Mikroskop


"Perasaan sinting ini terus berdenyut bersama jantung yang tak hentinya memompakan darah bersama hemoglobin cinta yang aliran darahnya menyeruah di seluruh tubuh saya. Derasnya tidak terbendung."



            Ada keinginan-keinginan yang seringkali tidak sejalan dengan keadaan. Seperti ketika kau hanya ingin menjadi guru yang baik, yang memberikan ilmu untuk murid-muridmu, tapi ternyata keadaan tidak begitu bersahabat dengan itu. Keinginan yang tidak sesuai dengan keadaan. Orang-orang menyebutnya mimpi di siang bolong. Aku sendiri lebih senang menyebutnya harapan.

            Harapan bekerja sebagaimana mikrosokop bekerja. Kalian tahu mikroskop? Ya, betul yang itu. Alat optik yang terdiri dari dua buah lensa cembung yang digunakan untuk mengamati benda-benda renik supaya terlihat lebih besar. Dan dia adalah benda renik itu. Benda renik yang kuletakkan di atas preparat, kemudian kuatur fokusnya sedemikian rupa, dan hanya bisa kulihat melalui lensa okuler. Seperti aku yang hanya bisa melihatnya dari sudut paling tidak nyaman yang bisa dipilih oleh orang yang tengah jatuh cinta.

            “Pak, ini tugasnya anak-anak kelas. Ada dua orang yang belum mengumpulkan, katanya nanti menyusul. Saya taruh di atas sini, ya, Pak?”

            Ini dia benda renik yang kuperbincangkan tadi. Muridku sendiri.

---

            Cinta bekerja tidak dengan begitu saja. Saat pertama kali bertemu dengan dia, veromonasalorganku bahkan tidak menangkap feromonnya. Veromonasalorgan yang  seribu kali lebih peka dari organ penciuman biasa dan bahkan dapat mendeteksi tiga puluh pikogram feromon, tapi aku tidak langsung jatuh cinta padanya. Cinta sama seperti bernapas, butuh proses.

            Bukan karena aku guru dan dia muridku, lebih melainkan karena dia memang sebiasa itu. Mungkin, dia memang terpintar di kelas, tapi selebihnya dia sama dengan teman-temannya. Sama badungnya, sama ributnya, sama berisiknya, dan lain-lain. Tapi, hal yang membuat tubuhku menghasilkan senyawa-senyawa anfetamin adalah ketika pada suatu ketika aku melihatnya memayungi kucing saat hujan lebat dan membiarkan dirinya sendiri berlari hujan-hujanan menuju halte. Aku terpaku melihatnya selama beberapa detik sebelum bus kota menutupi pandanganku dan membuatnya lenyap.

            Saat itu, jelas sudah feromonnya tercium oleh veromonasalorganku.

            Cinta bukan benda abstrak kuno yang tidak bisa dijelaskan dengan sesuatu. Sebagai guru berusia dua puluh enam tahun yang berkecimpung dalam dunia perbiologian membuatku mengerti bagaimana cinta hadir dan tumbuh. Yang tidak kumengerti adalah apa pertimbangan veromonasalorgan menerima feromon tertentu? Jadi, ketika aku memutuskan untuk tetap menyimpan perasaan sialan yang kurasakan pada muridku sendiri itu, aku juga tidak bisa menjelaskan alasannya.

            Karena apapun yang terjadi, dia hanya akan menjadi benda renik yang rasanya ingin kuperbesar lebih dari dua puluh lima kali. Membuatku ingin mengubah lensa kondensor menjadi lampu dengan kekuatan berwatt-watt agar aku tak lagi memandangnya dengan samar-samar.

            Karena meskipun dekat, dia lebih jauh dari yang terlihat. Meskipun nyata, dia tetap tak tersentuh.

            Aku jatuh cinta padanya dan ini rumit. Tidak akan ada orang yang setuju tentang perasaan ini bahkan jika aku memutuskan terus menyembunyikannya. Tidak siapapun, bahkan meski perasaanku padanya tumbuh menjadi semakin asing dan semakin menyiksa. Tidak siapapun, bahkan aku sendiri.

            “Pak? Pak Tsafier?”

            Dia mengulang pernyataannya yang membuatku sontak tersadar dari lamunanku. Aku mengerjapkan mata. Dia tersenyum.

            “Bapak melamun, ya? Ada apa, Pak? Nilai ulangan kelas kami jelek-jelek lagi, ya?” tanyanya.

