The Beatles di Tengah Jogja



Sebelumnya [Bagian Thor] : Kopi Kelulusan

            Titik 0 kilometer Jogjakarta.

            Dan lagu-lagu The Beatles.

            The Beatles bukan band biasa, kalau ada yang tidak sepakat dengan itu, ayo kita baku hantam. Nggak, ding. Bercanda. Nggak semua hal di dunia ini, semua manusia harus sepakat. Kadangkala, harus ada kelompok rebel yang selalu mangkir dari hal-hal yang dibikin dunia. Seperti pasukan revolusioner yang akan selalu komplen dengan kebijakan-kebijakan yang tiba-tiba terjadi di alam semesta ini. Medianya banyak; lagu, puisi, atau ... bunuh diri.

            Manusia akan kelihatan begitu kerdil ketika dihadapkan dengan segala hal yang berhubungan dengan takdir. Kalau yang ini, aku rasa semua orang bisa sepakat. Kita bisa bermimpi sehebat apa, berjuang sehebat apa, bekerja sekeras apa, tapi ketika Sang Takdir yang kampret itu menyentil sedikit, ambyar semuanya—usai, tidak ada bekasnya, seolah-olah segala usaha yang kemarin itu tidak ada artinya. Dan manusia, cuma dipaksa menerima, tanpa hak untuk protes bahkan sekadar komentar. Ketika berusaha untuk mempertanyakan kepada Tuhan kenapa kita diberi takdir yang demikian, orang-orang panik menyuruh kita diam karena takut akan diberi azab. Padahal, ‘kan, hanya tanya, bukan mau teriak-teriak dan menyumpahi seisi langit.

            Ketika sudah sampai di titik yang, rasanya mau mati aja deh, aku berharap Mother Mary beneran comes to me, terus speaking words of wisdom supaya aku bisa let it be ...

            Kalian semua di sini, ada yang pernah lihat pintu maaf?

            Kenapa ya, disebutnya “pintu maaf”? Seolah-olah maaf itu ada di dalam sebuah ruangan yang terkunci rapat, di mana tidak semua orang diperbolehkan masuk dan mendapatkannya. Seolah-olah, maaf adalah benda usang kuno yang amat sangat langka, sehingga tidak semua orang diizinkan untuk mendapatkannya.

            Maaf ... apa, ya, maaf itu?

            Maaf bagiku adalah sebuah jelmaan dari permohonan ampun kepada salah satu sosok orang di masa laluku, seorang perempuan yang aku sakiti habis-habisan, sosok yang aku tidak tahu kabarnya. Namanya Klara, mantan pacarku. Orang yang pintu maafnya sampai sekarang tidak pernah aku lihat, apalagi bisa aku buka.

            Tapi, that girl won’t see me again. Time after time she refuses to even listen, I wouldn’t know what I was missing. Aku tidak punya cukup keberanian untuk meminta maafnya lagi, barangkali, jadi aku lebih memilih hilang teratur dari hidupnya; mungkin itu bisa membuat keadaan ini jadi lebih baik—setelah aku menyakitinya, tentu saja.

            Setiap kali aku mencoba mengingat semua yang telah terjadi di masa lalu, aku selalu meyakinkan diri bahwa turn off your mind, relax and float downstream, it is not dying, it is not dying.

            Karena bahkan setelah sepuluh tahun berlalu, setelah aku bahagia dengan kehidupanku yang sekarang, aku selalu tahu apa yang telah aku lewatkan. Sepuluh tahun sudah sejak saat aku menyakiti orang-orang dan hingga detik ini, entah apakah aku sudah jadi black bird  atau belum, setidaknya aku sudah take these broken wings and learn to fly all my life. Waiting for this moment to be free, bersama Arista tentu saja.

            Hidup tidak pernah berjalan seperti yang kita mau. Definetely tidak pernah. Seolah-olah walaupun kita sudah berjuang, walaupun sudah kita kasih semua darah dan keringat untuk itu, hidup tidak akan pernah kasih kesempatan kita untuk bahagia. Ini yang ngomong Rafka, nggak lulus SMA—walaupun akhirnya kejar paket C—dibuang sama orang-orang ke Jogja, meski buatku Jogja terlalu indah untuk membuang orang seperti aku, sih.

            Tapi, ya, andai hidup berjalan sebagaimana yang aku mau, mungkin aku tidak akan berakhir dengan Arista—dan Rara, anakku. Mungkin aku tidak akan punya cukup kekuatan untuk menghadapi hidup yang berjalan jauh lebih keras dari yang aku perkirakan. Waktu itu aku masih tujuh belas, cuy, dan Arista juga. Tapi kami dipaksa menghadapi kejamnya dunia lebih awal, terpaksa mengubur mimpi-mimpi kami yang sudah kami angan-angankan barangkali sejak SD. Kami nggak tahu, tuh, rasanya deg-degan menunggu pengumuman ujian nasional, konvoi kelulusan bareng teman-teman pasca coret-coret seragam, dan kemudian belajar sampai meninggal dalam rangka ujian masuk perguruan tinggi.

