Seperti Itu Pula Aku Harus Terbiasa
Warning : This story contains some mature scene. So I ask your accountability to check your ID berfore reading this story.
We're all addicted to something that takes the pain away.
I
“Ada apa lagi?”
Aku
menatap ke dalam bola matanya yang tidak fokus; berkunang-kunang layaknya orang
yang teler. Aku ragu apakah sebenarnya dia tahu bahwa akulah yang berbicara
dengannya. Tapi, selagi dia masih menggenggam tanganku seperti ini, setidaknya
aku tahu dia menyadari bahwa ada seseorang di dekatnya.
“Bas,
ada apa lagi?” aku mengulangi pertanyaanku. Masih memerhatikannya yang terduduk
seperti gelandangan di gudang ini. Bajunya rapi; seperti gayanya yang biasa.
Kemeja lengan panjang yang digulung sampai siku dan celana jeans. Tapi, justru
dari kemeja itulah aku tahu bahwa lengan kirinya penuh bekas luka sayatan dan
suntikan. Di sekitarnya banyak botol-botol alkohol yang kubenci setengah mati
tapi masih juga dia sentuh.
Aku
menatapnya nanar. Pria ini. Pria yang begitu kucintai.
Pernahkah
kau membayangkan, akan jatuh cinta pada seseorang yang jauh lebih mencintai
ekstasi dari dia mencintaimu, bahkan lebih dari dia mencintai dirinya sendiri?
Atau, pernahkah kalian membayangkan, bagaimana pria yang begitu kaucintai
selalu meneleponmu sambil meracau paling tidak tiga hari sekali, mengatakan
yang tidak-tidak tentang, “Yang, gue ngefly.”
dan membuatmu harus memacu kendaraan menembus kota di malam hari, menuju gudang
kosong tempat favoritnya untuk teler? Pernahkah kalian membayangkan?
Jangan.
Pernah. Bayangkan.
Aku
merasakannya sendiri. Melihat kekasih yang setengah mati kau cintai juga
setengah mati dalam arti sebenarnya karena narkoba. Dan Bastian hampir tak bisa
melepaskan benda haram itu, sebagaimana aku tak mau melepaskan dia.
Bastian
masih terdiam. Aku melepaskan genggaman tangannya, lalu duduk di sampingnya.
Aku menyandarkan kepalaku ke pundaknya. Menangis di sana.
“Itu
lo, Yang?” tanyanya. Aku tak menjawab. Hanya terus bersandar di pundaknya dan
membiarkan air mataku mengalir. Seperti biasa, seperti malam-malam sebelumnya.
Dan aku tahu Bastian pasti menyadari bahwa ini aku.
“Yang,
gue sakit. Gue sayang sama lo.” Bastian meracau. Aku masih terdiam tanpa
berniat menjawabnya.
“Mama
digebukin Papa lagi.”
“Bas,
mama kamu udah meninggal.” ujarku.
Bastian
mengeratkan genggaman tanganya sampai sela-sela jariku terasa sakit.
“Lo
salah layat kali waktu itu. Orang gue yang meninggal.”
“Bas,
pulang yuk. Dingin.” Aku menggunakan tanganku yang tidak digenggam Bastian
untuk membawa pria itu ke dalam rengkuhanku. Bastian diam saja. Dia
menyandarkan kepalanya ke puncak kepalaku. Terdiam membisu. Membiarkanku
menguasai keadaan sebelum aku membantunya berdiri dan memapahnya menuju mobilku
lalu membawanya pulang.
Seperti
malam-malam sebelumnya. Seperti itu pula aku harus terbiasa.
II
Sejak awal aku kenal Bastian,
reputasinya memang sangat buruk di antara seantereo kampus. Hampir seluruh
angkatan tahu betapa buruknya Bastian. Dia minum, merokok, dan ngedrugs. Itulah mengapa hampir semua
orang yang tidak mengerti sangat menghujat hubungan kami.
Awalnya, aku juga sama seperti
orang-orang dalam memandang Bastian. Aku berasal dari keluarga baik-baik.
Agamis dan penuh doktrinisasi tentang kebaikan dan dididik sejak masih bayi
untuk tunduk pada norma sosial. Keluargaku adalah pemegang teguh adat, etika,
kesopanan, dan menggunakan itu untuk hidup di masyarakat. Maka dari itu, tidak
heran bahwa keluargaku memiliki reputasi yang sangat baik. Di dalam lapisan
manapun. Jadi, tidak heran bahwa ketika pertama kali aku bertemu Bastian dan
melihatnya dalam kondisi ‘berantakan’, aku langsung tahu bahwa dia adalah
sampah yang harus secepatnya disingkirkan.
