Penyesalan Juga Mampu Menghipnotis
Dulu,
aku pernah begitu ingin mencintai seseorang.
Lucu,
bukan? Bagaimana mencintai bisa menjadi sebuah keinginan. Barangkali aku pernah
mengira cinta adalah cuaca yang bisa diprediksi dan mencintai seseorang adalah
hal yang bisa kita rencanakan—seperti hujan buatan.
Tapi,
aku bukan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Aku sama sekali salah
soal perkiraan cuaca.
Cinta
tidak hadir karena aku menginginkannya. Tak seperti empat musim yang walaupun anomali
tapi masih bisa kita beri nama. Bagi aku yang sok rasional, cinta datang
seperti hipnotis. Ketika manusia dihipnotis, ia mengalami pengurangan
konektivitas antara dorsorateral
prefortal dengan default mode network,
bagian yang paling aktif ketika seseorang melamun. Penurunan konektivitas
inilah yang membuat terputusnya hubungan antara tindakan dan kesadaran yang
mendasarinya. Orang yang dihipnotis tidak mempertimbangkan intruksi, melainkan
hanya mengikutinya.
Maka
dari itu, aku tidak akan terbuai jika aku sengaja. Itulah mengapa saat kau ada,
cinta itu justru tak kunjung ada.
Kau
boleh menilai aku sebagai wanita yang keras kepala dan sok jual mahal. Tapi,
kau harus tahu betapa dulu aku begitu ingin mencintaimu.
Aku membiarkanmu menyerah karena aku takut aku tak mampu
membahagiakanmu. Aku takut terjebak. Aku tidak mau kehilangan kesadaran. Itulah
mengapa aku benci berkomitmen.
Pada
akhirnya, toh, kau juga yang bahagia. Aku tetap sendirian dan kau bisa jatuh
cinta lagi. Dan cinta tetap saja seperti hipnotis, datang bergulung-gulung
seperti ombak. Menyerangku dan berhasil membuatku kehilangan kesadaran.
Aku
baru akan terbuai ketika aku tidak menginginkannya. Inilah mengapa cinta itu
ada ketika kau tidak ada.
Komentar
Posting Komentar