Reuni Orang Dewasa
Aku sempat kesulitan bagaimana mengeja namanya ketika
itu. Taelitia. Setelah tahu namanya Taelitia selama dua tahun akhirnya aku tahu
bahwa Taelitia dibaca Taelitya, atau setidaknya itu yang diinginkan dia.
Sebelum kupersingkat menjadi hanya Ta saja. Atau Tai walaupun ia tidak mirip
tinja sama sekali.
Dan dia juga mempersingkat namaku. Adnan yang mungkin
terasa ‘kampungan’ untuk gadis seclassy
dia membuat Ta memutuskan untuk hanya memanggilku Ad. Itu jelas sudah
bertahun-tahun yang lalu. Ketika aku baru pertama kali merokok dan dia baru
membeli lipsticknya yang pertama. Dia
orang yang pertama tahu aku diam-diam mencuri rokok ayahku. Dia memarahiku
habis-habisan waktu tahu aku merokok dan berkata tentang merusak organ dalam
dan sebagainya. Tapi, toh, dia tidak marah waktu aku merusak lipstiknya. Yang
sudah menempel di bibir tentu saja.
Jadi, haruskah aku tetap memanggilnya Ta setelah semua
itu berlalu bertahun-tahun yang lalu, atau tak perlu memanggilnya sama sekali?
Seperti dia tidak mengatakan satu hal pun ketika dulu meninggalkanku dan tidak
kembali sama sekali. O ya, Ta adalah yang pertama. Ta adalah yang pertama
ketika aku berpikir ia akan menjadi yang terakhir. Jelas hal buruk buatku
ketika Ta menyelesaikan hubungan yang aku kira belum berakhir itu. Dan dia tak
mengatakan apa-apa. Haruskah aku marah atau aku menyapanya seperti teman lama,
seperti aku menyapa Rafey, Shania, Ziel, dan puluhan mantan teman-teman
abu-abuku dulu? Kelihatannya yang terakhir sulit. Bagaimana mungkin aku
menyapanya sebagai teman padahal kami tidak pernah berteman sama sekali?
Kami ‘kan pacaran!
“Remember me,
Ad?”
Shit. 1-0 for you,
Ta. Dan 2-0 karena aku masih memanggilnya Ta.
“Hei, Ad?”
“Oh, ya hai, Ta.” Haruskah kuubah skornya menjadi 3-0?
“Kamu masih sama, ya.”
Apanya yang sama, bitch.
Satu hal yang kusesali dari datang ke reuni ini adalah
bertemu Taelitia. Hal kedua adalah disapa oleh Taelitia. Dan yang ketiga
adalah, aku masih terpaku di sini, menatap Taelitia dan terkagum oleh
kecantikannya yang masih sama. Menghindari kikuk, aku mengambil cocktail dan meminumnya sedikit.
“Aku dengar kamu akan menikah. Kok undangannya nggak
sampai ke aku?”
Meminumnya sedikit dan keselek seperti orang kesurupan.
Kalau ini pertandingan, Ta jelas menang telak. Aku merutuki Rafey. Keparat
keran bocor itu. Pasti dia yang berkata pada Taelitia, atau seantereo ruangan
tentang rencana pernikahanku dengan Ani. O ya, dan aku lupa kalau Ani juga
teman sekolahku dulu. Jadi, wajar kalau semua orang tahu.
Tapi, haruskah Taelitia juga tahu dan dia harus menanyakan
yang bersangkutan yang mana dalam hal ini adalah aku? Sudahkah kuubah skornya
menjadi 4-0?
“Belum, Ta. Belum dibuat.” Taelitia terkekeh. Jawaban
terbodoh yang pernah aku lontarkan, juga jawaban paling brilian untuk menjawab
pertanyaan tentang undangan pernikahan oleh mantan.
-yang-paling-kau-cintai.
“Aku bakal menunggu dan bakal datang, Ad. Dan, aku nggak
nyangka orang itu Ani. She is ...”
Taelitia mengendikan bahu. “the right
person for you.”
Aku terpana mendengar jawaban Taelitia. Ani adalah orang
yang tepat, katanya? Jadi dulu Taelitia adalah pilihanku yang salah?
“Ya. Dia memang the
right person for me.”
Taelitia tertawa lagi. Hanya kali ini sedikit lebih lebar
daripada tadi.
“Aku juga ketemu seseorang, Ad.”
“Siapa?” dan ini adalah jawaban tercepatku sepanjang
percakapan kami. Tidak ada seperempat detik setelah dia berbicara.
“Ian. Adrian.” Taelitia menunduk malu begitu menyebutkan
nama itu. Nama yang sama sekali tidak asing di telingaku. Hanya ada satu Adrian
yang kukenal, dan semua orang yang kenal Adrian juga tahu bahwa hanya Adrian
itu yang dipanggil Ian.
