Lukisan untuk Ceritamu dan Dongeng-dongeng Baru



            Waktu tidak pernah berhenti, pun cinta. Mereka hanya tidak berjalan beriringan.

            Mungkin, bukan salah waktu.

            Berkali-kali kamu bilang soal tulisanmu, P, yang penuh tentang kata-kata cinta itu dan aku tidak pernah paham. Aku hanya melulu tahu soal perbedaan tekstur permukaan kanvas ini dan kanvas itu atau bagaimana caraku mencampur aduk warna sehingga menghasilkan campuran warna yang menarik dan tidak njomplang. Aku tidak pernah benar-benar bisa mengertimu, mengerti isi tulisan-tulisanmu, kekalutan-kekalutanmu, dan semua rasa sakitmu. Tapi, kalau aku bilang tidak ingin kehilangan kamu, itu sudah menjadi pernyataan paling jujur.

            Aku hanya seniman selengean, tapi aku tahu dongeng dan aku menyukainya. Cerita-cerita tentang putri yang menunggu pangeran dan kisah cinta klise semacam itu memenuhi koleksi buku-buku dongengku. Aku juga tahu kamu sama cintanya dengan dongeng seperti kamu mencintai tulisan-tulisanmu. Karenanya, sesuatu yang kulukis tak pernah jauh-jauh dari ilustrasi tentang putri-putri maupun pangeran-pangeran. P, aku tidak tahu lagi, sama sekali, harus berkata apa untuk membalas ceritamu. Karena sepertinya kamu benci warna padahal aku sangat menyukai cerita-ceritamu yang hitam putih itu. Hitam dan putih sudah cukup lengkap dan warna hanya akan membuatnya tidak elegan lagi.

            Mengapa kita tidak bergerak ke mana-mana?

            Aku melihatmu seperti putri yang tengah menggigil kedinginan di sudut istana. Aku bukan pangeran, aku hanya jelata yang kebetulan lewat dan melihatmu nyaris mati oleh gigil itu. Aku tidak membawa pakaian tebal, tapi aku yakin pelukanku mampu menghangatkanmu. Oleh sebab itu aku berani masuk istana untuk menyelamatkanmu. Memutuskan membawamu pulang ke gubuk kecilku, menjagamu. Aku nyaris saja terobsesi untuk memilikimu jika tak ingat bahwa kamu adalah putri raja dan aku hanya rakyat biasa. Seandainya kaubalas mencintaiku pun, hubungan kita tidak akan direstui istana. Raja tidak ingin putri satu-satunya menikah dengan orang yang terlalu lusuh untuk menjadi penerus kerajaan, dan mengingat bahwa sebenarnya aku lebih cocok disebut sebagai gelandangan daripada rakyat biasa; aku memutuskan untuk berhenti mencintaimu.

            Aku sangat takut kehilanganmu, tapi aku juga tidak mungkin terus membiarkanmu di gubuk reyotku ini. Makanya, aku membiarkanmu pergi kembali ke istana, dengan kehangatan milikku yang kuharap masih tersisa. Aku tidak pernah jauh-jauh, mana mungkin aku menjauhi gadis yang kucintai?

            Perumpamaan tadi ... apakah kau mengerti, P? Sejak awal kita bertemu, aku sudah tahu bahwa semau apapun kita, kita tidak bisa bersama. Sejak awal, aku tidak mau mengotori kertasmu dengan cat airku dan kamu tidak akan bisa menulis di atas kanvas. Bukannya aku tidak mau memperjuangkanmu, tapi beberapa hal kadang harus dibiarkan tetap berjalan apa adanya meski itu berarti tidak mengubah apa-apa.

            Bukan waktu yang tidak tepat, tapi kita yang terlambat.

            Sebelumnya, biar kuberi tahu kamu satu hal. Soal mencintaimu, aku sudah sejak dulu-dulu. Aku hidup bersama khayalan-khayalan yang tak bisa kuhentikan. Kamu terlalu abu-abu, samar-samar, dan sulit kusentuh. Kamu ... jauh. Sejak awal aku mencoba mencari kamu, berpetualang untuk menemukan kenyamanan yang aku mau, tapi tetap saja. Tuhan menggerakan jemari-Nya untuk mempertemukan kita dalam posisi serba entah seperti ini. Jauh adalah caraku mencintaimu.

