Mikroskop [Bag. 2 - Ending]
"Tak ada teori yang bisa menjelaskan patah hati. Manusia tak pernah siap. Terlebih patah hati itu terjadi di dalam kuasamu. Kau punya kekuatan untuk menolak, tapi memilih terjun."
Sebelumnya di Mikroskop
Keesokan
paginya, aku berangkat ke sekolah satu jam lebih pagi daripada biasanya. Sekolah
mulai pukul delapan, guru-guru dan murid-murid biasanya baru akan datang pukul,
sementara jam enam kurang aku sudah memarkirkan sepeda motorku. Begitu menyapa
penjaga sekolah yang masih sibuk membuka ruang-ruang kelas, aku langsung menuju
kantor dan meletakkan tas di mejaku. Kemudian, meraih kembali surat beramplop pink pemberian Leia—beserta sekaleng
kopi yang masih utuh, belum lagi kusentuh sejak kemarin sore.
Di mejaku, aku mengamati amplop pink
berisi surat pernyataan cinta dari muridku sendiri. Aku tersenyum, sedih jujur
saja. Mengapa surat cinta pertamaku harus kudapatkan di momen semacam ini?
Haruskah kusyukuri, atau kukutuk saja agar segalanya jadi normal seperti
semula?
Mengapa Leia bisa mencintaiku?
Aku sedang berpikir ketika tiba-tiba
kantor terbuka dan mendapati seseorang mengenakan rok abu-abu memasuki ruangan
dengan langkah kikuk. Aku terkejut, sama seperti sosok itu yang sama
terkejutnya denganku.
Oke. Tidak terduga sekali. Siapa sangka
orang yang kuhindari setengah mati tiba-tiba datang sendiri?
Ketika sosok itu baru akan mundur
dan keluar dari kantor, aku segera bersuara
“Pagi sekali, Leia, cari apa? Mau ngerjain
tugas, ya, pasti?” tanyaku mencoba basa-basi. Aku mendapati Leia terkejut dan
menahan napas. Ketika dia menoleh ke arahku, dia melihat tanganku masih
menggenggam surat pemberiannya. Seketika, wajahnya memerah.
“Bapak sudah baca surat saya?” tanya
Leia.
Aku
mengangguk,”Iya.”
Saat ini, aku pahami bahwa telah
terjadi pertarungan dahsyat di dalam otakku. Di bagian korteks depan orbital,
telah terjadi riuh ramai pengendalian emosi dan pembelajaran soal siapa
perempuan yang tengah berbicara denganku ini. Sementara di otak bagian lainnya,
sedang terjadi usaha ekstrem berlebihan untuk meratapi diri sendiri—tentang betapa
aku tengah menyukai seseorang yang juga menyukaiku, tapi aku hanya diam,
menyalahkan diri, menyalahkan ... apa, ya? Kenapa cinta kelihatan seperti dosa
hanya karena dia tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat?
Apa yang bisa kulakukan?
“Sebenernya tadi saya mau memastikan,
apa surat saya masih ada di meja Bapak atau gimana. Saya mikir kebawa guru lain
atau jatuh atau gimana gitu. Bapak betulan sudah baca?” tanya Leia tanpa
berusaha menatap mataku.
“Iya, saya sudah baca seluruhnya. Dan
saya menghargai isi surat itu. Terima kasih, ya, Leia.” Aku menenangkan dia sambil
berusaha menenangkan diriku sendiri. Baru Leia berani mendongak dan menatapku.
“Lalu bagaimana, Pak?”
APANYA LEIA? APANYA YANG BAGAIMANA?
Aku berteriak seperti itu dalam
hati, tapi tidak kukatakan apapun selain, “Begitu.”
Sialan juga, ya, aku.
Leia menganga mendapati jawabanku yang
setidak terduga itu. “Bapak nggak mau komentar ... apapun?”
Aku terkekeh getir.
“Leia, kamu bahkan panggil saya ‘bapak’,
apa yang kamu harapkan?”
Begitu kalimat barusan meluncur
bebas dari bibirku, rasanya aku ingin sekali nyemplung ke neraka tanpa berpikir
apa-apa. Berkualitas sekali, Tsafier, kamu mau bikin anak gadis menangis sepagi
ini?
Aku berusaha menatap mata Leia. Dia menatapku
dengan pandangan terluka dan mata berkaca-kaca, “Saya hanya berusaha mengatakan
apa yang saya rasakan, Pak. Maaf kalau itu mengganggu Bapak. Saya permisi.”
Leia berjalan mundur sambil
menundukan kepala, ketika aku menyadari bahwa aku harus menyampaikan padanya soal
sesuatu. Aku tidak bisa diam dan bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Maka,
“Tunggu, Leia!”
