BOM!


            Mungkin bagimu, jatuh cinta semudah bermain poker. Kau  hanya perlu mendapatkan kartu besar; Jack, Queen, King, As maupun poker, dan berani menjatuhkan kartu untuk melawan yang lainnya. Kau tidak butuh angka, selain poker tentu saja karena itu yang paling besar. Sebab bagimu, cinta hanya huruf-huruf yang berjajar rapi pada percakapan ponsel, diskusi main kartu, dan sekadar pelengkap bagaimana Jack, Queen, dan King berani kau jatuhkan. Angka empat sampai sepuluh hanya buang-buang energi; dan kau belum tentu menang. Atau ketika mendapat angka, kau tak segan untuk curang.

            Tidak, tidak. Cinta bukan judi. Kau sendiri yang bilang padaku bahwa cinta bukan peruntungan, melainkan bagaimana pintar-pintarnya engkau ‘bermain’. Aku tidak kaget bagaimana engkau lihai memainkan cinta, jauh lebih mudah daripada bermain kartu.

            Kebetulan yang kau tawarkan, tak bisa diakali menggunakan trik maupun perkiraan. Karena bahkan bermain kartu pun ada teorinya. Tapi, kau membawa sesuatu yang lebih dari itu. Tidak berteori, tidak memiliki rumus-rumus, tapi jauh lebih pasti daripada eksata manapun.

            Jatuh cinta padamu, juga seperti bermain poker, Tuan. Hanya saja, kebetulan kartu yang kudapatkan adalah angka-angka dan satu poker. Kecil peluang untukku menang. Alih-alih punya potensi.

            Sejak awal, kamu sudah bilang bahwa kamu tak akan membawa hubungan kita ke mana-mana. Kamu masih ingin bersenang-senang dan perkara cinta bagimu hanya akan merusak kesenanganmu. Kamu pernah patah hati sekali dan tak ingin mengulang lagi, itulah sebabnya ketika awal kamu mendekatiku, yang pertama kali kau peringatkan adalah, hubungan kita hanya untuk bersenang-senang.

            Aku tidak mengerti mengapa awalnya aku setuju.

            Peraturannya seperti ini, kau boleh datang padaku saat kacau dan aku juga boleh datang padamu saat kacau. Seperti friend with benefit semacam itu lah. Peraturan pertama adalah : tak ada cinta.

            Aku berani setuju karena, seperti bermain poker dan seperti cara pandangmu; cinta hanya arena untuk melepas penat. Jika terlalu berlebihan maka akan buang-buang waktu. Maka dari itu, untuk hubungan kali ini—di mana kita adalah tokoh utama cerita—aku tak akan menggunakannya. Cinta ... yang satu itu.

            Dimulai dari situ, kita bermain cinta seperti bermain poker. Sesekali aku yang menang, sesekali kau yang menang. Kita mengocok kartu berkali-kali, bermain, dan seperti itu terus sampai waktu berlari sedemikian cepat.

            Satu hal yang lagi-lagi bisa kupelajari adalah, poker bukan sekadar permainan, itu juga keberuntungan. Aku tak pernah tahu aku akan mendapatkan kartu apa yang jika dalam cinta adalah peran apa, yang harus kulakukan hanyalah memainkannya dan menang secepat mungkin.

            Tidak ada yang menyangka bahwa friend with benefit ala poker ini ternyata tumbuh menjelma tidak seperti yang kuduga. Awalnya, aku bisa mengimbangi permainanmu. Tapi, lama-lama, permainan ini menjadi semakin tak terkendali. Kau mulai mendominasi dan aku mulai tertinggal jauh di belakang.

            Dan ketika aku mulai selangkah di belakangmu, aku mulai menyadari satu hal bahwa; aku tak lagi berada dalam permainan yang sama seperti yang kunikmati beberapa saat lalu. Aku tak lagi dalam dimensi yang bisa seenak perut kuubah-ubah. Arena ini bukan lagi permainan. Perasaanku tumbuh semakin serius yang menyebabkan aku tak lagi mampu menjadi sutradara. Aku menjadi pemain yang tak mampu mengendalikan cerita.

            Pada saat itulah, aku tak lagi pernah menang saat kita bermain kartu. Kau terus-terusan menang dan berakhir dengan aku yang terus menerus mengocok kartu dan membagi kartu untuk memulai permainan yang sudah pasti akan dimenangkan olehmu.

            Aku mulai berpikir; aku harus menang lagi. Bagaimanapun caranya. Jadi, aku mulai berusaha. Memutar otak untuk mengatur strategi. Hingga akhirnya, aku mendapatkan keberuntunganku. Kartuku semuanya angka, tapi aku memiliki poker. Saat itulah rasanya aku kembali pada masa kejayaanku lagi. Aku terus menerus mendominasi permainan sampai menjelang akhir. Begitu kartuku hanya tinggal satu, aku tahu bahwa aku sudah pasti akan menang.

            Tapi, aku salah kira.

            Aku dibom olehmu begitu menjatuhkan pokerku untuk mengeluarkan kartu terakhirku. Empat keriting.         

            BOM!

            begitu saja


            Dan aku kalah telak. 

Komentar

What's most