“Adrian, him?”
“Ya. Aku, yah, well
... aku nggak tahu kenapa harus berakhir dengan teman lamamu. Kami bertemu
begitu saja dan jatuh cinta begitu saja.”
Frasa tadi begitu saja terasa meporak-porandakan hatiku.
Dia jatuh cinta begitu saja kepada teman lamaku, seperti dulu dia begitu saja
meninggalkanku. Aku menatap Taelitia yang meletakkan anak rambutnya ke belakang
telinga.
Taelitia adalah juara ‘begitu saja’.
“Dia nggak hadir? Adrian?” tanyaku.
“Bukannya dia dari tadi nyanyi, ya, di panggung? Kamu
belum ketemu dia?”
O ya, untuk apa juga. Aku tidak berniat bertemu
siapa-siapa di sini dan Taelitia sejenis pengecualian baru.
“Belum.”
“Dia melamarku kemarin.”
“Thanks infonya,
Ta.”
Taelitia menatapku dengan bola matanya yang berwarna
cokelat. Aku menyelami tatapan tajam itu, mencoba menafsirkan maksudnya. Tapi,
seperti dulu ketika dia begitu saja meninggalkanku,
aku tak menemukan apa-apa di sana. Taelitia seperti teka-teki silang. Dan aku
adalah salah satu yang menyerah sebelum sempat selesai menyelesaikannya.
“Ad, soal dulu—“
“Nggak usah dibahas, Ta.” Potongku cepat-cepat. Aku tahu
akan ke mana arah perbincangan ini dan aku tidak mau menyiksa diriku untuk
melanjutkannya. Walau sedikit, aku masih punya harga diri. Dari yang tersisa
itu adalah caraku sembuh dari masa lalu.
Bukannya aku belum memaafkan Taelitia atau apa, tapi
semua yang terjadi antara dia dan aku di masa lalu sudah lama selesai. Membahasnya
lagi tak akan membuat kami juga mendapatkan momentum yang sama seperti dulu.
Alih-alih kami justru akan menyiksa diri sendiri. Semua tertinggal jauh di
belakang dan Taelitia adalah bagian dari masa lalu itu.
Mata Taelitia meredup. Aku tahu Taelitia juga mulai
merasa tidak nyaman dengan apa yang terjadi di antara kami. Dia menyentuh ujung
roknya.
“I’m so sorry.”
Kata Telitia.
Aku tersenyum dan mengangguk. Aku sudah lama memaafkan
Taelitia, bahkan tanpa dia meminta. Itulah sebab mengapa aku bisa berdiri tegar
di hadapannya kini tanpa berurai air mata. Coba kalau kejadian ini merupakan
kejadian sepuluh tahun yang lalu dan aku harus menghadapinya dalam kondisi dia
sudah jadi milik orang lain. Pasti kalau di Harry Potter, rasanya akan seperti
kena kutukan cruciatus.
Taelitia tersenyum menatapku. Dan aku menyadari satu hal,
bahwa aku sudah jauh melangkah ke depan, meninggalkan semua yang pernah terjadi
di antara aku dan wanita di depanku kini. Aku bukan lagi aku yang dulu, begitu
juga Taelitia. Taelitia hanya sebatas kenangan dari aku yang dulu.
“Adnan! Kamu ke mana aja shh—hai, Taelitia.” Aku menoleh
dan mendapati Ani berjalan ke arah kami berdua. Taelitia tersenyum menatap Ani,
membuat gadisku merasa kikuk. Tiba-tiba,
Taelitia menghambur memeluk Ani.
Mantan dan calon istrimu akur. Nikmat Tuhan mana lagi
yang mau kau dustakan, Ad?
Taelitia kemudian berjalan meninggalkan kami sambil
melambaikan tangan—menuju ke Adrian. Sebelum itu, dia berkata, “I wish you two are blessed.”
Dan aku menjawab pelan, “I wish you, too, Ta.”
Taelitia tersenyum lalu mempercepat langkahnya menuju
Adrian yang sudah menunggunya. Aku menatap punggung Taelitia yang berjalan
menjauh, lebih jauh, dan lama-lama sudah tak terlihat lagi.
Aku menggenggam tangan Ani.
Kini, skorku dan Taelitia bukan lagi 4-0. Kami berdua
seri. Tak ada yang menang, tak ada yang kalah. Aku harusnya menyadari sejak
lama bahwa ini bukan kompetisi lomba lari. Aku hanya perlu menghadapinya, bukan
menghindarinya. Toh, aku kini baik-baik saja.
Aku dan Taelitia sudah memaafkan satu sama lain dan
terutama memaafkan diri kami sendiri. Itulah yang orang-orang sebut;
dewasa.
Komentar
Posting Komentar