Beberapa Ingatan Untuk Pulang

Terjatuh, terluka, memaksa lupa

            Pria tua itu pernah sekali berharap dia adalah celengan kosong yang tiba-tiba berbunyi sendiri. Dan dia akan mengagetkan anak kecil yang memilikinya, mengira bahwa celengan itu berisi hantu. Lalu, dia akan menertawai kebodohan anak kecil yang terlalu naif dalam menghadapi segala sesuatu, seperti dia menertawakan dirinya sendiri yang berharap bahwa dia adalah sebuah celengan kosong.

            Radjiman terkekeh di sela usahanya dalam mengingat potongan-potongan ingatan yang ditayangkan. Dia sudah terlalu tua untuk bercanda, tapi Goenawan Muhammad, toh, pernah berkata bahwa dia harus menertawai hal-hal yang serius juga. Tapi, dia jadi bertanya-tanya, seserius apa sih yang akan dialaminya setelah ini?

            “Akan lebih serius dari rezim manapun.”

            “Kupikir aku selalu hidup dalam rezim yang suka bercanda.”

            Radjiman terkekeh lagi. Lalu, dia kembali membayangkan dirinya adalah celengan kosong yang tidak berbunyi sendiri. Dia adalah celengan normal yang dimiliki oleh seorang anak yang tengah diajari orang tuanya untuk menabung. Anak kecil yang manis itu lalu mengisinya setiap hari, dengan logam-logam recehan yang dia dapatkan dari orang tuanya maupun sisa uang sakunya. Radjiman yakin akan menyenangkan menjadi celengan yang seperti itu.

            “Radjiman yang diketahui semesta adalah pria dengan otak gemilang, kreatif, dan cerdas. Radjiman yang diketahui semesta adalah pria yang teguh menjadi Sukarnois, sampai rela kehilangan kewarganegaraannya.” Suara itu. “Tak kutemukan catatan manapun tentang Radjiman yang mengatakan bahwa dia adalah pria yang terobsesi pada celengan.”

            Radjiman tak terkekeh dengan ucapan itu. Dia hanya memejamkan mata, merasakan telapak kakinya yang tiba-tiba kesemutan. Lalu berbisik,
“Tidak usah sok bisa membaca pikiranku.”

     “Pikiranmu itu bukan milikmu sendiri,” suara itu lagi. “Berapa kali kau mencampuradukannya dengan perasaan? Berapa kali kau mengutip pikiran para ahli? Berapa kali—“

            “Betisku mati rasa,” potong Radjiman. “Tidak, ini bukan mati rasa. Mati rasa seharusnya hampa dan tidak merasakan apa-apa, tapi aku bahkan masih bisa mengeluh padamu. Betisku pegal, benar, yang seperti ini namanya pegal.”

            Suara itu terdengar seperti sedang menghela napas. “Kau bisa menahannya.”

            “Tidak perlu kau beri tahu, ‘kan?” Radjiman berkata, kali ini dengan nada jengkel.

            “Kau ingin kuputarkan film apa lagi?” tanya suara itu.

            Radjiman menjawab, “Apa saja. Asal tentang Indonesia.”

            Radjiman menonton film yang kini terputar. Sekelebat, hitam putih, nyaris seperti ilusi; tapi Radjiman tahu pasti kenyataan yang terjadi di balik film itu. Setiap adegannya adalah sesuatu yang terkubur jauh di dasar ingatan, sesuatu yang barangkali sudah lama ia lupakan. Sebab, sudah lama Radjiman berharap dia bukan orang yang sama dengan Radjiman yang hidup di film itu.

            Radjiman jengah. Film ini memang berisi tentang ingatannya sendiri, tapi bukan ingatan seperti ini yang ingin dia saksikan. Terlebih, rasa sakit yang kini melilit pinggangnya membuat konsentrasinya buyar. Menonton film seharusnya dinikmati dengan kepala kosong, dengan hati lapang, sehingga kita tetap bisa mencerna isi film dengan baik, tanpa peduli seburuk apapun editannya maupun sekacau apa amanatnya. Tapi, menonton film berdasarkan ingatannya sendiri seperti mengalami mimpi buruk berkepanjangan dan dia sama sekali tak bisa terjaga.

            Lalu, Radjiman jadi berpikir; apakah seburuk itu kenangan yang selama ini dikiranya sudah mati? Mengapa ingatan itu jadi tumbuh dewasa, bahkan menua seperti dirinya?

            “Kenapa kau tak mau mengingat tentang cinta?” tanya suara itu.

            “Aku bahkan tak merasa pernah mengingatnya,” jawab Radjiman.       

            “Ada banyak sekali di sini,” suara itu kini menggema. “Mengapa kau tak mau mencoba melihatnya salah satu?”