Leia berhenti, membalik badannya,
menatapku dengan berani.
Ya, sisi ini juga, sisi berani yang
menonjol dari sosok Leia Areswari. Sosok yang ... tak berani aku perjuangkan. Atau,
aku malas berjuang?
“Kenapa, Pak? Bukannya saya sudah
kelihatan tolol, ya, di mata Bapak Guru Tsafier yang terhormat? Ada apalagi?”
Aku yang semula masih duduk, kini
berdiri—tapi tanpa meninggalkan meja dan kursiku. Aku menatap dalam-dalam mata
Leia yang kini tengah memandangku dengan ekspresi terluka.
“Maafkan saya, Leia, tapi bagi saya
kamu ... murid saya sendiri. Saya terkejut ketika mendapati surat dari kamu dan
saya jadi bingung harus bersikap seperti apa.”
“Apa yang salah kalau saya murid dan
Anda guru?” Leia lebih berani lagi menatapku. Andai, andai aku berada di dalam
posisi yang mungkin, akan kurengkuh dia sehangat dan selekat yang aku bisa. Tapi,
aku hanya sibuk memantau waktu, khawatir kalau-kalau tiba-tiba saja ada guru
yang datang dan mendapati kami dalam situasi seperti ini. Aku bisa mati.
“Banyak, Leia, banyak yang salah.
Kamu—di mata saya, adalah perempuan muda yang masih punya banyak mimpi yang
harus kamu wujudkan. Kenapa harus buang-buang waktu menyukai saya?”
“Buang-buang waktu Bapak bilang?
Buang-buang waktu? Bapak kira, menulis surat dengan bahasa biologi yang tidak
begitu saya pahami, itu buang-buang waktu? Memberanikan diri mengungkapkan suka
pada seorang guru, bapak bilang itu buang-buang waktu? Saya tahu bapak guru
sains, saya mengerti logika berpikir yang otak-otak-otak- dan otak itu. Tapi,
haruskah bapak bilang bahwa seluruh usaha saya untuk mengungkapkan perasaan itu
buang-buang waktu?” Leia menjadi semakin tak terkendali. Kini, aku mendapati
matanya yang berkaca-kaca itu berubah menjadi basah dan ada air mata yang menggantung
menuju jatuh.
“Leia ... maafkan saya. Tapi, bukan
seperti ini seharusnya ...”
“Seharusnya apa? Moral? Stigma?
Seharusnya menurut siapa, Pak?”
Aku menghela napas, “Kendalikan diri
kamu, Leia. Saya masih guru kamu. Setidaknya hormati saya.”
“Bahkan bapak tidak menghormati
perasaan saya.”
“Leia!”
Leia kini sudah betulan menangis
sementara aku sibuk mengendalikan diriku sendiri yang ingin meneriakkan padanya
seluruh perasaan yang aku simpan dalam hati. Aku menghela napas, halo hipotalamus? Kau oke?
“Kelak kamu akan mengerti, Lei,
kenapa saya harus bersikap seperti ini. Maafkan saya. Kamu, pasti akan menemukan
seseorang yang lebih baik, yang jauh lebih mampu menemani kamu dan memelihara
mimpi-mimpi kamu,” aku mendesah sekali lagi. Menahan sesak. “Maaf, saya pasti
sudah kehilangan wibawa saya sebagai guru di depan kamu. Kamu punya mimpi-mimpi
panjang yang bisa kamu perjuangkan. Belajar yang rajin, kalau kamu sukses, kamu
akan mendapat cinta yang berkelas.”
Leia mendengus, dia tersenyum sinis,
“Ya, terima kasih, Pak. Terima kasih sudah dibuat patah hati sepagi ini. Mungkin,
saya akan mengerti kenapa bapak tidak berusaha menanyakan apapun soal perasaan
saya dan malah sibuk berkoar soal apalah itu saya nggak paham. Saya pasti
kelihatan seperti murid tolol yang binal dan nggak tahu malu, ya, sekarang?
Maaf sudah mengganggu waktu Bapak. Saya permisi ... selamat pagi.”
Kini, perempuan itu mundur selangkah
dan menundukkan kepalanya sekilas, lalu memunggungiku untuk melangkah pergi.
“Kamu akan mengerti, Leia.” Teriakku
sebelum Leia benar-benar menjauh.
Aku mengehela napas dan membanting
tubuhku ke kursi. Aku meraih kaleng kopi pemberian Leia. Menatapnya nanar.
Aku membuka kaleng kopi itu dan
menyesapnya sedikit.
Pahit.
Seperti mengerti bahwa aku tengah
patah hati.
---
“Jadi anak-anak, kalau sudah paham,
kalian ambil preparat lalu kalian akan mengamati benda dengan mikroskop.
