Perpisahan yang Kita Inginkan
Aku berharap aku terbangun di pagi
hari dan menemukan kopi sudah tersaji di mejaku, lalu aku tak perlu
bertanya-tanya siapa yang membuatnya sebab ingatan tentang semalam mampu
menjawab bahkan jika ada ribuan pertanyaan di kepalaku. Aku akan meminum kopi dingin
itu, merasakan anyir dan rasa aneh karena menikmati sesuatu yang bukan
kodratnya, menjadikan kopi sebagai satu-satunya hal yang bisa kuingat tentang
kita. Barangkali aku memang tak ingin mengingat apa-apa.
Kerinduan barangkali seperti kopi
sachet yang pernah kita coba minum. Aku ingin kita menikmati kopi tanpa gula
sebab aku tahu pasti kopi instan telah mengandung banyak sekali gula, sementara
kau benci pahit—yang bahkan masih terasa setelah kau mencampur dua sendok gula
untuk kopi yang menurutku sudah manis itu. Kerinduan barangkali adalah
keegoisan yang kita paksa satukan, dan akan menghancurkan keutuhan kita menjadi
keping. Atau keutuhan kau dan aku saja, dan tetap menjadi keping. Kerinduan
yang kita rasakan tak mampu terdeskripsi. Aku terdiam dan menyesap kopi pahitku
sendirian, sementara kaulupa bahwa kopi seharusnya pahit lantas memutuskan
menghabiskan kopi itu dengan harapan kau akan melupakan pahitnya. Sebab,
bagimu, daripada pahit lebih baik kau tidak merasakan apa-apa. Hampa.
Sepertinya, orang yang aku cintai adalah orang yang naif.
Aku banyak berkelakar soal kopi pada
tulisan ini. Barangkali karena banyak kenangan kita yang larut bersama adukan
kopi kita waktu itu. Kapan waktu itu? Aku tidak ingin menjelaskan. Mungkin karena
aku sendiri lupa kapan tepatnya terakhir kali kita berbicara sambil minum kopi.
Terakhir kali kita berbicara sambil
minum kopi, yang kita bicarakan adalah perpisahan.
Apa yang kita pikirkan hingga
memutuskan berpisah? Kalau kau tanya aku, aku bisa saja menjawab dengan :
ketika aku melihat senyummu, aku merasa terlalu egois jika aku harus memilikimu
sendirian. Barangkali aku cemburu dan takut dilupakan. Atau bisa juga, aku
takut kehilangan. Mungkin juga aku meragukanmu sejak awal, bahwa hubungan yang
kita sepakati ini mungkin bukan ide yang baik untuk kita berdua. Banyak alasan
yang bisa kukatakan, tapi tetap saja aku tak bisa mengatakannya dengan jujur. Apa
yang kita pikirkan hingga memutuskan berpisah? Barangkali alasannya terlalu
menyedihkan untuk aku jelaskan. Atau aku terlalu menyedihkan untuk
menjelaskannya alasannya. Aku heran mengapa aku menuliskan banyak sekali kemungkinan dan membolak-balik susunan kata hanya untuk mengubah maknanya. Padahal,
kita adalah penjelasan eksplisit dari ketidakmungkinan dan kita adalah boneka
yang paling Tuhan sukai untuk dibolak-balik perasaannya.
Aku tidak tahu kau akan menjawab apa
ketika orang bertanya padamu mengapa kita berpisah. Mungkin, kau bisa hanya
menggerakan bahu sebagai bahasa tubuh yang berarti kau tidak tahu mengapa kita melakukan
itu. Namun, ketika orang-orang memaksamu memberikan alasan, kau akan menjelaskan bahwa hubungan ini
memang terlalu dipaksakan. Dan kau mulai menghindari mereka, mengindari
pertanyaan-pertanyaan tentang kita.
Kita seharusnya tidak berpisah.
Ataukah seharusnya tidak bersatu sejak awal? Aku tidak tahu apa yang terbaik
untuk kita, dan kau juga. Jika kau tahu kau pasti akan mengatakan sesuatu saat
aku pergi. Tapi kau hanya diam dan membiarkan. Tanpa tahu betapa aku ingin kau
melakukan sesuatu, setidaknya untuk mencegahku. Tapi, harapan bekerja dengan
cara yang seperti itu. Seperti mikroskop yang digunakan untuk mengamati
benda-benda renik supaya terlihat lebih besar. Harapan membuat segala yang
tidak mungkin menjadi terlihat mungkin. Padahal, benda-benda renik itu tetap
kecil, dan segala yang tidak mungkin tetap saja tidak mungkin. Kita hanya
terlalu naif. Bodoh. Enggan mengakui kenyataan. Menyalahkan keadaan.
Tetap saja aku mencintaimu. Tapi aku
kira, dengan menyerah dan tidak lagi memerjuangkanmu, kau akan lebih bahagia.
Komentar
Posting Komentar