Yang Lebih Tabah dari Hujan Bulan Juni
Sapardi memikirkan penerimaan saat
membuat puisi Hujan di Bulan Juni, barangkali. Tapi saat menulis ini, aku
memikirkan penolakan.
Apa yang lebih tabah dari hujan
bulan Juni?
Ada. banyak.
Aku. Kau. Kita, contohnya.
Saat bicara soal tabah, banyak
sekali definisi yang muncul di otakku. Entah keinginan tololku yang mengunjungi
rumahmu pukul sebelas malam hanya untuk membawakan kue ulang tahun ukuran
paling kecil dan paling murah yang bisa kutemukan di satu-satunya toko kue yang
masih buka di waktu semalam itu. Aku senang kau mau menemuiku meski kau tak
bisa membukakan gerbang rumahmu dan kita berbicara dibatasi besi. Aku senang
bisa melihatmu walau sebentar dan aku bisa membelikanmu kue walau tanpa lilin,
karena dengan begitu kau tak perlu memadamkan api di sumbunya dan menggelapkan
kita. Kau tak perlu memadamkan apa-apa.
Saat bicara soal tabah, aku masih
ingat kedatanganku untuk ulang tahunmu yang terlambat. Kekhawatiran kita jika
ayahmu tahu dan mengusirku. Sesungguhnya, aku sangat siap dengan resiko itu. Toh
kau tahu mencintaimu mengandung banyak resiko—walau mencintaimu adalah resiko
itu sendiri. Tapi, aku tidak siap membayangkan kau yang dimarahi ayahmu. Lebih buruk
lagi, kemarahan ayahmu itu berimbas kita tak bisa bertemu selamanya.
Apa lagi tabah yang aku ingat? Banyak.
Beberapa ingin aku lupakan, seperti aku mudah melupakan segalanya saat mabuk. Beberapa
lagi ingin aku hidupkan, seperti nyala rokok dan asap yang menari di udara
lantas menyesakkan kita. Atau hanya aku. Atau hanya kau saja.
Kau bilang, banyak hal-hal yang bisa
kita perjuangkan. Seperti saat ini kita berusaha bertahan atas nama waktu, atas
nama cinta, atas nama apapun yang bisa kita gunakan. Tapi kau tahu sendiri
betapa rapuhnya itu. Keropos, dan kita tak akan bisa melalui jembatan yang
bahkan tak bisa kita lewati berdua. Kita berhak bahagia, tapi kita tak bisa
menginjak-injak kebahagiaan ayahmu. Aku paham, aku tahu. Aku juga tidak ingin
mengizinkan kau mencintai seseorang seperti aku. Seseorang yang bahkan tak bisa
mencintai dirinya sendiri.
Kita tak akan punya apa-apa. Barangkali
karena aku tak pernah mengaharapkan apa-apa darimu dan aku tak bisa
memberikanmu apa-apa. Kita tak pernah jatuh cinta dengan harapan, karena sejak
awal kita mengerti ini; harapan hanya akan membuat kenyataan menjadi mimpi. Dan
kau bukan mimpi, kau sudah jadi kenyataan. Hanya saja, ada kenyataan yang
membentur dinding-dinding yang dibangun orang tuamu. Dinding yang disebut
restu.
Apa yang lebih tabah dari hujan
bulan Juni?
Kata Sapardi tak ada. Barangkali
beliau nyaris benar, karena beliau tak mengenal kita. Yang diketahuinya hanya
hujan bulan Juni yang menghapus jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan
itu, tanpa tahu bahwa hujan bulan Juni tak hanya menghapus jejaknya, namun juga
menghapus cerita kita.
Maka, yang lebih tabah dari hujan
bukan lagi soal penerimaan, melainkan penolakan. Atau bisa saja keduanya.
Kau dan aku, yang menerima penolakan
semesta.
Komentar
Posting Komentar