Perpisahan Sebenarnya

Untuk yang selama ini menghuni hatiku,

Sayang, seminggu sudah berlalu dan aku masih belum paham maksud dari sikapmu. Rasanya, seminggu itu kamu menjadi sosok dengan jutaan wajah, dan bisa berganti-ganti kapanpun kau mau. Aku tidak mengerti mengapa kamu bisa jadi baik dan jahat dalam waktu bersamaan.

Aku belum bisa memastikan bahwa sikapmu itu merupakan pertanda bahwa kamu akan kembali. Aku membatasi diri agar tidak terlena lagi pada tutur manismu, jokes pemicu tawamu, dan segala hal pada dirimu yang sejujurnya sangat kugilai setengah mati. Kamu memang kembali, kamu sudah mengajakku membicarakan banyak hal lagi seperti dulu, lantas mendebatkannya. Kamu juga sudah mau berbagi cerita lagi, cerita dengan kamu dan dia sebagai pemeran utamanya, tanpa aku walau sekadar pemeran pembantu.

Seminggu itu, kamu juga berubah jadi sosok yang sempat kubenci setengah mati. Kamu jadi kasar lagi, tidak konyol lagi, dan aku benci sikapmu yang seperti itu. Kamu tidak setuju dengan semua pendapatku, dan seolah meremehkannya. Padahal dari dulu kamulah orang yang selalu mendukungku soal apapun. Tiba-tiba, aku merasa ada jarak yang begitu jauh di antara kita. Jarak kasat mata yang tak terjangkau indra, tapi begitu nyata, begitu terasa membatasi, dan terang memenjara di hati kita masing-masing.

Apa yang sebenarnya terjadi? Kamu menjadi sosok yang sulit kupahami. Padahal ketika kamu kembali menjadi seseorang yang sangat kucintai, aku begitu bahagia. Aku mulai mendaftar mimpi-mimpi yang mungkin bisa kita wujudkan bersama. Aku tidak munafik karena aku senang kamu pulang setelah lama pergi, aku juga senang Tuhan menjabah doaku, tapi rasanya ada suratan takdir lain, yang jauh lebih sulit kuterima dan kuhadapi.

Selama ini--sebelum kamu kembali- kamu adalah sosok yang tak pernah absen kusebut dalam doa. Kamu menjadi seseorang yang setia kutunggu kepulangannya, meski aku tidak tahu sampai kapan aku harus menunggu dan akan mendapatkan apa jika kamu kembali. Aku tidak peduli pada kenyataan karena aku menolak menerimanya. Segalanya terlalu ambigu dan menyukarkanku untuk memahaminya. Aku tetap menunggumu, walau tahu gadis pemimpi ini takkan pernah bisa bersatu dengan ksatria yang berwibawa, aku terus menunggu pria yang akan membangunkanku dari mimpi, membawaku menuju kenyataan, dan membantuku mewujudkan segalanya. Aku tahu; pria itu tak mungkin kamu.

Dan setelah aku melalui semua itu, aku baru paham bahwasanya aku tak perlu memperjuangkanmu sehebat dan semati-matian itu. Aku tak perlu menunggu selama itu, tapi, mengapa hatiku tetap melakukannya?  Mengapa aku seolah masih bergantung pada dirimu? Mengapa sulit melepaskan diri dari jeratanmu? Mengapa aku tidak bisa menerima kenyataan? Semua hal seolah berkiblat pada dirimu dan aku takkan bisa melakukannya tanpamu. Oh, Sayang, demi apapun, mencintaimu begitu menyulitkan.

Kini, setelah satu minggu kamu kembali dan pergi lagi, aku belum sempat membagi banyak hal padamu. Padahal, kita harus menyelesaikan semuanya. Kita harus memutuskan, untuk mengakhiri atau memulai dari awal lagi. Sebelum aku sempat mengungkapkan segalanya, kamu sudah buru-buru beranjak pergi, seolah kehadiranku ini hanya akan membawa beban. Aku paham, Sayang. Gadis pemimpi yang cengeng ini sangat sadar diri, makanya aku tak mengemis lagi, tak meminta padamu agar tetap tinggal.

Hingga saat ini, aku masih tidak bisa memahami keadaan yang terjadi. Ketika tadi kita bertemu, kamu kembali acuh. Padahal tadi pagi aku sengaja berangkat untuk mencarimu, untuk mencairkan rindu yang sudah benar-benar beku, untuk mengusir gelisah karena lama kita tidak saling bertegur sapa. Ketika tadi melihatmu, aku sudah membulatkan tekad untuk menyapa, tapi kamu malah mengabaikanku, berlalu dengan angkuh di hadapanku. Menyakitkan, aku ingin menangis, tapi air mata ini tentu akan membuatku semakin rendah di matamu.

Untuk kesekian kalinya, aku merasa ini saatnya aku menyerah. Aku harus berhenti berjuang, dan mulai menghadapi perpisahan sebenarnya.

Ah, cerita yang pendek, tapi bisa memaparkan keseluruhan kesakitanku dan ketololanku. Jadi, ini adalah akhir dari segalanya, ya? Aku sudah memutuskan. Aku akan melupakanmu, tidak akan mengharapkanmu, aku janji setelah ini takkan ada yang menghalangimu. Tak akan ada yang mengganggu kehidupanmu dan menuntuk diakui keberadaanya. Kamu tidak perlu mengabaikan seseorang lagi.

Dari seseorang,
yang sedang berusaha berhenti,
memperjuangkanmu.

Komentar

What's most