Cinta Terlalu Sulit Untuk Menerima Kehilangan [2]

Surat sebelumnya : Cinta Terlalu Sulit Untuk Menerima Kehilangan

Dear Tasha

Aku menulis ini sehabis menyelesaikan banyak paper karena aku membolos seminggu yang lalu. Ruangan ini masih sesepi setelah lima puluh hari kamu pergi. Masih sesenyap dan sekelam itu. Tasha, aku ingin mengakui bahwa kenyataan aku masih seirng takut berada di sini. Aku takut semakin tak bisa melepaskan bayang-bayangmu dari setiap sisi ruangan ini. Setiap sudutnya, seolah ada sosokmu yang tercetak dengan nyata.

            Tasha, nada-nada rindu yang memilukan masih sering terdengar lirih di telingaku. Temaram dan kelam, aku semakin tak paham bagaimana untuk sejenak mengembalikan hidupku pada titik normal. Tasha, bagaimana Surga? Apa di tempat seindah itu, kau berhasil bahagia tanpa aku?

            Aku takut jika jawabannya tidak, Tasha.

            Di surat pertamaku, kau mungkin bisa menilai bahwa aku sangat tegar meski rasanya luar biasa menyakitkan. Tapi, Tasha, aku bohong. Aku ternyata masih tak sepandai kamu dalam menyembunyikan perasaan. Aku menangis, meradang, dan ternyata masih tak ada yang dapat kusembunyikan soal rasa sakitku karena kehilangan kamu. Keadaanku luar biasa buruk, aku bahkan yakin kamu akan memarahi aku habis-habisan melihat keadaanku yang sekarang.

            Ah, Tasha, kini kau tak lagi di sini.

            Air mataku mengalir lagi saat aku mengetik di paragraf ini. Aku tidak percaya bahwa aku sudah mulai sampai pada tahap kesepian paling menyakitkan. Aku berada di kantin dan suasana luar biasa ramai. Tapi, aku merasa ada yang kosong. Aku merasa ada satu hal yang hilang sampai kemudian membuatku kesepian. Aku merasa sepi, merasa sendiri. Sampai-sampai tak sadar bahwa bumi sudah berkali-kali berotasi, dan dunia sudah banyak mengalami perubahan. Tasha, rasanya sangat menyakitkan. Saat seluruh dunia tertawa, sedangkan aku terus menikmati seluruh perih yang melanda. Detik semakin rapi berbaris, menjelma menjadi kenyataan yang miris. Aku yang di sini, dan hadirmu yang tak ada lagi.

            Tasha, aku sangat ... sangat, luar biasa, rindu padamu. Aku sangat merindukanmu, Tasha.

            Saat ini, hidup yang kujalani tak lagi semenarik saat kau masih ada dulu. Semua seolah berjalan apa adanya, monoton, dan hanya seperti aktifitas terarah, yang kujalani karena itu sebuah kewajiban. Aku tak menikmatinya sama sekali, Tasha. Hidup seperti mimpi kosong dan harapan semu. Aku bahkan tak sanggup untuk sekadar menginginkan sesuatu. Aku seolah sudah paham bahwa sampai kapanpun, aku tak akan mendapatkannya.

            Kau tahu apa keinginanku?

            Iya, kembalinya kamu.

            Tasha, aku benar tak tahu lagi harus berbuat apa untuk mengembalikan hidupku. Aku benar-benar kehilangan semangat, sekalipun semangat untuk terus berpura-pura tegar. Semua berhenti, benar-benar berhenti.

            Tasha, seandainya kamu baca surat ini, terserah bagaimana caranya, mampirlah sejenak ke mimpiku. Aku ingin tahu keadaanmu, dan aku juga ingin menunjukan padamu bagaimana keadaanku.

            Agar kau tahu, bahwa pernyataan bahwa tak ada hidup selain hadirmu, adalah benar adanya.

            Semua terbukti nyata.

            Aku mati, hanya organku saja yang terus bekerja.

            Tasha ...

            Kembalilah. Aku lelah.            

Komentar

What's most