Hanya Satu yang Kupilih dan Itu Bukan Kau

            Aku dekat dengan seorang perempuan kecil yang padanya aku tergila-gila. Kami banyak menghabiskan waktu berdua. Kami berbagi buku, berbagi air, berbagi makanan, dan aku berpikir seharusnya kami juga berbagi perasaan.

            Di sudut jalan, ada seseorang yang menjajakan minuman dingin. Saat itu aku dan perempuan itu sedang asik bersepeda untuk menuju taman kota dan membaca buku di sana, tapi dia tiba-tiba menghentikan sepedanya tanpa aba-aba di depan meja yang berisi puluhan minuman dingin itu.

            “Aku mau satu,” kata gadis kecil itu sambil menunjuk gelas berisi cairan berwarna merah.

            “Hanya satu?” tanya penjualnya.

            “Ya, hanya satu.”

            Penjualnya mengambil gelas yang ditunjuk gadis kecil itu dan membungkusnya. Gadis kecil itu tersenyum, merogoh satu lalu membayar nominal untuk gelas itu. Setelah mendapat kembalian, gadis kecil itu lalu mengayuh sepedanya mendahuluiku setelah sebelumnya berteriak;

            “Ayo cepat, Bodoh!”

---


            Aku dekat dengan seorang perempuan yang padanya aku tergila-gila. Perempuan itu masih seseorang yang sama dengan perempuan kecil yang dengannya aku menghabiskan masa kecilku. Perempuan itu kini adalah anak SMU yang ceria dan hiperaktif. Satu hal yang tidak berubah dan begitu kusyukuri adalah kami masih banyak menghabiskan waktu berdua.

            Di SMU kami, setiap pergantian semester selalu diadakan festival yang berisi banyak kompetisi dan stan-stan makanan yang dijajakan setiap kelas. Aku dan perempuan itu berbeda kelas, jadi aku tak memiliki kesempatan untuk mengajaknya berjalan-jalan berdua melihat-lihat festival ini.

            Kelasku tidak menjajakan makanan, melainkan membuka stan bowling kaleng. Jadi, kami menyusun kaleng-kaleng menjadi bentuk piramid dan barangsiapa yang bisa merobohkan semua kaleng yang disusun itu, mereka bebas memilih hadiah yang disediakan kelas kami. Hadiahnya beragam : boneka, bunga plastik, dan mainan anak-anak.

            Perempuan itu datang ke stan gamesku di pertengahan hari. Aku segera bersemangat ketika dia berkata dia ingin mencoba permainan kami. Aku memberikannya bola pimpong dengan tangan bergetar; seperti memberikan cintaku.

            Dia berhasil merobohkan susunan kaleng piramid itu.

            Dia meloncat-loncat kesenangan dan mengajakku berhigh-five. Aku tersenyum melihatnya tertawa-tawa bahagia. Dia seperti petir, menyambar dengan begitu cepat, tanpa peringatan, tepat sasaran. Barangkali sasaran itu aku.

            Seorang temanku yang bertugas memberikan hadiah menanyakan padanya;

            “Kau memilih hadiah apa?” tanya temanku. Membuat perempaun menghentikan selebrasi lompat-lompatnya dan mulai menelusuri rak yang berisi banyak hadiah.

            “Yang kupilih ... boneka itu saja.” Dia menunjuk boneka puppy warna karamel yang menggemaskan. Temanku mengangguk dan mengambilkannya boneka puppy itu. Dia melompat-lompat lagi.

            “Hei, mau jalan-jalan melihat-lihat festival?”

---

            Aku dekat dengan seorang wanita yang cintaku padanya nyaris membuatku gila. Dia kini adalah mahasiswi yang aktif berorganisasi dan menjelma tak tersentuh. Sementara aku adalah mahasiswa yang berkutat dengan buku dan tugas-tugas praktik. Kami kehilangan waktu bersama dan aku nyaris saja kehilangan dia.

