Kopi Kelulusan


Sebelumnya [Bagian Klara] : Sriwedari


            Warung kopi depan kantor.

            Kopi hitam. Sendirian.

            Gue hampir setiap balik kantor selalu mampir ke warung kopi ini. Warung kopi ini selayaknya warung kopi biasa yang punya meja dengan desain letter U. Jadi, bagian U dalam buat Mang Kuk meracik kopi, sementara bagian U luar adalah kursi-kursi untuk pengunjung. Di meja tersaji gorengan maupun roti-roti. Ada juga roti bakar atau pisang bakar yang harus pesan dulu dan dimasak Ceu Odah nantinya.

            Yang jual suami istri, yang mana si Mang Kuk bikin kopi dan istrinya Ceu Odah masak gorengan atau bikin mie instan. Mie instan terenak sedunia akhirat. Warung kopi ini buka dari jam empat sore sampai subuh, kalau tidak salah sih. Kalau habis stres sama deadline iklan yang menumpuk, satu esap kopi yang menyentuh jiwa rasanya bisa bikin normal lagi. Kontradiksi sih, karena panas kopi bisa bikin otak gue jadi dingin.

            Gue emang segitu cintanya sama kopi. Dari kopi gayo, kopi tubruk, kopi luwak, kopi tombo, sampai yang lain gue pernah coba semua. Tapi, karena gue kerja di perusahaan advertisment gede-yang-super-idealis-bosnya yang mana tidak akan bisa kasih gue cuti yang cukup untuk eksplor kopi, gue harus terima senyum kalau setiap hari cuma bisa minum kopi di warung kopi depan kantor. Atau Strabucks sekali-kali, atau di kafe. Tapi, tetep sih, di warung kopi sambil ngobrol bareng tukang parkir, pegawai negeri yang baru balik, supir angkot, dan lain-lain adalah yang paling favorit.

            Kenapa kopi? Entahlah. Mungkin karena alasan tadi sih, kopi bisa mendinginkan kepala gue yang panas. Seperti ketika minum kopi, ada konsiliasi di otak gue yang akhirnya berhasil membuat semua urusan kelar. Ya, walaupun hanya di otak gue. Serius, deh. Kopi emang semejik itu! Sampai kadang gue mikir mau ajak semesta ini minum kopi, lalu kita ngobrolin semuanya. Tentang nasib gue, tentang kenapa gue dikasih takdir kayak begini, tentang keluhan gue, tentang hidup gue, atau tentang kenapa sampai hari ini gue nggak dikasih jodoh. Nanti gantian, semesta boleh curhat sama gue soal manusia dan manusia lainnya. Asik banget dah imajinasi gue. Coba kalau gue beneran bisa ngobrol banyak hal sama semesta, pasti gue bisa memperbaiki banyak hal—yang hanya bisa gue lakukan kalau semesta ikut andil.

            Gue ini lagi ngapain sih.

            Biasanya jam tujuh malam akan ada banyak orang di sini. Tapi, mungkin karena semesta lagi mau iseng biarin gue minum kopi sendirian, Jumat ini tak ada orang sama sekali. Gue pesan kopi susu dan pasangannya : pisang goreng.

            Saat gue sedang mengunyah suapan pertama istri dari kopi susu gue kali ini, tiba-tiba ada serombongan anak SMA menggeber-geber motor seperti sedang konvoi. Gue sontak menoleh sambil menyibak spanduk yang jadi tutup warung kopi ini. Melupakan pisang goreng yang menggiurkan sambil memerhatikan mereka.

            Rasanya, di jalanan yang tergilas roda motor anak-anak SMA itu, ada kenangan yang muncul. Ikut tergilas, ikut bersuara bersama klakson, ikut riuh. Kenangan itu muncul begitu tiba-tiba. Sama seperti mereka. Banyak, bertubi-tubi, dan bersahut-sahutan.

            Bedanya hanya satu. Mereka ramai; kenangan itu sepi.

            “Anak SMA mah emang dasar, ya, Mas Thor! Mereka teh nggak tahu betapa  kerasnya dunia mereka setelah ini,” suara berat pemilik warung kopi ini—Mang Kuk, membuat gue berhenti flashback. Gue kembali pada posisi gue, lalu menyeruput kopi.

            “Iya, Mang. Mungkin kalau mereka udah seumur saya, mereka baru akan tahu betapa nggak menyenangkannya tumbuh dewasa itu,” kata gue.

