Cinta Terlalu Sulit Untuk Menerima Kehilangan

Dear Tasha


            Aku menulis ini di sela rindu yang tak kunjung habis untukmu. Derai tangis yang tak kunjung berhenti, dan segala perih yang terlalu dalam untuk terobati. Tasha, aku selalu percaya bahwa tanpamu; dunia hanya kehidupan kosong yang penuh harapan palsu.

            Dan kini; benar-benar tak ada kamu.

            Sudah cukup banyak hari yang terlewati sejak kau pergi, tapi otakku hanya penuh oleh angan-angan kau yang kembali. Aku tak bisa menerima, bahwa nyatanya bersamamu selalu hanya mimpi yang terlalu indah untuk terjadi. Rindu membawa kepingan kenangan yang banyak kita lalui dulu, dan ... semakin banyak kenangan yang hadir, semakin kuat pula realita bahwa nyatanya; kamu sudah tidak ada.

            Tasha, jangan marah jika air mataku menetes saat aku menulis ini. Beberapa hari yang berlalu, beberapa minggu terlewati, dan kepergianmu masih seperti mimpi buruk yang harus siap kuterima setiap hari. Aku harus menghadapi kenyataan, setiap bangun pagi, sudah tak ada lagi senyummu yang hadir menghiasi. Tak ada lagi segelas kopi, tak ada lagi argumen tentang cinta, tak ada lagi pertemuan-pertemuan sederhana yang membuatku susah lupa. Aku benci menerimanya. Aku benci kenyataan itu. Aku benci ketiadaanmu. Aku benci bahwasanya; cinta terlalu sulit menerima segala rasa kehilangan.

            Detik ini, yang kemudian menjelma menjadi detik yang berlalu. Aku kadang terdiam dan kembali mengingat tentang kita. Kau, Tasha; bidadari tercantik yang pernah ada. Aku bahagia Tuhan menciptakanmu, ibumu melahirkanmu, dan kita bertemu. Aku sangat bersyukur hidup di dekatmu. Kemudian, aku bersyukur bisa sangat mencintaimu.

            Ketahuilah, Tasha, jika aku berkata bahwa aku sangat mencintaimu, itu adalah pernyataan yang sudah cukup lengkap. Seperti sebuah janji, dan naluriku sudah terpanggil untuk selalu menepati. Sebuah kejujuran tanpa kebohongan. Itu adalah sebuah keputusan mutlak yang akan terus kulakukan. Aku mencintaimu, dan rasa itu akan terus berlangsung sampai selamanya.

            Tasha, aku kadang mengumpati waktu. Aku menyalahkan Tuhan yang terlalu cepat mengambilmu. Dia tidak tahu bahwasanya aku masih membutukanmu daripada Dia. Kau harus tahu, hatiku hancur tak berbentuk saat mengantarmu ke tempatmu tidur untuk kemudian tak akan terbangun lagi. Aku menangis keras, aku menjerit, aku marah, tapi, tak ada kenyataan yang berubah. Semua masih sama seperti semula. Aku berteriak pada Tuhan, untuk memberi tahu-Nya, bahwa mengambilmu sekarang adalah keputusan paling tergesa-gesa.

            Tasha, aku tidak tahu apa surat ini akan mewakili seluruh isi perasaanku. Tapi, Indra benar. Seharusnya, ada yang bisa lebih kulakukan daripada hanya menangisimu. Aku ingin melakukan sesuatu, sejenak melupakanmu untuk kemudia bertemu denganmu lagi lewat mimpi. Aku ingin kehidupanku dulu kembali, termasuk kamu. Tapi, semua hanya akan menjelma harapan kosong yang sampai kapanpun tak akan dikabulkan Tuhan. Dan akhirnya, aku memutuskan untuk menulis surat ini.

            Dan ternyata, kerinduanku tumpah ruah.

            Aku terlalu merindukanmu sampai rasanya menyakitkan. Mengingat saat aku menulis ini kau sudah tidak ada lagi di sisi, rasanya hampir sama seperti mati. Seluruh organku berhenti bekerja, tapi aku masih hidup dengan rasa sakit yang gagah perkasa. Jantungku kehilangan detaknya, paru-paruku kehilangan udaranya, dan Tuhan dengan tega membiarkanku tetap hidup dengan segala rasa sakit itu.

            Tasha, kehilanganmu adalah takdir paling buruk yang pernah kuterima. Aku mencintaimu, dan ternyata cinta itu tidak terlalu kuat untuk menahanmu.

            Kau tetap pergi.

            Saat ini, semua masih sama. Mimpi-mimpiku masih seperti dulu. Perasaanku juga masih sama. Aku masih sering lembur mengerjakan paper sampai malam, aku masih sering minum kopi tiga gelas sehari, dan merokok berbatang-batang. Semua hampir sama persis seperti dulu.

            Hanya kini; tak ada kamu.

Komentar

What's most