Dunia yang Kita Tinggali

            Manusia itu rumit. Dan kehidupan adalah benang yang menyelimuti kerumitannya. Silakan kalikan kerumitan itu dengan macet kendaraan ketika lebaran, maka akan mampu kau jelaskan bagaimana sesungguhnya dunia berotasi. Sebab, seringkali bumi bukan hanya memutarkan dirinya pada poros, namun juga memutarkan manusia pada pilihan-pilihan yang harus secepat kilat diambil. Bahkan kalau bisa tanpa berpikir.

            Aku pernah melihat bangkai tikus dan muntah banyak sekali. Lalu, aku jadi memikirkan hal yang membuatku begitu sedih; “Apakah tikus akan muntah melihat bangkaiku?” aku akhirnya menyadari betapa menyeramkannya hidup di dunia ini. Bolak-balik yang dilakukan bumi bukan hanya tentang perubahan waktu, melainkan juga perubahan keadaan, perubahan situasi, dan akhirnya manusia hanya dipaksa untuk menerimanya tanpa punya hak untuk bertanya, berkomentar, apalagi membantah.

            Singkatnya begini. Sejak dulu, aku sadar bahwa dalam menjalani kehidupan, manusia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Seperti judi, tapi pemenang dan pecundang sudah ditentukan sejak awal. Kita akan mulia dari fase pertama menuju dewasa. Ketika SMP, kita dihadapkan pada banyak sekali pilihan SMA untuk melanjutkan pendidikan. Kita bisa memilih, tapi pada akhirnya kita tetap ditentukan akan meneruskan masuk ke SMA mana karena nilai kita. Masih belum paham? Begini, sejak awal kita hanyalah tentang mencoba peruntungan-peruntungan paling mungkin yang bisa kita raih, dengan usaha-usaha paling mustahil yang bisa kita bayangkan.

            Masih belum mengerti? Tak apa, tak usah pikirkan. Toh, manusia memang rumit dan segala kerumitan itu harus diterima begitu saja. Lagi-lagi tanpa komentar dan tanpa bantahan. Manusia disodori jutaan pilihan yang bisa dia pertimbangkan satu persatu, tapi ketika manusia sudah memilih ... pyas! Sesuatu pada pilihanmu hanyalah harapan kosong yang diatur dunia. Kau hanya mainan. Kau hanya boneka. Pilihan-pilihan yang kau ambil sesungguhnya hanya akan berakhir sama.

            Kau diperalat dunia.

            Kau. Diperalat. Dunia.

            Barangkali aku terdengar seperti orang yang frustasi ketika sampai pada paragraf ini. Tapi kenyatannya; entah. Antara ya dan tidak. Salah seorang temanku kehilangan mimpinya karena dunia. Salah seorang temanku yang lain harus merasakan sendiri kedua orang tuanya terluka karena dunia. Seorang temanku lagi berusaha mengabaikan perasaannya sendiri untuk membahagiakan dunia. Seorang temanku yang lainnya lagi tak mampu mengusahakan cita-citanya karena dunia. Dan aku sendiri, membiarkan diriku ditertawakan dunia karena bahkan aku masih menyangkal hal-hal yang sejak awal ada. Barangkali ini tentang mimpiku, barangkali ini tentang perasaanku. Segalanya sama saja. Hanya tentang bagaimana dunia mengemasnya.

            Aku tidak membenci orang-orang. Aku terlalu mencintai diriku sendiri untuk mengurusi orang-orang tolol yang meneriakiku tolol. Egois adalah modal utama hidup di dunia dengan lingkungan sampah semacam ini. Mata-mata jernih yang keruh, bibir lembut yang mengoyak, dan kasih sayang berupa cacian; omong kosong. Bullshit.

            Aku hanya terlalu mencintai teman-temanku yang menderita, dan diriku sendiri yang menderita. Barangkali aku hanya orang insane yang memperkeruh keadaan dengan menyalahkan dunia dan lingkunganku, tapi aku hanya berusaha menghadapi kenyataan. Dunia bukan tempat yang tepat untuk bermimpi dan mengejar impianmu. Dunia adalah medan perang melawan diri sendiri dan kau tak akan bisa menang. Jangan kaget, sebab itulah kenyataan.

            Aku jadi berpikir bagaimana sebuah takdir bekerja. Apakah sama dengan pilihan-pilihan yang ditayangkan nasib? Bagaimana takdir mengatur segala hal yang dilakukan manusia? Aku tahu aku telah begitu muak dan aku kelelahan. Aku lelah mengejar matahari, aku lelah mengejar mimpi, dan aku lelah mengejar bayangan untuk menemukan diriku sendiri.

            Karena dunia, aku telah kehilangan diriku sendiri yang idealis dan suka bermimpi. Aku meninggalkan diriku yang seperti itu jauh di belakang. Sebab aku tahu aku akan mati dalam beberapa detik di medang perang, jika aku menjadi diriku yang apa adanya.

            Aku memang naif. Tapi, aku tidak munafik.

            Dunia telah menginjak mimpiku dan teman-temanku karena aturan persetan yang entah diciptakan siapa, perkara seperti nilai dan norma, hal-hal mirip kasta, yang dijadikan tolak ukur seberapa mampu kau bertahan di medan penuh ranjau ini. Terdengar sangat sinis, tapi aku hanya berbicara sesuai fakta. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan banyak mimpi manusia yang ditendang menjauhi isi bumi hanya untuk membiarkannya hidup walau tidak bahagia. Mimpi-mimpi itu tumbuh besar dan mendewasa, tapi sampai kapanpun tak akan dicapai siapa-siapa.


            Maaf, hari ini aku sedang tidak enak otak. Aku tidak akan menyemangati siapapun karena aku juga sedang tidak bisa menyemangati diri sendiri. Tapi, bertahan hiduplah. Dunia adalah medan perang, tapi kau harus terus menyerang walau kau tahu sampai kapanpun kau tak akan pernah menang. 

Komentar

What's most