            “Mas Thor sudah berapa tahun yang lalu SMA?”

            Pertanyaan Mang Kuk membuat gue terdiam.  Ada banyak hal yang tidak ingin gue bahas menyangkut SMA. Sesuatu dalam hati gue selalu bergejolak mengingat masa itu. Salah satu masa yang ingin gue perbincangkan dengan semesta, seandainya gue punya kesempatan untuk minum kopi bersama. Masa yang kenangan di dalamnya gue sembunyikan di balik ampas kopi; sesuatu yang tidak akan mau gue sentuh, yang tidak akan mau gue rasakan lagi.

            Kalau ampas kopi pahit, maka kenangan gue berasa mematikan. Kalau ampas kopi bisa dibuang, maka kenangan gue tidak. Kalau ampas kopi mengandung bubuk sisa, maka kenangan gue mengandung penyesalan. Hal-hal di dunia ini emang selalu punya korelasi dengan kopi. Hanya saja, tidak semua hal bisa kita tenangkan dengan kopi. Kalau kopi bisa mendinginkan otak gue, maka kopi tidak berpengaruh apa-apa terhadap hati gue.

            “Kok malah diem, atuh, Mas Thor, kumaha saya teh lagi ngajak ngomong,” kata Mang Kuk.

            “Sori, sori, Mang. Saya jadi inget kenangan SMA saya,” gue berusaha terkekeh.

            Gue mendadak benci kenapa malam ini warung kopi Mang Kuk sepi. Karena, sepi selalu berurusan dengan ingatan. Dan tiba-tiba saja gue terlempar ke sana, dimensi di mana kenangan gue hidup dan tumbuh dewasa. Ranah yang sampai sekarang tidak mampu gue hancurkan. Ranah yang kini jadi hak semesta.

            “Inget mantan, ya? Ah, Mas Thor mah kasep, mantannya banyak atuh pasti.”

            “Nggak juga, Mang. Kalau SMA yang saya inget sahabat-sahabat saya, yang sekarang nggak tahu, deh, ada di mana.” Kata gue senetral mungkin.

            Mang Kuk kini membuat kopi untuk dirinya sendiri. Gue diam sambil makan pisang yang sempat gue abaikan. Mang Kuk meletakkan kopi di depannya, lalu duduk.

            “Emang susah, ya, soal persahabatan. Saya juga dulu punya sahabat, Mas Thor. Temen seperjuangan dari zaman SD dan SMP karena ketika SMA dia berhenti sekolah. Tapi, kami masih sering bertemu sampai terakhir lima tahun yang lalu.”

            Mang Kuk menyesap kopinya pelan. Gue tahu ada sesuatu yang berat dari cerita itu. Tahu dari mana? Ya tahu aja. Gue diem sambil minum kopi gue yang tinggal setengah.

            “Dia jadi preman, terus lima tahun lalu, dia meninggal ditusuk rekan premannya—karena melarikan uang setoran. Ah, coba kalau dulu saya mengarahkan dan merangkul dia, mungkin dia teh tidak jadi seperti ini. Padahal dia sahabat baik saya.”

            Gue terdiam lama sekali. Mengerti. Gue sangat mengerti perasaan yang seperti itu. Penyesalan karena ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu. Walaupun sudah sepuluh tahun berlalu.

            Arista lagi apa, ya? 

            “Mang ... saya turut berduka cita, ya.” gue berkata tulus kepada Mang Kuk yang kini menatap gue dengan senyum sedih.

            “Iya, terima kasih Mas Thor.” Jawab beliau, lalu melanjutkan, “Kalau Mas sendiri, punya cerita sedih apa?”

            Gue tersentak kaget. Sebab entah kenapa, ketika mendengar kata-kata cerita sedih, pikiran gue langsung melayang ke Arista—yang sekarang tidak tahu hidup di dunia bagian mana.

            Gue terdiam lama, kemudian menghela napas.

            “Sepuluh tahun yang lalu, saya jatuh cinta sama teman saya  sendiri, Mang,” ujar gue perlahan. Mang Kuk tampak tertarik karena senyumnya mendadak berubah cerah.

