Dilema

Aku pernah dalam posisi begitu terpuruk. Pernah ditusuk oleh pengkhianatan, juga disiksa oleh kepergian. Hingga aku lupa rasanya percaya dan dijadikan satu-satunya. Aku pernah begitu tersakiti. Pernah begitu terabaikan, dan pernah begitu takut kehilangan. Hingga aku jadi takut jatuh cinta, karena kupikir semua akan berakhir sama.

Lalu, kamu datang. Mencoba menghangatkan lagi hatiku yang pernah terbasahi oleh luka. Mendekapku dengan rengkuhan paling nyaman yang pernah kurasakan. Seketika kamu membuatku percaya; aku harus kembali jatuh cinta.

Kamu bilang, aku tak perlu takut membuka hati. Aku tak perlu ragu untuk menerimamu. Aku ingin mencoba, tapi rasanya traumaku masih membayang. Aku belum berani untuk mencintai lagi, karena sebelumnya aku pernah diberi luka dengan begitu sempurnanya. Dan meninggalkan rasa sakit yang begitu hebatnya.

Kamu tidak pernah memaksa, kamu hanya bilang bahwa kamu akan tetap setia sampai aku benar-benar siap kembali menerima dan memberi cinta. Sungguh, aku juga ingin jatuh cinta lagi, tapi ketakutan ini begitu hebat menjejali, begitu dalam merasuki, begitu tajam meracuni.

Dilema yang kurasa begitu kelam. Sampai jingga milik senjapun tak mampu lagi menghangatkan. Trauma ini begitu menyiksa, sungguh. Karena aku malah dibayangi dengan brutal oleh luka lama yang masih menggentayang di dada.

Dia, dia yang menyakitiku belum sepenuhnya pergi. Dia masih ada di hati, dan bahkan aku masih (dengan tololnya) menanti. Karena beginilah hobiku, menguliti luka. Hingga ia kembali terbuka, kembali menyiksa, kembali memporak porandakan segalanya. Ia kembali menjelma menjadi suatu rasa yang entah apa sebabnya; jadi begitu menyiksa.

Kadang aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa aku tidak mencoba memberikan hatiku kepadamu? 

Mengapa aku tak membuka kunci hati, mengusir dia pergi, lantas mengundangmu kemari?

Kamu pernah bilang bahwa apapun yang terjadi kamu akan senantiasa menunggu. Karena cinta akan senantiasa menanti. Cinta akan selalu ada, setia dan tetap pada satu nama. Cinta akan menunggu nama itu kembali, membawanya bersama dan tak akan melepaskannya. Kamu bilang begitu dan aku malah makin merasa bersalah.

Mengapa melupakan jauh lebih sulit dari membuka hati?

Aku tak pernah mendapat jawab dari tanya itu. Selalu. Kadang ingin menyalahkan, tapi harus menyalahkan apa? Harus memberi pelajaran siapa?

Bahkan sampai detik ini aku masih sama sekali tidak mengerti mengapa kamu masih menungguku sementara dia juga tak kunjung beranjak dari hatiku. Seandainya aku punya andil untuk mengendalikan perasaan, andai aku punya wewenang untuk mempermainkan waktu. Ah, perandaian yang begitu bodoh.

Jadi, akupun sampai sekarang belum memutuskan. Apa ini saatnya aku pergi, melupakan dan berjalan kedepan lagi--bersamamu?

Jika seandainya aku benar memilih itupun, akankah jalanku semudah itu?

Dari seseorang,
yang sedang bimbang,
labil,
dan tengah merasa begitu tolol.

Komentar

What's most