Seberapapun Mau



Hari masih baru menyentuh senja—jam 5 sore, ketika Rafid datang ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Rafid langsung memarkirkan mobilnya di luar halaman rumah itu. Rumah bercat putih dengan aksen cokelat muda yang dulu begitu sering Rafid kunjungi—sekarang, seminggu sekalipun belum tentu.

Begitu memasuki teras rumah, Rafid segera melepas sepatunya dan menekan bel pintu, “Assalamualaikum ...”

Tak berapa lama, seorang lelaki paruh baya, berumur enam puluh tahunan membukakan pintu. Begitu melihat sosok itu, Rafid langsung hendak menunduk untuk menyalaminya. Belum sempat menggapai tangan lelaki itu, tubuh kurus jangkung Rafid langsung dipeluk olehnya.

Rafid membalas pelukan lelaki itu. Rasanya seperti dipeluk bapak sendiri.

“Masuk, le. Dasar kamu! Ke mana saja nggak pernah mampir? Jangan sombong hanya karena patah hati yo! Kurang ajar memang!” Bapak—Rafid biasa memanggil Hermawan dengan panggilan itu, walau sosok yang kini merangkul membawa tubuhnya masuk ke dalam rumah ini bukan betulan bapak kandunya. Rafid memang sudah menganggap Hermawan seperti bapak kandungnya sendiri.

“Bukan begitu, Pak. Akhir-akhir ini bisnis saya lagi agak sepi, jadi saya agak sibuk untuk memikirkan inovasi-inovasi baru di semua cabang,” jelas Rafid.

“Terus sekarang gimana, le? Sudah oke?” tanya Hermawan. “Kene duduk. Aku bikinkan kopi dulu sebentar.”

“Masih proses bikin produk-produk baru, sih, Pak. Menyesuaikan sama tren yang lagi naik sekarang. Gara-gara kebanyakan mengurus kedai kopi, bisnis produk makanan saya memang agak keteteran. Jadinya, ya, begini. Ngomong-ngomong, biar saya aja, Pak, yang bikinkan kopi,” Rafid tak langsung duduk, namun berjalan menuju dapur. Dulu dia sering numpang masak mie di sini, bahkan eksperimen-eksperimen membuat kopi dan produk-produk makanan yang kini dia pasarkan dilakukannya di rumah ini juga.

“Sudah. Bapak saja yang bikin. Walaupun pakai kopi instan biasa, tapi Bapak masih bisa bikin kopi, kok,” Rafid mau tidak mau menuruti omongan Hermawan. Rafid langsung duduk di sofa empuk ruang tengah.

Ruang tengah ini ... kenangan yang menguar begitu kuat dan dalam. Perasaan nostalgia muncul begitu saja tanpa bisa dicegah Rafid. Dua orang anak SMA yang sibuk bermain musik di ruang tengah ini. Ada tawa pada segala ingatan itu. Namun alih-alih merasa bahagia, Rafid justru merasa pedih. Sialan, bukan ini tujuannya ke mari. Kenapa ia harus bersikap kekanakan dengan merasa kecewa pada hal-hal yang sudah berlalu?

Tak lama, Hermawan datang membawa dua gelas kopi hitam dan sekaleng lidah kucing. “Diminum, le.”

Rafid mengangguk sopan ketika Hermawan meletakkan nampan itu di meja kecil samping sofa.

“Raina belum pulang, ya, Pak?

Hermawan menatap Rafid. “Belum, kalau weekdays begini, Ina bisa jam 9 baru sampai rumah. Habis dari firma masih ketemu klien-klien apalah nggak paham aku.”

“Kalau ibu? Kok tumben nggak di rumah?”

“Lagi beli gas, sih, tadi pamitnya. Tapi pasti ngobrol dulu sama tetannga. Nanti paling sebelum maghrib sudah balik.”

Rafid mengangguk-angguk paham.

“Ada apa, le? Kamu mau konsultasi urusan bisnismu sama Bapak?” tanya Hermawan. Rafid yang sedah terdiam terkejut.

Oh iya, nyaris saja lupa.

