Transisi


            Transisi.

            Seorang teman saya yang videomaker pernah berkata sekali bahwa yang membuat video itu terlihat manis dan sedap dipandang adalah transisi dari setiap potongan-potongan gambar bergerak itu. Membuatnya tidak terkesan terpaksa atau dibuat-buat. Transisi adalah upaya menjadikan video tersebut “seni”.

            Dalam hidup, ‘transisi’ adalah sebuah bagian dari proses menjadi dewasa itu. Sialnya, tak seperti potongan video yang mudah diedit dan bisa dirancang akan seperti apa transisinya. Di kehidupan nyata ini, masa transisi tersebut, bisa berbuah menjadi neraka.

            Tak semua orang bisa menerima fase itu dengan legowo.

            Tulisan ini seharusnya saya tulis sejak bulan Januari 2019 karena biasanya setiap tahun saya selalu membua tulisan untuk merayakan pergantian masa itu. Tapi Januari lalu saya sibuk seperti gila sampai tidak merasa punya cukup waktu untuk duduk bersantai dan menulis.

            2019 adalah keraguan.

            Seperti ketika saya berterima kasih kepada tahun 2017 karena menjadi tahun depresi saya, 2018 adalah tahun saya berterima kasih untuk segala kejutan-kejutannya. 2018 adalah tahunnya ‘pertama kali’. Pertama kali merantau, pertama kali kuliah, pertama kali hidup sendiri, dan pertama kali-pertama kalinya.

            Saya berusaha mencintai kehidupan saya yang baru di lingkungan yang asing dan menyeramkan. Medan ranjau. 2018 pertengahan sampai 2018 akhir, saya baik-baik saja. Kemudian 2019 awal, saya sudah merasakan gelagat sekarat.

            2019 bahkan belum sampai setengah tapi rasanya sudah mau mati.

            2019 adalah keraguan.

            Saya memulai tahun ini dengan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan soal hidup. Serta ... ketakutan-ketakutan baru. Saya mempelajari terlalu banyak hal sampai rasanya kewalahan. Kesibukan-kesibukan yang tidak manusiawi, membuat saya kehilangan sisi manusia itu sendiri.

            Saya ... merindukan diri saya sendiri.

            Beberapa bulan ini, saya menemukan sisi menyedihkan pada diri saya, tentang kepingan-kepingan motivasi yang hilang dalam menjalani hidup. Saya kehilangan banyak mimpi dan saya kehilangan banyak nyali. Saya kehilangan sisi dari diri saya, yang biasanya saya sukai.

            Idealisme saya menguap dan saya benci mengakui hal itu.

            Kemudian, saya sadar bahwa bersikap seperti orang yang paling sedih di dunia tidak akan membuat semangat saya kembali. Saya justru terlihat seperti mayat hidup yang berusaha kembali bernapas dan mendetakkan jantung. Semakin saya berusaha terlihat bersemangat, saya justru terlihat sekarat. Semakin terlihat menjijikanlah saya, di depan orang-orang yang berjuang lainnya.

            Saya berpikir, mungkin dulu, semua orang menyayangi saya. Seluruh dunia berpusat pada saya, oleh karena itu lebih mudah untuk saya mendapat semua yang saya mau. Menjadi pintar, punya banyak teman, menang banyak perlombaan, dihormati semua orang, disayangi hampir semua jenis lapisan manusia di sekitar saya.

            Saya seperti sosok Nana dalam novel 17 Years of Love Song. Ketakutan yang dirasakan Nana sama persis seperti ketakutan yang nyaris membunuh saya beberapa bulan ini.

            Saya mencari-cari alasan; jenuh kuliah, malas berteman, malas nongkrong, dan sebagainya. Saya mencari pembelaan untuk kemalasan saya sendiri. Pada dasarnya, saya kaget menghadapi kenyataan bahwa dunia tak lagi berpusat pada diri saya. Bumi berotasi untuk semua orang. Dan tidak semua yang saya mau, bisa saya dapatkan. Saya—bukan satu-satunya manusia di dunia ini.

            Akhirnya saya mengerti bahwa ada satu hal yang luput dari saya. Luput oleh keterlenaan saya karena seluruh keistimewaan dan kemudahan yang saya dapatkan semasa SMA. Nilai berjuang. Saya malas berjuang.

            Agak sulit memulai perjuangan ini saat saya terlanjur menganggap dunia saya nyaris runtuh dan saya sama sekali tidak siap. Tapi hidup tidak akan berhenti hanya karena saya minta dia berhenti. Waktu tidak akan menunggu hanya karena saya berkata saya mau begitu. Walau sekeras apapun saya meminta, sekencang apapun saya berteriak, semuanya akan terus berjalan.

            Dunia tidak seperti plastisin yang bisa kita kendalikan sesukanya. Terlalu banyak, begitu banyak hal yang bisa terjadi di luar kuasa kita.  

            Pada akhirnya, hidup adalah soal penerimaan-penerimaan. Seperti saya menerima ketololan saya sendiri. Memaafkan semua kekacauan yang saya ciptakan bahkan tanpa saya berniat.

            Hidup, ya ... begini. Kalau tidak menyerah, ya, mati.

            Saya berada di antaranya.

            Masa transisi yang masih terlalu berat untuk saya lalui. Barangkali karena saya takut untuk beranjak, berjalan, kemudian berlari dan sampai. Saya takut menghadapi kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja menanti saya di depan mata. Saya bahkan takut untuk bangun pagi karena seperti tak ada harapan di situ.

            Saya takut. Tapi tidak bisa berbuat banyak.

            Saya masih berusaha untuk kuat. Saya percaya selalu ada harapan. Dan akan bergantung pada harapan sekecil apapun itu.

            Selamat malam.

Komentar

What's most