Kanvasmu, Kertasku, dan Cerita-cerita yang Tak Pernah Berwarna
Cinta bukanlah sesuatu yang bisa sinkron
dengan waktu.
Mungkin
karenanya aku tidak bisa bersatu denganmu.
Ad,
aku tidak benar-benar paham tentang warna-warna yang kau lukis di
kanvasmu dan kau juga tidak pernah mengerti makna dari tulisan maupun
puisi-puisiku. Semula, aku mengira bahwa tidak mungkin hanya karena
perkara-perkara itu kita jadi tidak bisa saling mengerti satu sama lain.
Nyatanya, aku salah. Sejak awal—bagi kita, semua tak pernah mudah.
Aku
mengenalmu dan kamu mengenalku tidak pernah mengajari kita tentang memahami
satu sama lain. Semua tidak sesederhana sajak-sajakku tapi pun tidak serumit
lukisan-lukisanmu. Mari berbicara tentang cinta. Saat ini, cinta hanyalah
sesuatu yang berada di tengah-tengah antara sederhana dan rumit. Jatuh cinta
adalah sebuah frasa yang terdengar seperti intro dari musik-musik yang mengalun
untuk nada-nada kehilangan. Saat itu, mungkin, meski terdengan menyedihkan,
kita terlalu menikmati sesuatu yang kita pikir bisa berjalan lebih lama ini.
Tapi, bukan tentang lama atau sementara, melainkan tepat atau tidak tepat.
Mengapa waktu kita selalu salah?
Aku
melihat punggungmu seperti melihat sesuatu yang asing. Sesuatu yang persis sama
seperti yang aku rasakan sebelum bertemu denganmu dulu. Perasaan kosong, hampa,
tapi bukan berarti tidak terasa apa-apa. Sesuatu yang menakutkan, seolah
seperti bisikan-bisikan yang hendak menjauhkan kita. Rasanya seperti aku akan
kehilangan kamu. Lagi ... lagi ... dan ... lagi.
Kita
adalah dongeng-dongeng yang tidak pernah memiliki kalimat, “Hapily ever after ....” pada ujung
cerita. Juga tidak pernah diawali dengan pada suatu hari. Setinggi apapun kita
bermimpi; ini adalah kenyataan. Tak ada cinta, tak ada pangeran, tak ada putri.
Tak ada apa-apa. Kita hanya terjebak pada ruangan kosong, terpisah satu sama
lain, di mana sampai kapanpun aku tidak akan pernah menemukanmu. Perjalanan
kita hanyalah lorong panjang tak berujung. Ad,
kita tidak pernah saling mencari dan tidak pernah saling menemukan. Kita ada
karena kebetulan-kebetulan kecil yang disengajakan Tuhan; dua sosok asing yang
bertemu pada kehilangan masing-masing.
Nyatanya,
memang tak pernah ada kau di ujung perjalananku. Pun perjalananmu. Lika-liku
yang semula kita kira akan berujung bahagia nyatanya malah menjauhkan kita.
Memaksa kita kehilangan satu sama lain. Kehilangan. Lagi-lagi. Lagi-lagi.
Sebab kita adalah permainan waktu paling lucu yang Tuhan ciptakan.
Beberapa
kali kita bertemu hanya untuk mengobati luka masing-masing. Mengeluh tentang
sakitnya, mengaduh tentang betapa hebat ia menyiksa. Setelah itu, kita kembali
pada kehidupan masing-masing. Kehidupan nyata. Realita yang sesungguhnya
sebelum kembali untuk mengeluh lagi. Kembali pada kehidupan masing-masing,
tanpa kehadiran satu sama lain.
Kita
tidak menyalahkan apa-apa karena bahkan kita sendiri juga tidak mengerti
bagaimana situasinya. Kamu orang yang tepat, tapi waktu mempertemukan kita pada
kondisi di mana seharusnya kita tidak bertemu. Waktu berjalan biasa saja
padahal seharusnya kita tidak saling memeluk, tidak saling merengkuh. Waktu membiarkan
kita tetap hangat padahal seharusnya kita tengah menggigil kedinginan. Definisi
singkat, kita bertemu disaat yang sama sekali tidak tepat.