            Setelah kejadian itu, aku dan Arista tentu saja didepak dengan tidak hormat. Kami dikeluarkan dari sekolah. Begitu Arista melahirkan, aku dan dia sama-sama ikut kejar paket C, kemudian berhenti setahun untuk mengumpulkan uang, dan akhirnya ikut universitas terbuka sambil bekerja. Susah, Man, saat teman-teman SMA-ku berbondong-bondong pindah ke Jogja untuk kuliah di UGM, aku dan Arista sibuk menyembunyikan diri dari hiruk pikuk Jogja yang bising namun dicintai istriku ini.

            Tapi, tetap saja, aku bersyukur aku menikahi Arista. Aku jadi tidak mau minta apa-apa lagi. Dan lagi dengan kehadiran Rara, mana bisa aku meminta lebih.

            Toh, cita-citaku untuk punya perusaan produsen kopi tidak sepenuhnya terkubur. Setelah lulus kejar paket C, aku sempat kerja jadi barista di kafe dekat rumah nenek Arista yang sekarang kami tinggali. Walaupun aku tidak bisa masuk ke Sekolah Bisnis Manajemen di ITB, toh di Univeristas Terbuka aku bisa belajar manajemen. Sekarang, aku kerja jadi marketing di sebuah perusahaan. Budak korporat? Jelas. Tapi, dari pekerjaanku yang sekarang ini, aku jadi punya cukup tabungan kalau-kalau nantinya aku masih ingin punya perusahaan produsen kopi.

            Kenapa aku tidak bekerja di perusahaan kopi-kopi saja?

            Karena hidup tidak memberikan aku pilihan. Aku butuh uang. Aku butuh membiayai Arista, belum lagi sekolah Rara. Aku tidak dalam kondisi yang cocok untuk pilih-pilih pekerjaan, seberapapun aku mencintai kopi. Lagipula, aku masih ingin mengumpulkan uang untuk Arista melanjutkan studi.

            Aku tahu istriku itu berjuang lebih banyak dari aku. Dia perempuan, maksudku, dengan sistem yang sialan seperti ini, perjuangan Arista jauh lebih hebat daripada aku yang laki-laki. Dunia memperlakukannya dengan tidak adil. Jadi, aku ingin membahagiakan Arista yang sudah banyak berkorban secara fisik dan mental itu. Aku tahu dia suka belajar, jadi aku ingin dia melanjutkan S2 (Arista juga UT, ngomong-ngomong).

            Seringkali, aku dihantam rasa bersalah pada Arista. Rasanya, seperti aku lebih banyak merenggut mimpi-mimpinya, tidak sebanyak dunia merenggut mimpi-mimpiku. Andai, andai aku bisa mengendalikan diri, andai waktu bisa aku putar, dan sampai matipun aku tidak akan pernah bisa bersyukur.

            Itulah gunanya take a sad song and make it better. Di tengah kebisingan menjalani hidup sebagai coorporate slave ini, duduk diam di salah satu kursi di titik 0 kilometer, dengan earphone terpasang walaupun tanpa lagu, membuatku bisa lebih banyak merenung. Dalam hidup ini, di tengah-tengah kehancuran, di tengah-tengah keamburadulan segala rencana, harus ada sesuatu yang disyukuri. Harus ada, pokoknya harus, minimal satu.

            Dan aku, sangat mensyukuri keberadaan Arista. Perempuan itu betul-betul seperti separuh napasku.

            Paradoks, ‘kan? Karena tragedi itu ada, hidupku nyaris hancur, tapi karena tragedi itu pula; aku merasa hidup lagi. Lucu dunia.

Oh iya aku belum hubungi Arista. Aku sudah sejam duduk-duduk di 0 kilometer, sambil melihat orang-orang yang berlalu lalang bersiap untuk menghabiskan Jumat malam ini bersama dengan teman-teman mereka. Banyak yang bukan plat Jogja, seperti weekend weekend biasanya. Beberapa menuju Malioboro untuk sekadar nongkrong maupun belanja, beberapa menuju tempat-tempat vital di tengah kota Jogja yang penuh ini. Aku ambil ponsel, ngeri Arista ribut kalau aku tidak segera menghubunginya karena pulang telat.

            Tapi, ketika aku baru saja membuka aplikasi whatsapp untuk hubungi Arista, Arista sudah chat aku duluan. Isinya tangkapan layar dari e-mail yang dikirimkan seseorang kepada istriku itu.

            Dai. E-mail itu dari Dai.

            Aku terdiam dalam waktu yang cukup lama, tidak percaya dengan apa yang aku lihat di layar ponselku.

            Pintu maaf yang paling ingin aku buka lebar-lebar adalah pintu maaf dari sahabatku zaman SMP hingga SMA dulu, Dai. Sahabatku yang sangat baik, sahabatku yang sangat-sangat bijaksana, sahabatku yang pacarnya kuambil. Kalau ada orang yang ingin aku perjuangkan ampunannya, maka itu adalah pengampunan Dai.