“Nggak, Pak. Saya sebenernya ... anu, nggak enak saya ngomongnya,” Rafid menggosok-gosok lututnya sangsi. Hermawan tertawa tenang melihatnya begitu.

“Raina, yo, le? Soal Raina?”

Hermawan memang tak jauh berbeda dari kebanyakan bapak-bapak lainnya. Namun, satu yang membuat Rafid begitu menghormati ayah dari Raina ini, bahwa beliau memiliki pembawaan yang begitu tenang. Ketenangan itu berlaku dalam situasi apapun. Dan itu membuat Rafid jadi bersikap serupa.

Nggih semacam itu, Pak,” Rafid menghela napas. “Semalam saya ditelpon Raina, dia bilang dia sudah dilamar Jati.”

Hermawan menatap Rafid tenang, “Lalu?”

“Saya mau minta maaf, Pak.”

“Minta maaf apa?”

“Karena ... sudah, anu, tidak menepati janji.”

Hermawan kini balas terdiam. Menghela napas.

“Nggak, le. Nggak begitu. Bukan salahmu kalau semua terjadi tidak seperti yang Bapak mau, bukan salahmu kalau ternyata Raina memilih seperti itu. Tidak ada yang harus dimaafkan di sini.” Hermawan berbicara, berusaha tenang, dia melanjutkan, “Raina yang memutuskan.”

“Tapi seandainya saya berusaha lebih keras, berusaha lebih cepat, Raina tidak perlu menunggu lama. Sehingga saya bisa menepati janji ... sehingga saya ... tidak kehilangan ... sehingga saya ...”

Telapak tangan Hermawan jatuh ke bahu Rafid. “Maaf karena Raina sudah menyakiti kamu,”

“Raina memilih laki-laki yang tepat untuk dia. Jati adalah yang terbaik.”

“Bapak nggak tahu harus memposisikan diri seperti apa, le. Apakah Bapak harus minta maaf untuk semua perlakuan Raina ke kamu, atau harus marah sama kamu karena tidak bisa menepati janji, atau ... yang lainnya.”

“Seandainya saya tidak sibuk bekerja mungkin saya tidak akan kehilangan Raina, ya, Pak? Padahal sudah setahun lebih sejak Raina memutuskan saya. Harusnya saya minta maaf sama Bapak waktu itu.”

“Le, terima ini semua. Bapak nggak menyalahkan kamu. Sama sekali.” Hermawan menatap mata Rafid lebih dalam. Mata itu kini merah seperti menahan depresi, kepedihan, dan rasa sakit. Hermawan melihat sisi patah hati yang menggeliat, tercampur gengsi yang bebal namun membebani. Hermawan bisa mengerti rasa sakit itu. Ini bukan perkara Rafid tidak bisa menepati janjinya, lebih dalam daripada itu, ada perasaan Rafid pada Raina yang belum selesai.

Hermawan berusaha memahami laki-laki muda berusia 26 tahun yang kini duduk menunduk sambil memegangi dahinya ini. Rafid seperti anak laki-laki yang tak pernah dia miliki, mungkin itulah kenapa ketika suatu siang sepulang sekolah, beberapa tahun yang lalu, Raina membawa Rafid ke rumah dan memperkenalkannya sebagai temannya, Hermawan tidak komplain seperti biasanya dia mengomplain teman-teman laki-laki Raina lainnya. Bertahun-tahun Rafid dan Raina bersahabat, Hermawan bisa menemukan sosok yang dia percaya kelak bisa menjaga Raina.

Janji yang dimaksud Rafid adalah janji untuk menjaga Raina ketika kelak Hermawan tidak berada di dunia ini lagi. Janji yang Hermawan minta untuk Rafid lakukan. Rafid telah bersepakat dengannya untuk menjaga Raina, menjadi suaminya, menjadi laki-laki yang menemani Raina untuk seumur hidupnya.

Kini janji itu tidak akan mungkin bisa ditunaikannya. Mengingat keberadaan Jati.