            “Apa ada yang mendominasi?”

            “Sebuah nama.”

            “Ah, nama itu sudah lama aku ikhlaskan.”

            “Tapi, mengapa masih ada rasa sakit pada ingatan ini?”

            “Sialan, tahu apa kau.” Radjiman mendengus benar-benar jengkel. Tapi, kejengkelan itu berubah mencair ketika tiba-tiba sebuah film terputar begitu saja di kepalanya.

            “Jangan putar yang it—“ Radjiman menghentikan kalimatnya saat film itu memunculkan adegan puluhan tahun yang lalu. Adegan bahagia yang dia sudah lupa bagaimana rasanya.

            Ada Radjiman muda di sana dan sebuah nama yang ternyata memiliki wujud wanita cantik yang menggenggam tangan Radjiman muda. Radjiman muda dan wanita itu tersenyum. Barangkali usia mereka baru awal dua puluh, tapi Radjiman ingat betapa yakinnya mereka berdua saat itu mampu melawan seluruh dunia.

            Lalu, adegan berganti secepat angin. Kini, layar menampilkan adegan dengan tokoh yang sama. Hanya kali ini keduanya duduk menatap pantai yang debur ombaknya terasa sampai dada Radjiman. Pantai adalah keheningan di mana ada ratusan hal yang tak layak dibicarakan. Maka, scene  di pantai itu hanya hening, hanya sepi.

            “Aku pasti pulang.”

            “Aku pasti menunggu.

            Bagaimana rasanya menunggu seseorang yang berjanji akan pulang, namun sampai akhirpun orang yang ditunggu tidak datang? Radjiman juga berjanji akan kembali dan membangun negaranya sendiri, tapi dia justru terjebak di sini, di tempat yang entah salah atau tepat untuknya menetap. Radjiman tidak pulang, tapi menetap di tempat ini dalam waktu puluhan tahun membuatnya lupa seperti apa tepatnya pulang itu.

            “Apakah wanita itu yang membuatmu merindukan negaramu?”

            “Barangkali negara itu yang membuatku merindukan wanita itu.”

            Radjiman merasakan dadanya kini sesak luar biasa.

            “Kau punya kesempatan beberapa detik untuk kembali bicara.”

            Tapi, Radjiman tak ingin bicara apa-apa lagi. Dia kini hanya memejamkan mata, mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk tertawa. Radjiman sudah mengerti mengapa sejak tadi otaknya berkelakar soal celengan. Sebab, hidup memang seperti celengan kosong. Kau harus terus mengisinya untuk membuatnya penuh. Semakin banyak uang yang kau isi, semakin kaya kau di akhir nanti. Semakin indah pengalamanmu selama hidup, maka akan semakin indah juga kehidupanmu; dan kematianmu nantinya.

            Hanya satu hal yang masih mengganjal Radjiman. Celengan seperti apa selama ini dia? Hidup seperti apa yang selama ini dijalaninya?

            Kini, rasa sakit itu sudah sampai ke leher. Tapi, yang menyiksanya justru ingatan yang terus menerus berputar di otaknya. Hal-hal tentang Indonesia, hal-hal tentang cinta, dan hal-hal yang selama ini ia kira sudah ia relakan. Sampai hari inipun, Radjiman masih belum mampu merelakan apapun.

            “Karena ingatan itu masih menyiksamu, ‘kan?”

            Tidak bisakah proses ini berjalan lebih cepat? Tapi, Radjiman sudah tidak bisa bersuara sama sekali. Dia hanya merasakan rasa sakit itu kini menyelimuti seluruh tubuhnya. Membiarkan dia terbunuh. Membiarkan dirinya untuk mati.

            “Kau akan pulang ke Indonesia.”

            Ya, karena sampai hari inipun Radjiman yakin bahwa Indonesia adalah tanah surga. Maka, Radjiman tak lagi bertanya-tanya, tak lagi berusaha protes. Toh, dia memang ingin pulang.

            Kesimpulan yang didapatkan Radjiman adalah, selama ini Radjiman adalah celengan yang berisi beragam jenis uang. Logam maupun kertas, dengan beragam nominal. Dan kini, celengan itu telah penuh. Jadi, seseorang harus memecahkannya dan mengambil isinya.
            Seseorang itu barangkali yang disebut-sebut sebagai kematian.

            Radjiman kini memejamkan matanya karena rasa sakit itu sudah tak lagi terasa sama sekali. Radjiman tersenyum; ada Indonesia, wanita itu, dan cintanya. Radjiman akhirnya mengerti bahwa beginilah pulang berdefinisi. Mati dalam keadaan bahagia.


Komentar

Posting Komentar

What's most