bahwa ini saatnya bagi kita, untuk saling melepaskan.

Dariku,
yang sedang belajar,
caranya melupakan.

Komentar

What's most