            “Enggak kok, Leia. Bagus-bagus dan kamu juga dapat nilai tinggi, kok. Ngomong-ngomong habis ini saya ngajar kelas kamu, ya?” tanyaku pada Leia. Ah, benar, aku belum bilang, ya, kalau benda renik ini punya nama?

            “AH IYA BENER! Tau gitu saya tunggu Bapak ke kelas aja, ya, nggak usah ke sini. Aduh, bego banget, sih, Lei, bego banget!” Leia memukul-mukul dahinya sendiri membuatku jadi ingin tertawa. Selalu, saat berhadapan dengan Leia wibawaku sebagai Leia mencair seperti es berada di tempat bersuhu panas.

            Saat sibuk memerhatikan Leia, tiba-tiba speaker berbunyi menunjukan kelas segera dimulai. Aku segera menyusun buku-buku dan membawa laptopku, Leia masih berdiri di depanku.

            “Leia, kamu mau di sini terus jagain meja Bapak, atau ikut kelas?”

            Leia segera tersipu malu menyadari bahwa dia sedang dalam situasi yang sangat tidak mendukungnya melakukan perbuatan memukul dahi. Satu hal lucu yang kutahu dari Leia adalah, ketika malu, pembuluh darah di wajahnya akan mengalami validation sehingga banyak darah mengalir lebih banyak daripada biasanya. Itulah mengapa mukanya merah saat ia malu dan Leia menjadi selucu itu.

            “Ya udah ayo ke kelas. Jangan mukul dahi terus, nanti sakit.”

            “Sini, Pak, biar saya bantu bawain laptopnya.”

            Leia membawakan laptopku dan mengikutiku dari belakang. Rasanya seperti keracunan karbon monoksida sampai paru-paruku berhenti bekerja. Awalnya kupikir, aku memang ingin dekat dengannya tidak sebagai benda renik yang kulihat melalui lensa okuler. Tapi ternyata, aku tak bisa melihat Leia dengan jarak sedekat ini.

            Aku berjalan dan Leia di belakangku.

            Aku gelisah. Aku telah sampai pada tahapan di mana aku jatuh cinta. Dan cinta yang kali ini, buruk sekali. Sampai aku berpikir kelihatannya jika diberi pilihan aku akan lebih memilih batuk rejan daripada sesak napas hanya karena dekat dengan muridku sendiri.

            Memalukan.

---

           
            Hal terburuk pertama : aku jatuh cinta pada muridku sendiri.

            Hal terburuk kedua : aku tidak bertepuk sebelah tangan.

            Aku tertawa sampai menangis ketika aku mendapatkan surat cinta di atas meja kerjaku di ruang guru, beramplop pink, dengan wangi parfum yang lembut. Surat itu terikat bersama dengan satu kaleng kopi dingin.  Aku yang terkejut buru-buru meraihnya, memasukkan ke tas ku, dan beranjak pergi dari kantor. Tidak menyadari bahwa dari pintu, Leia duduk menunggu dengan kecemasan penuh.

            Dalam perjalanan pulang, aku mendapati pohon-pohon yang mungkin kini sedang berfotosintesis. Bagaimana aku bisa melihatnya dengan mata telanjang? Bagaimana aku menerka-nerka isi surat pink tadi tanpa membacanya? Aku memutuskan menepi. Duduk di meja paling sudut cafe kopi pinggir jalan, memesan Americano.

            Lalu membu   ka surat Leia.

            Pak Tsafier, saya Leia. Saya jatuh cinta sama Bapak. Jatuh cinta yang itu. Saya yakin feromon Bapak tertangkap oleh nggak-tahu-apa di hidung saya, lalu jatuh cinta. Gitu ‘kan, Pak, jatuh cinta menurut Biologi? Dari hidung turun ke hati.

            Saya tahu ini gila dan nggak masuk akal. Dan saya juga tahu pasti ini kesalahan. Tapi, Bapak sudah seperti plasma darah untuk saya. Membasahi seluruh komponen di tubuh saya. Perasaan sinting ini terus berdenyut bersama jantung yang tak hentinya memompakan darah bersama hemoglobin cinta yang aliran darahnya menyeruah di seluruh tubuh saya. Derasnya tidak terbendung.

            Maaf, Pak. Bapak boleh kurangi nilai ulangan harian terakhir saya, tapi jangan marahin saya. Saya jatuh cinta. Makasih.

            Siapapun, ada yang mau bunuh aku?



bersambung di Mikroskop Bag. 2 - Ending

Komentar

What's most