Tidak ada cinta, yang ada hanya sepi yang
bersembunyi dibalik sayup-sayup, tak menguap meski berada di keramaian.
Bahagia?
Kita tak pernah menemukan
itu di manapun. Jika orang-orang berkata bahwa bahagia hadir tepat setelah kita
mampu melepaskan diri dari rasa sakit, ia akan datang bersama keikhlasan :
jangan pernah percaya. Luka tidak pernah mengajari apa-apa. Luka hanya
mempertemukan kita sebentar, bersama adukan kopi yang entah mengapa terasa
lebih pahit dan terlihat lebih pekat, ditemani senja yang tak kalah sementara.
Luka hanya mempertemukan kita. Bukan menyatukan kita. Selama ini,
kita hanya berpura-pura bahagia. Aku paham benar itu.
Kanvasmu adalah tempat kamu
ingin bercerita mengenai mimpimu, cita-citamu, dan luka-lukamu. Ia adalah
sesuatu yang betah kaucumbu berjam-jam. Sementara kertasku adalah meja-meja
tempat kesepian diletakkan. Aku berkisah mengenai mimpiku, cita-citaku, dan
segalanya. Kertasku adalah doa-doa kepada langit yang aku harapkan. Dan, Ad, meski sama-sama putih, kau tetap
kanvas dan aku tetap kertas. Penyatuan hanya akan menimbulkan kekosongan
berlebih. Hampa yang akan terus bertambah.
Putih
hanya akan membuat kita semakin bosan. Tidak munafik. Meski aku ingin ceritaku
berwarna dan kau ingin cerita untuk lukisanmu, cinta untuk kita hanya akan
menjadi harapan yang minta ditertawakan. Sebuah lelucon yang sama sekali tidak
lucu. Warna-warna untuk cerita hanya sebuah drama yang terlalu dipaksakan jalan
ceritanya.
Mungkin,
oleh sebab itu Tuhan membiarkan kita tetap seperti ini saja. Maka dari itu,
kupikir sebaris doa—atau separagraf, selembar kertas?—buatmu akan menjauhkan
kita. Aku menyayangimu, sangat-sangat. Dan karenanya aku seperti tidak ingin
menemuimu lagi. Aku tidak ingin kehadiranku hanya akan menciptakan lebih banyak
lagi luka dan rasa sakit. Aku mengaku, aku trauma dengan kehilangan yang lagi
dan lagi itu. Aku trauma dengan putus asa yang menyertainya. Aku tidak ingin bertemu
untuk berpisah denganmu, Ad. Maka
dari itu, lebih baik aku berhenti mencari daripada menemukan hanya untuk
kehilangan.
Salam
hangat buatmu, Ad, pria yang sangat
kusayangi sampai kapanpun. Kamu tidak pernah menyakitiku, aku ingin kau tahu
itu. Luka dan air mata ini aku yang menciptakan sendiri dan tentu saja itu
adalah urusanku; keduanya tak akan
menjadi urusanmu. Aku harap aku juga tidak pernah menyakitimu, Ad, jadi kelak nanti kita tidak akan
dipertemukan lagi hanya untuk pertanggung jawaban atas luka itu. Teruslah
hebat, Ad. Satu hal yang saat ini
akan segera kulakukan adalah berhenti berharap tentang kita. Tidak ada dongeng;
cerita untuk lukisan-lukisanmu dan warna untuk cerita-ceritaku. Aku juga akan
berhenti berpikir tentang selamanya atau apapun yang berhubungan dengan itu.
Pada akhirnya, cinta yang dipaksakan memang
harus berakhir dengan perpisahan.
Aku
sayang padamu, Ad. Berhenti berbicara
tentang cinta. Bahagiamu saja lebih dari cukup.
Karena
jika kau bahagia, itu berarti aku juga.
Komentar
Posting Komentar