            Aku kenal Dai sejak SMP.  Yesterday all my troubles seems so far away. Dia adalah definisi teman yang amat sangat baik. Setiap orang harus memiliki teman seperti Dai setidaknya satu dalam hidup mereka. Yang mengenalkanmu dengan lagu-lagu The Beatles, yang punya mimpi untuk nonton The Beatles setidaknya sekali dalam hidupnya—at least nonton Paul McCartney deh—teman yang ... telah aku sakiti.

            “Lo brengsek, Ka. Dari semua perempuan di dunia, dari semua orang yang pernah lo pacarin, kenapa harus Arista, anjing?! Kenapa Arista?!!!”

            Tiba-tiba, potongan kenangan yang hidup di masa lalu itu muncul sekilas. Perasaan bersalah yang selama ini berusaha aku kubur dalam-dalam, kadang kala masih seperti hantu di sudut pikir—

            “Mas, aku tak duduk juga ning kene, ya ...” seorang laki-laki, mungkin berumur awal 20an, duduk di sampingku; menenteng sejenis pemukul kenong di tangannya. Mungkin salah satu pemain dari pertunjukan musik yang biasa di depan Malioboro Mall.

            Yo, Mas, kene ...” aku melepas earphone-ku dan menggeser tasku sehingga ada sela untuk pria muda itu duduk. Dia tersenyum mengangguk dan duduk di sampingku.

            “Habis pulang kerja, Mas?” tanya dia.

            Aku mengangguk, “Iya. Kantorku dekat situ. Mas’e yang biasanya main di Malbor?” tanyaku.

            Dia jawab, “Iya, ini lagi nunggu liane. Kebiasaan ndak pernah on time. Kalau ndak butuh wes tak tinggal terus aku nyanyi dewe ning kafe.”

            Aku terdiam mendengar jawabannya. Klise sekali.

            “Tapi, lho, Mas, kalau di kafe kan duite lebih banyak, to?” tanyaku.

            Dia tertawa mendengar jawabanku. “Yo iya, Mas, nek duit. Tapi kalau di kafe, aku kan ndak bareng temen-temenku itu. Lagipula di sini rame, terus nek di kafe saya ndak bisa dangdutan koyo wong edan kaya di sini, to.”

            Aku mengangguk tercengang mendengar jawabannya.

            Umahku cedak banget dari sini, Mas, jadi emang biasane aku sing dateng paling awal. Aku cuma bawa ini, mereka bawa angklung sama alat musik lain, ndak popo lah walaupun suwi, walaupun mangkel ning ati. Eh, tak angkat telpon sek, Mas.”

            Saat pria muda itu mengangkat teleponnya, aku juga menelpon Arista. Tak butuh waktu lama sampai istriku itu mengangkat teleponku;

            “Halo! Mas piye to chatku mung diread! Ini aku tiba-tiba dapet e-mail dari Dai bingung harus aku bales apa ...” suara renyah Arista terdengar dari telepon, aku tersenyum.

            “Maaf, Ta, tadi aku kaget tiba-tiba baca chat-mu, terus ngobrol sama orang. Habis ini aku pulang tapi mampir beli kopi dulu. Kamu titip apa?” tanyaku.

            “Tadi Rara mau marshmallow, Mas. Minta tolong sekalian, yaa. Aku nggak usah.”

            Aku berdiri dan memberesi barangku, kemudian menyadari bahwa pemukul kenong milik pria muda itu masih tertinggal di kursi. Aku meraihnya.

            “Bentar, Ta ...”

            Aku menepuk pundak pria itu, menyerahkan pemukul kenongnya. “Tak duluan, ya, Mas.”

            Dia yang sedang menelpon menerima itu dan balas menjawab, “Yo mas sing ngati-ati.” Sambil melambai.

            Aku berjalan menuju halte transjogja tanpa memutuskan telepon Arista.

            “Inti e-mail Dai gimana, Ta?” tanyaku.

            “Banyak, aku sampai nangis bacanya. Intinya, ya, gitu ... nanti pas udah sampe rumah kamu baca sendiri aja.”

            “Terus apalagi, Ta?”

            “Dia nanya kita dua minggu lagi free atau enggak, terus kalau free—“

            “... “

            “Dia minta tolong kita jemput dia di Stasiun Tugu. Dai mau ke Jogja.”

            Aku terdiam mendengar pernyataan itu. Langkahku terhenti.

            Tiba-tiba, mataku terasa panas. Kalau Dai ke Jogja dan minta jemput aku sama Arista, itu artinya Dai sudah mau bertemu denganku. Itu artinya Dai sudah tidak semarah dulu ...

            Dan mungkin saja, Dai akan segera memaafkanku.

            “Ta, aku on the way pulang. Nggak jadi beli kopi. Nanti marshmallow buat Rara tak beliin di Indomart deket halte aja. Tungguin aku, Ta!”

            Sialan.

            Here comes the sun!!!!!!!!!

Komentar

What's most