Untuk Perempuan yang Dicintainya
Kepada
perempuan yang kini dicintainya;
Tenang
saja, ini tak akan jadi surat ancaman atau surat peringatan pembunuhan. Apalagi
surat tantangan. Menyerahlah soal khayalan bahwa lewat surat ini aku akan
memgintimadasimu hanya karena alamat masa lalu yang menyertai surat ini. Surat
ini hanya akan jadi surat ucapan selamat dan terima kasih atas hubungan kalian.
Terima kasih telah menyembuhkan lukanya.
Dia
mungkin sudah menceritakan padamu tentang seseorang dalam masa lalunya yang
kerjaannya hanya menyakitinya. Seseorang yang selama dicintainya hanya terus
menerus patah hati. Seseorang yang mungkin kini dibencinya setengah mati. Atau,
justru tak tersinggung aku dalam percakapan penuh cinta kalian?
Mungkin
juga, dia tak menceritakan ada seseorang dalam masa lalunya yang masih hidup
sampai sekarang. Mungkin dia lupa, atau dia memang sengaja tak ingin
mengenalkanmu pada monster yang menghancurkan hatinya, yang telah
menyia-nyiakan tiga tahunnya hanya untuk menunggu seseorang yang tidak layak
ditunggu seperti aku.
Pada
akhinya, aku juga yang berharap kau tahu bahwa masa lalunya punya nama. Masa lalu
yang ingin dia kubur itu kini nekat mengirimimu surat dengan tak tahu malunya,
lantas surat ini sudi kau baca.
Sebelumnya,
maaf karena aku dan dia bertemu lebih dulu. Seandainya mungkin, aku akan
mengatur agar kalian bertemu lebih cepat, dan dia juga bisa bahagia lebih
cepat. Tapi, aku bukan siapa-siapa, bukan Tuhan yang memegang penuh kendali
atas semesta. Aku hanya manusia yang sama seperti yang barangkali dikenalnya
dengan baik beberapa saat sebelum dia begitu bahagia. Aku juga berharap bisa
lebih legowo menyaksikan hidup kalian
yang dipenuhi kebahagiaan sementara kehidupanku stagnan dan membosankan. Idealisme
ini seringkali menikam perasaanku sendiri.
Ah,
apa aku melantur terlalu jauh?
Untuk
perempuan yang kini dicintainya;
Pada
akhirnya lagi, surat ini hanya akan menjadi lembar permohonan maaf yang akan
kau buang ke tempat sampah. Tidak apa-apa. Kau juga tidak perlu menceritakan
padanya bahwa kau menerima surat ini.
Aku
sedang tidak mengemis apapun.
Aku
belajar untuk melupakan banyak hal tentang lelakimu sekarang. Dulu, dia adalah
hal yang terlalu baik bagiku dan aku adalah sampah apa boleh buat baginya. Dia
melawan banyak hal hanya untuk mencintaiku. Melipat jarak ratusan kilometer hanya
untuk menemuiku.
Sementara,
aku hanyalah Sid yang dituduh menikam Nancy. Aku Sid yang menikam Nancy.
Aku
mencintainya, tapi mungkin dengan meninggalkannya, menyerah dan tidak
memerjuangkannya, aku berharap dia bisa bahagia. Aku menyukainya, dan aku
menunggunya untuk peduli meski nasib hanya akan membuat kami berpisah.
Tapi,
caraku mencintainya kini adalah dengan merelakan yang tak bisa kumiliki. Saat seperti
kami memutuskan tak lagi bersama. Aku menyadari bahwa kepergian adalah cara
untuk menjaga kami berdua tetap waras dan tak saling membenci satu sama lain.
Caraku
mencintainya kini adalah dengan menunduk dan ikut berbahagia bersamamu, sebagai
kebahagiannya yang tak lagi aku miliki.
Selama
ini, aku memberinya banyak harapan yang tak mampu aku penuhi. Bahagiakan dia
walau aku yakin kau telah melakukannya tanpa aku meminta. Maaf karena malam ini
aku membuang-buang waktumu. Setelah ini, kau boleh membuang-buang segala
tentang aku yang kau baca di sini dan menjadikannya angin dalam ruangan ber-AC,
dengan mudah kau abaikan.
Kau
akan bahagia. Dia akan bahagia. Dan aku tentu saja akan bahagia. Cinta barangkali
menunjukan kerumitannya untuk menjelaskan kepada manusia bahwa ada hal-hal yang
sesungguhnya bisa dilakukan dengan sederhana. Seperti merelakan kepergian,
seperti merelakan kehilangan, seperti aku yang akhirnya menerima kenyataan
bahwa dia telah menemukan kebahagiaannya yang baru.
Semua
sudah dimaafkan sebab kita pernah bahagia.
Permisi.
Regards,
P.
Put?
BalasHapus