            Hingga pada akhirnya kita berhenti bahkan sebelum kisah ini sempat dimulai—sama sekali. Aku terluka, parah. Bukan sebabmu karena tangan rapuhmu hanya mampu menuliskan kisah-kisah indah di atas kertas; tak ada kekuatan apapun untuk menghancurkan hati. Nyatanya, kamu merasa bahwa hubungan kita hanyalah pelarian dari kegundahan masing-masing. Tempat kecemasan-kecemasan berkumpul, untuk menguap menjadi bahagia dengan kadar paling terpaksa. Presepsimu berbicara bahwa kita hanya duologi sepi yang bertemu hanya untuk kesepian lagi. Kehilangan adalah teman; kita mati ditikam luka sendiri.

            Cinta bukanlah sesuatu yang kasat mata. Ketahuilah, kau bukan hanya tempatku bercerita.

            Bersamamu, bahagiaku lengkap.

            Aku menemukan bahagiaku di mana-mana; pada dirimu. Pada pelukanmu, dinginnya rengkuhmu, kata-kata yang selalu kubaca, dan tulisan-tulisan yang tak begitu kumengerti artinya. Intinya, kamu adalah sepaket kebahagiaan lengkap yang bagiku saja sudah lebih dari cukup dan bahkan tumpah ruah. Kamu adalah sosok yang membawa ketentraman tak terdefinisikan buatku. Kamu adalah bahagiaku yang paling mewah; mutlak. Hanya saja, aku tak pernah mampu menunjukan itu. Aku tidak ingin menunjukan diriku; pun isi hatiku, dan memilih tetap bersembunyi di balik bayang-bayang. Seandainya kau tahu bagaimana isi hatiku dan aku tahu isi hatimu. Kita—atau mungkin aku saja, tidak akan terjebak dalam kondisi seperti ini.

            Kamu adalah kanvas di mana aku ingin melukiskan mimpi-mimpiku menjadi lebih nyata lagi, dan tentu saja aku ingin menjadi kertas untukmu bercerita apa saja. Semua luka-luka itu, rasa sakit itu, aku tidak hanya ingin membaginya bersamamu; aku ingin kau menjadi obatnya dan aku juga akan mengobati luka-lukamu. Kita tidak perlu menyatukan kanvas dan kertas, kita hanya perlu berjalan bersisian, bergenggaman, dan saling melengkapi kisah. Memulai dongeng ini dengan lebih menyenangkan lagi. Aku ingin kita menciptakan kerja sama; penyatuan perasaan, penyamaan takdir ....

            P, ayo buat dongeng baru. Kita bisa menciptakan buku-buku penuh ceritamu dan gambar-gambar dariku. Jangan menyerah karena bahkan kita belum sempat mengusahakan apa-apa. Penjelasan : aku mencintaimu. Tidak ada alasan buatku membiarkanmu pergi karena hidup tanpa kehadiran satu sama lain adalah neraka yang tak ingin kujamah sedikitpun tempatnya. P, aku tidak bisa membuatkan puisi buatmu, tapi lukisanku mampu mewarnai dan menghiasi tulisanmu. Aku tidak akan merusak hitam putihmu, aku akan memanfaatkan kekuatanku dalam mencampur aduk warna hingga menghasilkan kolaborasi yang  sempurna.

            Jangan memilih pergi karena bayanganmu sendiri. Perpisahan tidak akan mengubah apa-apa dan tentu saja tak baik buat kita. Satu hal, P, kita belum mengusahakan apa-apa. Barang sedikitpun tidak pernah ada yang kita perjuangkan. Kita hanya terlalu menikmati semua ini. Kita terlena pada sesuatu yang bersifat ilusi dan karenanya; kita harus membuatnya nyata.

            Tidak ada cinta yang dipaksakan, mungkin ia hanya tergesa-gesa. Dan kita bukan kedua itu. Meski terlambat, kita masih punya waktu.

            P, kamu berada di ruang tunggu untuk naik kereta api, bukan, sekarang? Dalam hitungan ke tiga tengok ke ke belakang, ya?

            Satu ... dua ... tiga ....

            Bahagiaku, ketemu!

Komentar

What's most