            Dia banyak muncul di peredaran sementara aku hanya udara tak kasat mata yang mengelilinginya. Hari-hari ini aku menyadari bahwa selama ini aku hanya menghirup harapan kosong yang mengandung nikotin, lantas membiarkannya mengisi paru-paru. Aku nyaris kehilangan dia dan nyaris itu membuatku ketakutan. Bagaimana jika aku kehilangan dia betulan?

            Saat aku sedang berkutat dengan tugas-tugas praktikku di salah satu sudut kantin fakultas, perempuan itu datang dan tersenyum lebar. Dia duduk di depanku dan menghabiskan begitu saja teh milikku. Aku hanya geleng-geleng dan membiarkannya.

            Aku melirik seseorang yang sejak tadi di sampingnya dan kini sibuk merecokiku. Seseorang yang wanita itu panggil bodoh ketika kami bertiga bersepeda menuju taman kota berdua, seseorang yang diajak wanita itu untuk berjalan-jalan melihat-lihat festival terlebih dulu sebelum aku, seseorang yang selama ini menghalangiku untuk menuliskan berdua pada cerita ini; cerita yang rencananya berisi tentang aku dan wanita itu.

            “Hei, kau mau pesan apa?” seseorang di samping wanita itu berbicara pada wanita itu.

            Wanita itu menelurusi tembok atas kantin yang berisi menu-menu makanan yang ditempel. “Aku mau itu,” dia menunjuk burger. “... dan itu.” Dia menunjuk soda.

            “Oke. Kalau kau?” seseorang itu kinibalik menayaiku. Aku menggeleng singkat dan menunjuk kue cokelat yang belum kusentuh sejak tadi.

            Seseorang itu kemudian menuju penjual dan membiarkanku berdua bersama wanita itu.

            Wanita itu tiba-tiba bertanya padaku, “Menurutmu, apakah kita bisa terus bertiga selamanya seperti sejak kecil?”

            Aku tidak menjawab, hanya terdiam dan meneruskan mengerjakan tugasku. Dia juga tidak mengulang pertanyaannya; seperti yakin bahwa tanda tanya pada akhir kalimat itu tak akan kuberi titik sebagai jawaban yang menyusulnya. Kemudian kami menghabiskan waktu dengan hening, seperti musik yang sengaja dimute untuk membuat film romantis menjadi mencekam.

---

            Barangkali aku masih dekat dengan seorang wanita yang sama dengan seseorang yang tumbuh bersamaku. Barangkali juga aku masih menggilainya. Tapi, lebih dari itu, aku jauh lebih nyaman mengatakannya dengan ‘menggilai perasaanku sendiri’ karena toh, sejak awal aku sudah bertepuk sebelah tangan.           

            Aku kini berdiri di depan rumah bertingkat dua. Di dalamnya, ada dua orang yang kini tengah berbahagia di atas kematianku akan kebahagiaan itu. Dua orang yang seharusnya sejak awal menjadi peran utama cerita ini dan membuatku menjadi hanya sosok figuran.

            Peran pembantu untuk cerita buatanku.

            Aku tak berani mengetuk pintu, juga tak berani meninggalkan. Aku hanya menatap kosong rumah itu sambil mengingat saat aku mengatakan pada wanita itu tentang perasaanku.

            “Maaf, tapi aku sudah mencintai orang lain. Kupikir kau sudah tahu,” wanita itu bicara dengan suara bergetar. Aku terdiam.

            “Orang itu dia. Orang itu ... bukan kau.”

---

            Sejak awal seharusnya aku mengerti bahwa dia telah menyampaikan banyak isyarat di sela-sela kejelasan yang kupikir nyata. Bahwa bukan aku dipilihnya, bukan aku yang menjadi tokoh utama cerita.

            Hanya satu yang dia pilih dan itu bukan aku.


            Semuanya sudah jelas sejak awal. Aku saja yang tolol hingga terlambat menyadarinya. 

Komentar

What's most