Setelah itu catat hasilnya di lembar yang sudah saya bagikan. Paham semuanya?”
ujarku berwibawa menggema ke seluruh laboratorium ini.
Serentak, mereka menjawab, “Paham,
Pak!” aku mengangguk lalu kembali pada mikroskopku sendiri untuk mengamati
struktur tumbuhan di preparatku sekali lagi. Ketika aku baru memfokuskan objek,
sebuah suara dari tengah ruangan berbunyi jauh menggema dari suaraku tadi.
“Saya nggak paham, Pak!” aku
mengangkat kepala dan sialnya mendapati Leia.
Sebelum menjawab, aku menghela
napas. Aku tahu mengatakan hal seperti itu akan sangat membebani lidah, tapi
jantungku akan tetap memompa darah dan paru-paruku masih berisi udara. Aku akan
baik-baik saja. “Ya, Leia? Ada yang mau kamu tanyakan?”
Leia mengangguk mantap. “Ya, Pak.
Saya nggak paham semuanya. Penjelasan Bapak, kata-kata Bapak, nggak ada satupun
yang saya ngerti. Saya sudah berusaha maksimal, tapi semua nggak masuk akal,
semuanya—“
“Lei, diem bego!”
Aku tercenung mendengarkan perkataan
Leia. Sambil diam-diam bersyukur dengan sikap heroik Duta, sahabat baik Leia
yang berhasil menghentikan gadis itu sebelum Leia melanjutkannya dengan lebih
gila lagi. Aku melihat Duta memegangi kedua tangan Leia, sementara anak-anak
lainnya menatap Leia dan aku dengan pandangan penuh minat dan ingin tahu. Aku
menghela napas, entah untuk keberapa kalinya dalam setengah jam.
“Jadi pertanyaannya, Leia?”
Leia berdiri dan kini menatapku
dengan tajam, “Saya nggak mau tanya-tanya apapun, Pak. Saya mau Bapak
mengulangi semua penjelasan, mungkin dengan begitu saya bisa menerima kenapa
Bapak—“
“Leia, bisa langsung skip ke inti
pertanyaannya? UAS sebentar lagi dan saya tidak mau buang-buang waktu untuk
menjawab pertanyaan yang ...” aku terdiam beberapa detik, “... di luar materi.”
Leia terkejut mendengar
pertanyaanku. Aku paham. Sungguh aku paham apa yang ingin gadis itu tanyakan.
Bukan hanya Leia, aku pun ingin tahu apa jawabannya yang digantung semesta di
langit-langit tentang pertanyaan-pertanyaan yang sering aku tanyakan. Ada
banyak mengapa oleh aku dan Leia, tapi tak pernah sekalipun aku mendapatkan
jawabannya.
“Kita lanjutkan mengamati.”
Aku bisa mendengar meskipun aku
mati-matian berusaha tuli pada getaran yang berusaha Leia sampaikan lewat air
mata. Aku tahu kelenjarnya melakukan lekrimasi karena rasa sakit dalam hatinya
yang disebabkan olehku. Aku tahu bahwa diam-diam, Leia menangis di belakang
Duta yang pura-pura sibuk mengamati dengan mikroskopnya.
Dengan perasaan kacau, aku kembali
pada mikroskopku. Mengamati Rhoe discolor-ku dengan
perasaan yang gamang. Ada kemungkinan-kemungkinan lain yang sedang berusaha
kupikirkan, tapi tetap saja sakit rasanya membiarkan dirimu jatuh cinta tanpa
tedeng aling-aling. Aku hanya bisa berpikir bahwa aku akan resisten pada
ingatan tentang Leia, seperti bakteri yang resisten pada obat-obatan.
Aku beralih dari daun adam hawa ke
pada catatanku. Menghela napas berusaha mengikhlaskan segalanya.
Kali ini, bisa kalian jelaskan, dari
mana rasa sesak di dadaku ini? Di mana perasaan patahku berasal? Dan mengapa
... aku merasa kacau?
Tak ada teori yang bisa menjelaskan
patah hati. Manusia tak pernah siap. Terlebih patah hati itu terjadi di dalam
kuasamu. Kau punya kekuatan untuk menolak, tapi memilih terjun.
Biologi bisa menjelaskan penyakit
apapun—tapi tidak dengan yang satu itu. Sampai kapanpun, mungkin aku hanya akan
penasaran mengapa semesta berkonspirasi dengan cara seperti ini.
Rhoe
discolor sudah kuperbesar berkali-kali, namun pandanganku buram. Seperti
Leia yang sudah berusaha aku perjelas berkai-kali, namun tak akan pernah bisa
jadi milikku.
Selamanya.
Komentar
Posting Komentar