Hermawan sesungguhnya mengerti bahwa yang jauh lebih buruk perasaan Rafid tentang menepati janji adalah batinnya yang terluka karena Raina sudah tidak akan mungkin lagi kembali dimilikinya. Sebagai laki-laki, dan sebagai sosok bapak, dia bisa melihat kehancuran itu. Hermawan juga memahami bahwa kedatangan Rafid ke sini, selain menebus rasa bersalahnya, juga dalam rangka menyembuhkan dirinya sendiri.

 “Kamu akan selamanya jadi anak laki-laki yang nggak pernah bapak miliki.”

Rafid mengangkat kepalanya, menoleh lalu menatap Hermawan.

“Seberapa inginpun Bapak menjadikan kamu mantu, semua keputusan ada di tangan Raina. Raina, walaupun adalah anak perempuan bapak, dia memiliki otoritas atas kehidupannya sendiri. Oleh karena itu, ketika kalian putus, Bapak juga tidak protes. Karena keinginan bapak adalah tanggung jawab bapak. Dan hubungan kalian adalah tanggung jawab kalian.”

Rafid masih bergeming,

“Le, Bapak mengerti jika seandainya kamu patah hati, bahkan di situasi bisnismu sedang tidak stabil, tiba-tiba kamu mendengar Raina akan menikah. Bapak bisa memahami perasaanmu, sedikit banyak ...”

“Tapi, le, hidup harus terus berjalan. Bapak sudah tidak akan menagih janjimu untuk menjaga Raina. Kini kamu yang harus berjanji pada diri sendiri untuk tidak menyalahkan diri. Seperti yang kamu bilang tadi, Jati adalah sosok yang tepat untuk Raina, maka, kita harus mempercayakan Jati untuk menjaga Raina ...”

“Sudah, le, nggak apa-apa. Anggap ini sebagai pelajaran untuk menuju dewasa. Banyak hal yang masih harus kamu kejar. Bisnismu, cita-citamu, mimpi-mimpimu. Raina, dan segala yang terjadi hari ini, adalah kerikil dari batu-batu besar yang menunggu kamu di depan. Kamu masih sahabat Raina dan anak laki-laki Bapak, tidak akan ada yang berubah soal itu.”

Kini, Rafid menghayati seluruh kalimat yang meluncur bebas dari bibir Hermawan. Benar, Hermawan benar, yang membuatnya ke sini bukan karena kegagalannya menepati janji anak dari pria itu, melainkan untuk perasaannya sendiri. Perasaan yang setelah ini akan sia-sia karena Raina tak akan pernah bisa dia jangkau lagi. Perasaan yang ... harus dia maafkan karena tak bisa capai. Perasaan yang entah kapan akan selesai.

“Saya mencintai Raina, Pak.”

“Bapak mengerti. Tapi, Raina berhak memilih apapun yang dia mau. Ya, le? Sama seperti kamu yang berhak untuk memilih perempuan manapun yang bisa menemani kamu setelah ini. Maafkan Raina karena membuatmu patah hati, yo? Maafkan Bapak juga karena pernah membebani kamu dengan janji itu.”

“Iya, Pak. Saya paham. Maafkan saya juga.”

Hermawan hanya berharap semoga Rafid betul-betul memahami apa yang diucapkannya. Walau jujur, Hermawan tetap menyukai sosok Rafid dan kalau bisa ingin menjadikannya menantu. Tapi, dia tidak mau memaksa Raina menuruti kemauannya. Raina memiliki otoritas tertinggi untuk hidupnya sendiri, dan Hermawan tidak mau menginterupsi itu hanya karena dia adalah ayahnya. Termasuk pilihan soal jodoh—yang jelas-jelas dia memiliki sosok spesifik untuk dijadikan menantu. Hermawan tak akan memaksa Raina menuruti keinginannya. Dia hanya ingin anak perempuannya itu bahagia.

Hermawan masih menepuk-nepuk pundak Rafid. Berharap yang terbaik untuk anak laki-laki yang begitu mencintai anaknya ini.

Seperti dulu Hermawan begitu ... merelakan yang tidak bisa dimilikinya, seberapapun mau dirinya akan itu.

Seberapapun mau dirinya akan itu.

Komentar

What's most