Aku sangat membenci Bastian sebelum
berbalik menjadi sangat mencintainya. Aku pernah satu kelas dengannya dalam suatu
mata kuliah dan seluruh ruangan bau rokok. Orang sinting mana yang berani
merokok di kelas dengan kondisi dosen sedang mengajar? Tidak ada, kupikir
begitu. Sebelum aku melihatnya sendiri di depan mata kepalaku.
Bastian. Yang begitu brengsek tapi
juga begitu seksi.
Ada gemuruh hebat dalam dadaku saat
aku nekat menegurnya untuk menghentikan aktivitas gila itu. Memarahinya dari
belakang (dia duduk di depanku), menusukinya menggunakan pulpen.
Tahu apa yang dia lakukan?
Bastian hanya menatapku heran,
seperti aku adalah alien yang turun ke bumi hanya untuk menegurnya agar
berhenti merokok. Dan belakangan aku tahu bahwa Bastian tidak percaya alien.
Itulah mengapa semula dia tidak percaya bahwa ada orang seberani aku—dan
setolol aku—menyuruhnya menghentikan aktivitasnya merokok.
Dia tercenung. Lalu tersenyum.
Dan aku jatuh cinta. Menyadari
betapa tampannya Bastian dalam segala keburukan yang menempel pada tubuh
kurusnya. Segala titel sampah yang tercap di dahinya. Aku menyadari betapa
Bastian punya sisi lain.
Setelah keberanian dan ketololan
itu, Bastian mematikan rokoknya. Tapi, bukannya memerhatikan dosen yang entah
mengapa tidak peduli dengan keributan yang kami ciptakan, Bastian justru pergi
meninggalkan kelas. Lalu kembali tepat ketika kelas selesai, dan aku sendirian
sambil menata barang-barangku.
“Halo. Bastian.”
Dua kata itu yang akhirnya membawaku
masuk, terjun, terjerumus, dan terperosok dalam kehidupan Bastian semakin jauh.
Dua kata itu yang akhirnya membuatku memiliki peran dalam drama yang sedang
Bastian mainkan. Hanya dua kata itu, dan kehidupanku berubah ribuan derajat.
“Oh. Hai, Bastian. Aku Rare.”
Dan kalimat yang menyusul itulah
yang membawa aku dan Bastian masuk dalam dimensi yang sebelumnya tak pernah
kami kira ada. Aku masuk dalam ranah kehidupan Bastian yang kelam dan begitu
akrab dan kepedihan, rasa sakit, dan minim kebahagiaan. Berbanding terbalik
dengan damainya kehidupanku, aku menyadari bahwa kesempurnaan yang selama ini
kumiliki membuatku cacat. Ketidaksempurnaan kehidupan Bastian membuatku
menyadari bahwa aku membutuhkan penyeimbang dalam hidupku. Aku menemukan
Bastian tepat disaat aku membutuhkannya.
Tak butuh waktu lama untuk kami
pacaran seperti tak butuh waktu lama juga kami dihujat semua orang. Banyak yang
menyayangkan aku mengapa harus dengan Bastian. Pun keluargaku, yang sangat
membenci Bastian dan selalu menganggapnya sampah yang harus disingkirkan ketika
aku mulai menganggapnya berlian.
Aku tidak peduli dengan sumpah
serapah ayahku. Karena toh, Bastian tak pernah menyakitiku. Atau tak pernah benar-benar
berniat menyakitiku. Dia lebih suka menyakiti dirinya sendiri. Menyiksa dirinya
dengan ekstasi atau suntikan putau atau menyayati tangannya dengan pisau atau
apalah. Sesuatu yang lambat laun bisa kuterima bahwa dia memang tak bisa
melepaskan semua benda itu, seperti aku tak bisa melepaskannya.
As
you guys can guess, keluarga Bastian berantakan. Itupun kalau masih bisa
disebut keluarga. Ayah dan ibunya menikah karena kecelakaan dan terpaksa
menjalani belasan tahun hidup tanpa cinta. Bastian adalah korban kebodohan
orang tuanya. Tumbuh dalam keluarga yang kaya raya karena kakek Bastian
memiliki perusahaan besar yang bisa menghidupi ayah Bastian sampai nanti aku
dan Bastian punya cicit. Itupun kalau hubungan kami berhasil.
Ayah Bastian tipe lelaki yang sangat
buruk. Kalau Bastian saja sudah buruk, maka ayahnya adalah lima kali buruknya.
Ayah Bastian bisa pulang ke rumah membawa dua pelacur dan menghabiskan malam
bersama keduanya di depan Bastian dan mamanya. Atau mabuk dan menggunakan
tumpukan piring untuk memukuli ibu Bastian. Sejak kecil Bastian hidup dengan
segala rasa sakit itu. Membuatku sedikit banyak mengerti bahwa dia membutuhkan
sesuatu untuk membuatnya sedikit melupakan rasa sakitnya. Bastian menjadi
pemakai sejak dia masih SMA.
