Aku Tidak Benci Jakarta
Jakarta menjadi semacam kontrak buatku. Aku tak bisa
mangkir darinya lama-lama, tapi tinggal di sana justru akan menyakiti diriku
sendiri. Mungkin, karena Jakarta menyimpan begitu banyak hal tentang diriku. Atau
bisa juga dia. Dan masa lalu kami.
Tak banyak yang bisa aku singkirkan meski aku
berkali-kali mengunjunginya akhir-akhir ini. Aku mengira aku akan segera
terbiasa, tapi nyatanya justru tidak sama sekali. Terlalu banyak yang mengisi
langit-langitnya dan menguraikannya satu persatu hanya akan buang-buang waktu.
Dan lagi, aku belum tentu akan berhasil.
Melupakan seperti perang berkepanjangan. Bersyukurlah
bagi yang perang sungguhan karena mereka melawan kelompok lain, atau setidaknya
orang lain. Karena melupakan adalah perang melawan diri sendiri.Aku bisa saja
menang. Tapi, yang kalah tetap saja merupakan bagian dari diriku yang lainnya.
Yang lebih memilih menyimpan perasaan pada seseorang yang aku bahkan tidak tahu
dia kini tinggal di Jakarta bagian mana.
Ketika orang-orang mulai bertanya apa aku benar-benar
baik-baik saja ketika habis pulang dari Jakarta maupun akan kembali lagi ke
sana. Dan mereka mulai sibuk bertanya apakah aku bertemu dia. Karena sungguh
ketika aku merasa sedih, perkaranya bukan terletak di situ. Bukan karena aku
benci Jakarta atau apa. Ini lebih menyangkut aku, diriku, perasaan yang selalu
kubawa serta dalam perjalan ketika menuju atau meninggalkan Jakarta.
Kalau boleh jujur, Jakarta tak pernah benar-benar
membuatku baik-baik saja. Tapi, Jakarta adalah daerah biasa. Sama sibuk dan
sama macet seperti kota lainnya. Akan kekanakan rasanya menganggap Jakarta sama
brengseknya dengan dia. Hanya saja, rindu seringkali terasa lebih ilmiah begitu
aku menginjakan kaki di kota itu. Satu-satunya yang menyakitiku adalah harapan
konyol yang selalu muncul begitu aku memulai napasku di sana. Harapan untuk
bertemu dengan dia lagi.
Aku menyadari bahwa hatiku masih sama. Tak berubah banyak
bahkan setelah bertahun-tahun aku sepenuhnya meninggalkan Jakarta dan tidak
bertemu dia lagi untuk waktu yang lama. Harusnya aku sudah melupakan dia, atau setidaknya
tidak lagi memikirkan dia. Namun, bahkan untuk mendengar namanya saja berhasil
membuatku sesak napas. Untuk menyingkirkan dia dari hidupku, sesungguhnya aku
belum juga berhasil.
Tapi, sudah lama aku tidak komplain soal itu. Aku mulai
bersepakat dengan rasa sakit dan menganggapnya bukan lagi sebagai pengganggu
merupakan sebagai sesuatu yang harus kubiasakan hadirnya. Tidak menyenangkan
memang, tapi aku bisa apa? Banyak hal yang memang tak bisa dikendalikan oleh
tangan kita sendiri. Dan seringkali, perasaan menyabet nomor satu untuk urusan
itu. Saat kita mulai tak mengawasinya, ia tumbuh menjelma menjadi bumerang yang
akan menyakiti pemiliknya sendiri. Pemiliknya hanya akan takluk, tunduk, dan
pasrah karena ia telah kalah telak. Menyerah tanpa perlawanan.
Aku tidak benci Jakarta. Sama sekali. Meski macet dan
polusi yang Jakarta miliki selalu minta dicaci maki, aku tak pernah benci
Jakarta. Aku mencintai Jakarta dengan seisinya. Mencintai macetnya, polusinya,
sampahnya, dan semuanya. Aku juga mencintai dia yang tinggal di Jakarta dan
terus hidup bersama kenanganku sendiri dan kenangan yang dimilikinya, kalau dia
masih ingat aku.
Aku mencintai Jakarta. Dan mencintai sosok yang hidup di
kota itu, bersama kenangan yang juga hidup bersamanya, menghiasi langit-langit
Jakarta, membuatnya hujan, atau kemarau, atau bisa juga musim yang lainnya.
Komentar
Posting Komentar