Aku Tidak Tahu Lagi
Aku tidak berani mengharapkan apa-apa. Aku membiarkan
semesta membunuhku dengan caranya sendiri. Sebab aku tidak mampu menjadi jenis
manusia yang kamu mau. Aku bukan sahabat yang kamu inginkan—satu hal yang
selalu aku agung-agungkan itu. Aku hanya orang asing yang datang di
kehidupanmu, merusaknya, dan menjadi sesuatu yang sebaiknya lekas-lekas
dilupakan. Kamu tidak pernah menganggapku lebih dari itu.
Mengapa semua terlihat tidak adil buat kita?
Sebab aku menemuimu karena kehilanganku sendiri. Aku
menemukanmu pada setiap kepingan-kepingan yang aku cari. Aku berusaha menjadi
sahabatmu, seseorang yang terbaik buatmu. Tapi, keinginanku terlalu berlebihan.
Aku terlalu egois. Sebab nyatanya ketakutanku adalah ditinggal pergi tapi
justru aku yang selalu meninggalkan.
Kamu membunuhku. Kamu menyiksaku pelan-pelan. Kamu ingin
melihatku mati.
Setidaknya begitulah presepsiku melihat baik-baik sajamu
hari ini.
Aku tidak bisa berpura-pura baik-baik saja sementara
kehancuran itu terjadi tepat di depan mataku. Aku tidak seperti mereka yang
tetap bisa bersikap biasa. Aku gagal menjadi sahabatmu. Aku sudah tidak bisa
diharapkan sebagai manusia.
Apa yang kaulihat dari mataku? Apa yang ia pancarkan
sehingga cahaya itu malah membuatku semakin kehilangan sosokmu? Apa yang
terjadi sehingga kabut-kabut itu menutupimu dari jangkauanku?
Aku menjauh sebab aku kesulitan memposisikan diri. Dan
lagi, sepertinya kamu lebih nyaman bersama dia di dekatmu. Dia lebih mampu
membuatmu merasa lebih baik. Tidak seperti aku yang kauanggap bahwa semua air
mataku hanyalah bualan karena kasihan. Sebab semua kata-kata yang kuucapkan di
sela tangis tidak pernah kau dengarkan. Aku sudah pergi sekarang. Menjauh
seperti yang kaumau. Kini, aku tidak lagi mencampuri urusanmu. Aku membiarkanmu
menyelesaikannya sendiri. Seharusnya aku bersyukur karena aku masih bisa
menuruti kemauanmu.
Sementara aku sudah menjadi manusia egois karena mencegahmu
pergi hanya untuk melindungi hatiku sendiri. Aku memintamu tidak
meninggalkanku, nyatanya malah aku duluan yang meninggalkan karena aku benci
diabaikan. Aku takut menghadapi situasi yang sama seperti setahun lalu. Seseorang
yang meninggalkanku dengan nuansa yang persis sama; kehilangan yang mencekam. Aku
trauma dengan itu sebab aku pernah mengalami mati suri karena nekat
menghadapinya. Aku lari mendahului sebab aku tak ingin menghadapi lagi perasaan
menatap punggung karena ditinggalkan.
Kamu menghakimiku perihal ketidakpekaanku. Kamu menjadikan
aku tersangka karena aku tidak bisa mengerti perasaanmu. Mengapa tidak kamu
beri aku kesempatan untuk menyelaminya dan mengerti ia dalam
seluk-beluknya? Semua terlalu abu-abu bagiku, Tuan, dan sulit bagiku untuk
mengertinya hanya dengan sepatah dua patah kata. Sebab aku terlalu tolol untuk
memahamimu. Sebab aku hanya manusia berotak minim yang mencoba menjadi yang
terbaik buatmu namun telah gagal karena kau tidak mengizinkannya. Sebab kamu
menganggap bahwa sudah terlalu banyak rasa sakit dan kamu tidak ingin
menambahnya dengan kita.
Aku bilang tidak usah melibatkan perasaan tapi mengapa
aku malah menangis lagi sekarang?
Ini bukan curhat biasa, ini adalah sebuah permohonan
maaf.
Maaf sebab aku telah egois. Maaf sebab aku tidak bisa
menjadi seseorang yang kamu inginkan. Maaf sebab aku telah menambah beban
pikiranmu. Maaf sebab aku telah gagal menjadi seseorang yang kamu butuhkan. Maaf
sebab aku tidak bisa mengerti perasaanmu seperti kamu biasa melakukannya. Maaf karena
aku malah menuntutmu untuk membiarkan aku bahagia, memintamu untuk menyupportku padahal kamu jauh lebih
membutuhkan keduanya. Maaf sebab aku malah memintamu untuk memakiku, memarahiku
atas kesalahanku, padahal seharusnya aku memelukmu. Mendesakmu, merengkuhmu
erat tanpa memberimu kesempatan untuk melepaskan. Maaf karena aku yang
membuatmu meledakkan diri ...
Maaf sebab aku telah mencegahmu pergi untuk melindungi
perasaanku sendiri.
Maaf sebab aku telah menghindar karena tidak bisa
berpura-pura.
Maaf sebab aku tidak bisa memposisikan diri.
Maaf sebab pada akhirnya aku malah menghancurkan
perasaanmu lebih hancur lagi.
Maaf sebab aku membiarkanmu berjalan sendirian dan
mengira bahwa hal itu adalah yang kamu mau.
Maaf karena masih sempat-sempatnya aku merasa cemburu
karena sahabatku lebih bahagia bersama sosok lain padahal jelas itu yang dia
butuhkan.
Maaf sebab aku masih belum bisa meredam keinginanku
sendiri untuk tetap memperjuangkan segalanya.
Maaf sebab aku masih kecewa dengan keputusanmu bahwa kamu
tidak akan menjawab kata-kata dengan sesuatu yang aku ingini.
Maaf ...
Aku benar minta maaf.
Maaf sebab aku ternyata malah menangis keras melihatmu
baik-baik saja.
Maaf sebab aku ternyata tidak melupakan masalah ini
seperti yang kauinginkan.
Maaf ...
Aku benar-benar minta maaf.
Maaf karena aku menulis ini sebab aku tidak punya media
lagi.
Maaf.
Maaf.
Maaf karena aku merasa sesak melihatmu tertawa lepas dan
aku bernapas saja sulit.
Maaf.
Aku minta maaf.
Komentar
Posting Komentar