Puncaknya, ketika ibu Bastian
meninggal karena ditusuk oleh ayahnya sendiri. Tepat di depan matanya.
Aku tidak mau lagi membahas tentang
keluarga Bastian. Itu sudah cukup buruk dan terus membahasnya hanya akan
membuatnya lebih buruk lagi. Ayah Bastian di penjara dan bagiku itu sudah
menjadi hukuman yang setimpal untuknya. Aku berpikir seharusnya Bastian juga
menganggapnya selesai.
Tapi, aku salah. Bastian justru
semakin berantakan dan semakin terlihat seperti sampah di mata semua orang.
Ketidakmampuan Bastian untuk
terlepas dari benda-benda keparat itu membuatnya menggantungkan hidup pada
semua itu. Aku sudah mencoba berbagai cara untuk menjauhkan Bastian dari
semuanya, dan semuanya juga gagal. Bastian semakin gila. Jadi, aku memutuskan
menyerah dan tidak komplain lagi. Aku bersepakat dengan berbagai hal mengenai
Bastian karena ini adalah keputusan yang kuambil. Jika tidak ingin kehilangan
Bastian, aku juga harus mengikhlaskan diriku untuk terbiasa dengan semua
benda-benda itu walau sesungguhnya aku ingin menyingkirkannya setengah mati.
Malam itu, saat Bastian tiba-tiba
meneleponku dan memintaku untuk datang ke gudang favoritnya, dia sedang
kehabisan uang. Aku tidak habis pikir dari mana sisi tidak punya uangnya
padahal dia mampu membeli semua benda itu. Orang gila itu ... orang gila yang
kugilai kegilaannya. Kapan lagi kau akan jatuh cinta tanpa sedikitpun
menggunakan otakmu?
Ketika pagi harinya aku terbangun di
samping Bastian, di rumah orang tua Bastian, pria itu terbangun dan mulai
sadar. Aku menatapnya dan dia balas menatapku. Dia memberiku ciuman singkat
sebelum dia bangkit berdiri dan menuju kamar mandi. Aku terdiam menatap kamar
Bastian yang berantakan.
Dua puluh menit sesudahnya, Bastian
mendatangiku yang masih melamun di ranjangnya.
“Yang, hari ini ada kelas?” Bastian
duduk di sebelahku. Membawaku ke rangkulannya dan Bastian mulai memainkan
rambutku.
“Ada.” Aku membalas pelukannya. Bastian
menjambak rambutku, membuatku menatap wajahnya. Bastian menjatuhkan bibirnya ke
bibirku dan melumatnya seperti kesetanan. Menggigitnya sampai berdarah
dan terasa perih sekali.
Ketika Bastian berhenti, dia
memberiku pandangan intimidasi—tapi disertai senyuman. Favoritku. “Jawaban yang
aku mau?”
“Hari ini aku libur buat kamu. Aku
bisa nitip absen ke Pinkan nanti.”
“That’s
my girl.”
Lalu, Bastian kembali menciumku
tanpa memedulikan bibirku yang masih perih. Walau sejujurnya aku sama sekali
tak peduli. Ciuman Bastian adalah candu buatku. Bibirnya terasa manis, sedikit
campur anyir dari darahku, dan itu adalah rasa yang paling aku gila-gilai.
Dan aku tahu pasti Bastian juga
menggila-gilaiku. Aku suka caranya melepaskan kausku, melepaskan celanaku, dan
caranya melakukan hal-hal yang biasa kami lakukan saat berdua.
Lebih dari narkoba, aku adalah candu
untuk Bastian. Sebagaimana Bastian adalah candu untukku. Kami adalah obat untuk
satu sama lain, tapi juga penyakit untuk satu sama lain. Itulah mengapa kami
tidak bisa saling melepaskan.
Dan tidak mungkin saling melepaskan.
III
“Yang, gue ngefly. Bantuin gue.” Aku menerima telepon Bastian dua minggu setelah
terakhir kali dia teler. Segera setelah mendapatkan telepon itu, aku langsung
mengambil kunci mobil dan keluar dari rumah sambil mengendap-endap. Ayahku
biasanya sudah tidur, tapi bukan jaminan bahwa dia tidak akan menyadari aku
pergi. Jadi, pelan-pelan aku melangkahkan kakiku. Begitu sampai di mobil, aku
segera memacunya sekuat tenaga, menembus alam yang hening, dan perasaanku yang
kacau.