            “... tapi, dia hamil sama sahabat saya yang lain. Kemudian dikeluarkan dari sekolah. Garis besar ceritanya begitu, sisanya adalah ... penolakan saya, saya ingat saya memaki-maki dia, mengatainya dengan kata-kata kasar; untuk melegakan diri saya sendiri ... yang saat itu ... tengah ... begitu ... patah hati.”

            Tiba-tiba, gue merasa dada gue sakit. Pedih. Rasanya sangat-sangat menyiksa. Mendadak gue teringat segala perbuatan gue kepada perempuan yang jadi cinta pertama gue semasa SMA dulu. Sakit, pedih sekali rasanya.

            “Terus cewek itu gimana, Mas?”

            Mendengar pertanyaan Mang Kuk, gue terdiam. Iya ya, gue sama sekali tidak tahu kabar Arista sekarang. Bahkan gue juga tidak tahu kabar teman-teman gue yang lain; Klara, Dai, dan laki-laki yang kini jadi suami Arista, Rafka. Sudah lama sekali setelah gue pikir-pikir. Apa kabar ya mereka?

            Gue terdiam lama sampai gue dengar lagi suara berat Mang Kuk berbicara. “Uang setoran yang dilarikan sahabat saya itu, semula mau dipinjamkan ke saya untuk lahiran istri saya.” gue menatap Mang Kuk. “Dia tahu saya kesulitan uang saat istri saya akan melahirkan. Kemudian, dia nggak berhasil bawa lari setoran itu, dan saya nggak berhasil menyelamatkan anak saya. Nggak adil sekali, ya, dunia ini. Konyol. Sampai saya tidak tahu bagian mana yang harus saya tertawakan.”

            Anjrit, ini sedih banget, Man. Gue tidak menyangka bahwa kisah Mang Kuk ternyata setragis itu. Sekarang gue perhatikan mata Mang Kuk yang berkaca-kaca, dan gue nggak tahu harus berbuat apa.

            “Saya sudah ikhlas sama semuanya, Mas Thor. Nggak apa-apa.” Mang Kuk tersenyum. Membuat gue sedikit lega.

            “Saya turut berduka cita, ya, Mang. Untuk anak Mang dan sahabat Mang. Pasti berat sekali ...”

            Mang Kuk, dengan ajaibnya, tersenyum tenang.

            “Mas Thor, kadangkala, yang harus kita lakukan untuk berdamai dengan rasa sakit adalah dengan menerimanya. Jangan jadikan masa lalu itu beban, Mas. Dulu mungkin Mas Thor masih muda dan labil, tapi sekarang mungkin saat yang tepat untuk mengikhlaskan dan memaafkan semuanya.”

            Gue mau nangis rasanya.

            Sekarang, gue mengerti apa yang harus gue lakukan untuk menerimanya. Gue merasakan tangan Mang Kuk menepuk pundak gue, seolah memberikan gue kekuatan untuk menyelesaikan semuanya. Gue balas tepukannya dengan senyuman. Gue berdiri, membayar kopi dan pisang goreng yang gue makan, kemudian berjalan menuju mobil gue.

            Gue tahu kenapa gue dari tadi sibuk berkelakar soal kopi, bahkan sampai sok-sok mau mengajak semesta ini nongkrong dan minum kopi. Kopi ini, memang bisa jadi pendingin untuk segala sesuatu yang panas. Gue mengerti apa yang bisa dilakukan kopi untuk menyelesaikan kenangan-kenangan gue.

            Gue emang harus mengajak seseorang ngopi, tapi tentu saja bukan semesta.

            Sampai di mobil, gue tidak langsung jalan. Gue ambil ponsel, buka aplikasi instagram kemudian mengetik nama

            @muhammadrafka

            ANJRIT LAH LANGSUNG KETEMU.

            Hati gue mencelos ketika melihat foto profil akun itu. Ada Rafka, Arista, dan seorang anak perempuan yang subhanallah ini miniatur Arista apa gimana. Gue menghela napas. Ah, Arista, lo bahagia, ‘kan, ya? Iya, ‘kan?

            Gue klik kirim pesan di salah satu bar yang ada di situ. Sambil menahan napas, gue ketik :

            Ka, lo masih demen kopi nggak? Gue inget dulu jaman SMA lo kepengin nyobain kopi toraja. Kemarin gue dapet oleh-oleh dari temen gue beberapa pack kopi toraja. Mau nggak lo?

            Entah kenapa, gue yakin Rafka akan mau.  

Komentar

What's most