Surat buat Ibu dari Anak Lelakinya

Buat Ibu.

            Bu, saya ketemu satu perempuan. Bukan orang yang spesial memang. Dari segi fisik, dia juga biasa saja. Wajahnya tidak berkilauan seperti perempuan lain. Tapi dia punya senyum yang menawan. Adem, menyejukkan, dan menenangkan. Seperti milik Ibu.

            Ibu pernah ketemu dia bertahun-tahun lalu. Waktu itu, kami sama-sama masih pakai seragam SMA. Saya ingat Ibu bilang begini ke saya, “Ibu suka sama dia.” Saya ingat saya waktu itu malah menertawakan Ibu. Heran mengapa Ibu bisa suka dengan perempuan yang semacam dia. Karena waktu itu, menurut saya, dia bukan wanita yang mudah dicintai. Dia keras hati tapi cengeng, pecicilan, dan tidak bisa diam. Walau saya akui dia dewasa dan hangat. Tapi, dia bukan tipe menantuable.

            Saya tidak paham alasan Ibu bilang begitu. Saya tidak mengerti kenapa bahkan hanya dengan sekali ketemu saja Ibu bisa mantap memutuskan untuk menyukainya. Saya tidak paham sampai ada suatu kejadian yang menyadarkan saya betapa ajaibnya dia.

            Sewaktu keluarga kita sedang berantakan, saya sedang dalam fase terendah dalam hidup, Bu. Mungkin Ibu sadar kalau waktu itu saya jadi pendiam, jadi kasar, dan jadi jahat. Bahkan teman-teman saya pun saya jahati. Saya jadi orang yang mudah menyakiti orang. Bahkan ketika sahabat-sahabat saya pergi meninggalkan saya pun, saya masih memaki mereka. Membenci mereka mengapa mereka meninggalkan saya dalam kondisi seperti itu. Tanpa introspeksi sama sekali, bahwa saat itu saya tidak mengatakan apa-apa kepada mereka, dan tidak semua orang peka.

            Saya sendirian, Bu. Saya merasa dipecundangi dunia. Saya tidak mau mengganggu Ibu dan Bapak yang sedang menyelesaikan urusan kalian. Niatnya, saya mau menghadapinya sendiri. Tapi saya sadar saya tidak bisa. Saya takut, saya kalut, dan yang paling menyeramkan adalah saya sendirian.

            Saya merasa tidak punya siapa-siapa hingga dia duduk di sebelah saya, menepuk pundak saya, dan ... tersenyum. Benar-benar hanya tersenyum. Tapi mampu membuat pertahan diri saya hancur. Seperti dibom atom, saya meledak. Menyala-nyala seperti kembang api yang terluncur ke langit dan terhempas ke bumi. Dia ada dan menangkap saya.

            Saya paham, Bu, saya paham kenapa ibu bisa secepat itu jatuh cinta dengan dia. Tidak seperti saya yang bodoh ini. Butuh waktu lama.

            Setelah itu saya sadar betapa saya sudah jatuh cinta padanya. Takluk tanpa perlawanan. Dan syukur alhamdulillah waktu saya minta dia untuk jadi pacar saya, dia mengangguk dan tanpa berpikir bilang iya. Saya senang sekali. Ingin rasanya melompat ke langit, menembus awan-awan, dan tidak kembali ke bumi. Tapi, saya sadar bahwa duduk di sebelahnya dan memeluknya jauh lebih indah daripada menembus langit dan jatuh di antara awan. Seribu kali lebih indah.

            Saya mau langsung mengabari Ibu ketika Bapak terlebih dulu mengabari saya bahwa Ibu sudah tidak ada. Saya hancur lagi, Bu, lebur dan berkeping-keping. Ibu pergi tanpa sakit maupun kecelakaan. Meninggal dalam tidur. Dan yang saya sesali adalah betapa Ibu tidak bilang apa-apa.

            Kembalilah saya menjadi sosok yang temperamen, kasar, dan jahat. Versi dua kali lebih parah. Saya bahkan hampir kehilangan dia. Saya menyakiti dia, meninggalkan dia. Tapi, dia tidak marah. Dia bahkan tidak ke mana-mana. Dia tetap tinggal bahkan setelah saya pergi. Tetap ada sampai saya kembali. Membuka tangannya lebar, memeluk saya, dan berkata betapa bahagianya dia karena saya telah pulang.

            Saya mengerti, Bu. Saya sangat mengerti arti ucapan Ibu waktu itu. Dia memang bukan pengganti Ibu karena Ibu tidak akan pernah terganti. Tapi, dia semacam Ibu dengan versi lain. Apa, ya ... dia itu sangat tidak terdefinisi. Yang jelas saya mengerti mengapa begitu mudah Ibu berkata kalau Ibu menyukai dia. Saya memahami karena saya merasakannya sendiri.

            Maka dari itu, Bu, saya ke sini. Saya mau melamar dia bulan depan, Bu. Bapak sudah bilang iya. Beliau setuju. Sekarang, tinggal Ibu. Mengingat ucapan Ibu tentang dia waktu itu, saya yakin InsyaAllah Ibu akan setuju juga, ‘kan? Ibu tentu tidak akan membiarkan saya melewatkan perempuan sehebat dan sekuat dia. Ibu harusnya bisa melihat dia yang sekarang. Dia semakin menawan, Bu.

            Jadi, Bu. Saya rindu sama Ibu. Saya ingin meluk Ibu lagi, tapi saya sadar semuanya sudah tidak bisa saya paksakan. Saya tidak menyesali apapun, tapi saya rindu Ibu. Saya ingin Ibu ada di acara lamaran saya, ijab qabul, dan resepsi. Saya ingin Ibu menghabiskan waktu Ibu untuk mengobrol dengan dia. Ibu pasti cocok dengan dia. Dia bisa membangun topik pada siapapun, dan saya jamin itu. Ibu bisa mengobrolkan apa saja dengan dia.

            Maaf, Bu, saya menertawakan Ibu waktu itu. Saya jadi kena batunya sendiri. Kepincut setengah mati sama dia. Makasih, ya, Bu, telah memberi saya isyarat bahkan jauh sebelum saya mengalaminya sendiri.

            Saya mau nikahi dia, ya, Bu. Izin. Ibu tidak akan menyesal punya menantu sehebat dia.

            Satu hal yang ingin saya sampaikan pada Ibu. Ibu mungkin jatuh cinta padanya lebih dulu daripada saya, tapi saya akan mencintainya lebih lama.

            Suwun, Bu, saya pamit. Ibu yang tenang, ya. Saya sayang Ibu. Kabar-kabari saya lewat mimpi, saya pasti akan senang sekali. 


Anak lelakimu, yang jadi dewasa.

Komentar

What's most