Begitu sampai di gudang, aku melihat
Bastian dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Tapi, aku tak menemukan apapun
di sekitarnya. Entah itu alkohol, entah itu suntikan, atau bahkan silet. Juga sebutir
pil apapun. Bastian hanya terduduk sambil memeluk kedua lututnya, sambil
menggigiti lengan kirinya yang sudah berdarah.
“Bas ...?” Bastian menyadari
kehadiranku. Ia menoleh dan tersenyum sedih melihatku.
“Halo. Bastian.” Kata Bastian. Aku menatap
Bastian sedih. Bastian tampak tersiksa dalam kondisi seperti ini. Aku tahu ini,
dia pernah mencoba melakukannya beberapa bulan lalu, dan itu justru
menyakitinya. Satu hal yang membuatku tak lagi komplain atas hobinya
mengonsumsi narkoba. Satu hal yang membuatku menyerah membujuknya untuk
berhenti.
Bastian sakau.
“Bas, sakit? Sakitkah?”
“Salam kenal, ya, Rare.” Bastian
mengigau. Wajahnya pucat pasi dan seluruh tubuhnya berkeringat. Bastian
menjilat-jilat lengan kirinya, membuatku ingin menangis.
“Bas, stop it. Jangan lakukan hal-hal yang membuat kamu tersiksa lagi. Stop it. Berhenti, Bas.” Aku duduk di
hadapannya, menggenggam tangannya.
Sudahkah kuberi tahu satu-satunya
hal yang bisa menyakitiku? Itu adalah melihat Bastian menderita.
“Rare, gue sangat brengsek. Tapi gue
juga sangat cinta sama lo. Kita pacaran, yuk?”
“Bas, please.” Aku mulai menangis. Bastian yang sakau adalah Bastian yang
tak ingin kulihat lagi.
“Maaf, ya, Yang, gue udah berusaha
untuk berhenti buat lo. Tapi, gak pernah bisa. Sakit banget rasanya. Maaf,
Yang, gue selalu berusaha untuk nggak jadi sampah di mata siapa-siapa, tapi
rasanya sakit banget. Rasanya gue ingin mati aja. Yang, lo nggak akan pergi ‘kan?”
Bastian mulai mengatakan hal-hal yang dulu pernah dia katakan padaku dulu.
Mungkin yang muncul di otaknya adalah kenangan-kenangan kami. Aku menangis
mencoba menyadarkan Bastian.
“Bas, I’m here.”
Bastian mulai menangis. Membuatku
semakin semakin sesak. Aku membawa Bastian ke dalam rengkuhanku, memeluknya
erat. Bastian sesenggukan di dadaku, membuatku kesakitan.
“Yang, gue ingin berhenti. Gue ingin—skk”
Aku tidak mampu lagi. Aku melepaskan
pelukannya, lalu berlari menuju mobilku yang kuparkir di depan gudang ini.
Mengambil plastik di dashboard dan
kembali pada Bastian.
Aku mengeluarkan dua plastik pil
ekstasi dan tiga suntikan berisi putau yang selalu kuberikan untuk Bastian. Aku
memang selalu menyediakan benda-benda itu di mobilku, jaga-jaga kalau hal
seperti ini terjadi. Atau kalau ketika Bastian kehabisan stok obat.
Aku memberikannya pada Bastian, yang
disambut Bastian dengan semangat. Ia meraih putau dan menyuntikannya ke
lengannya. Aku menggigit bibirku, menahan agar air mataku tidak terus mengalir.
“Shit.
This is what I need.”
Bastian membiarkan putau itu masuk
ke tubuhnya. Dia menyandarkan kepalanya ke tembok, menatapku, tangannya menepuk
tempat kosong disampingnya. Aku menurut, duduk di sampingnya. Ia merangkulku,
membawa kepalaku ke pundaknya. Membiarkanku menangis di sana. Bastian
memejamkan mata tanpa melepaskan pelukannya. Aku tahu bahwa dia sangat
menikmati proses ini.
Bastian beralih pada suntikan yang
kedua, ketiga, dan beralih pada pil berwarna putih itu. Menelannya dan
tersenyum.
Aku masih menangis, tapi tak ada
yang lebih menyenangkan selain melihat Bastian tersenyum. Seperti pertama kali
aku bertemu dengannya, seperti pertama kali aku jatuh cinta. Bastian membelai
puncak kepalaku dan menciumnya. Aku menangis sesenggukan semakin keras.
Hening
malam menguasai kami. Aku kedinginan, tapi pelukan Bastian mampu mentralisir
semua itu. Bastian kini menyandarkan kepalanya ke pundakku. Aku meraih
tangannya, menggenggamnya erat seperti tidak mau kehilangan dia. Menyadari betapa
aku sangat mencintainya.
Karena
seperti malam-malam sebelumnya. Seperti itu pula aku harus terbiasa.
Luar biasa
BalasHapus