Kapan Kamu Merasa Harus Menyerah Soal Aku?


            “Kapan kamu merasa harus menyerah soal aku?” aku ingat pernah menanyakan hal ini padanya. Dan jawaban yang dia sampaikan adalah jawaban yang membuatku seolah yakin bahwa dia tak akan meninggalkanku selamanya.

“Aku akan menyerah soal kamu ketika aku tidak lagi bisa mengerti apa maumu.”

Dan ternyata, dia justru menyerah soal aku saat dia tak lagi mengerti soal dirinya sendiri. dia tak lagi memahami apa yang terjadi padanya, dan dia telah kehilangan cara untuk membuat kami tetap nyata.

Dia akan menyerah soal aku, saat dia tahu cinta yang ada di dadanya sudah tak lagi bekerja. Dia menyerah soal aku saat dia tahu bahwa segala yang kami punya ternyata hanya puisi yang dipaksakan jadi nyata. Pada akhirnya, kami tetap tidak memiliki apapun dan aku masih tidak menginginkan apapun selain dia yang tetap di sini dan tidak berkeinginan untuk pergi.

Tapi dia bosan, lantas menyerah, dan menyingkir. Menyingkirkan aku yang tidak sesuai rencananya dan menyingkirkan dirinya sendiri yang lelah menghadapi keadaan.

Karena aku tak bisa jadi cukup di matanya. Aku tak bisa jadi apa-apa yang dia mau. Baginya, aku hanya ilusi yang dia kira bidadari. Aku adalah ketidaksempurnaan yang dia kira utuh. Aku adalah perempuan yang baginya tidak sesuai harapan. Aku mengerti, aku sangat mengerti. Itulah mengapa lebih mudah untuknya memilih pergi dibanding mencoba mengerti aku, mengulang semuanya dari awal, lalu jatuh cinta lagi seperti pertama kali dia memutuskan memilih aku. Itulah mengapa lebih mudah baginya untuk berselingkuh dibanding mensyukuri keberadaanku. 

Sebab, dulu, aku begitu mempercayai sampah berwujud satu sosok laki-laki yang aku biarkan masuk ke kehidupanku dan menghancurkan seluruh bayangan manisku soal cinta. Seperti lagu-lagu kuno yang aku biarkan masuk ke telingaku, membujukku untuk larut dalam kantuk, kemudian tidur. Dia seperti itu. Ada, begitu saja, lalu tiba-tiba menghancurkan segalanya. Rasanya seperti apa? Rasanya seperti sepi.

Rasanya seperti aku hancur ditimpa reruntuhan puisi yang aku bangun sendiri, di atas kepalanya, yang begitu aku percaya. Sejak hari itu, aku tidak pernah berhenti bertanya. Mengapa? Apa aku tidak cukup? Setelah segalanya, mengapa dia masih bisa memilih orang lain? Setelah sejuta kata-kata, mengapa dia semudah itu meninggalkan segalanya? Mengapa? Apa kurang baginya jika hanya aku? Apa jika aku saja, tak cukup?

Aku terus bertanya-tanya sampai rasanya begitu bising. Sudah bertahun-tahun sejak hari itu, tapi rasanya masih seperti beberapa detik yang lalu. Rasanya seperti aku masih percaya bahwa dia tidak akan menyerah semudah itu. Rasanya, seperti aku sendirian setelah bertahun-tahun, dan dia melanjutkan hidup dengan bahagia, sementara aku lupa bagaimana caranya sembuh dari trauma yang tidak masuk akal ini. Aku harusnya baik-baik saja. 

Dia menggunakan puisi untuk membohongi penulis tolol ini. 

“Kapan kamu merasa harus menyerah soal aku?”

Harusnya, dia tak perlu repot-repot menjawab pertanyaan itu. Kalimat yang keluar dari jawabannya hanyalah kebohongan kosong yang jadi lagu pengantar untuk cinta yang habis ini tidur panjang. 

“Kapan kamu merasa harus menyerah soal aku?”

Sejak awal, dia sudah menyerah. Sejak awal, dia tidak pernah berusaha untuk memperjuangkan aku. Dia hanya seorang yang penasaran dan kebetulan beruntung. Lalu ketika tahu bahwa apa yang jadi tujuannya tidak semenarik kelihatannya, dia menyingkir, pergi, seolah-olah tidak pernah berbuat apapun. 

Betul, sejak awal aku adalah pereda rasa penasarannya. 

Dia–seperti manusia pada umumnya, menyalahkan cinta.

Komentar

What's most