Tak Adil Rasanya

Aku membaca ulang percakapan terakhir kita yang sengaja ku-screenshot. Aku tersenyum walaupun diam-diam hatiku menangis mengingat bahwa hal itu tak mungkin bisa terulang lagi. Kamu tak mungkin kembali jadi pria yang dulu amat kucintai, yang pesan singkatnya selalu kutunggu dan suaranya selalu kurindukan. Kini, semua sudah berubah banyak. Kenyataan yang harus kuterima adalah bahwa kini kamu sudah menjelma menjadi sosok asing, yang mungkin tak mau peduli lagi dengan kenangan-kenangan manis kita; dulu.

Rasanya, aku masih mengingat jelas pertemuan pertama kita. Tiba-tiba saja kamu masuk dalam hidupku tanpa permisi. Wajahmu berlarian mengelilingi hati, otak, dan pikiranku. Aku bukan pengingat yang baik, tapi sejak itu aku sama sekali tak bisa melupakanmu. Aku mulai ingin memperjuangkanmu, teguh mempertahankan kedekatan kita meski kita tak memiliki status yang jelas.

Ketahuilah, Pria-ku, hatiku sudah berharap banyak, dan cinta yang kupunya ini mulai menuntunku ke arah yang mungkin saja tak kaukehendaki.

Bagiku, kesempurnaanmu adalah beban bagi gadis sepertiku. Kamu sempurna, Sayang, sungguh. Kamu bisa memiliki segala hal yang kaumau. Kau tampan, punya usaha dan sudah berpenghasilan sendiri, dan nilai plus di mataku adalah; kau bisa berpuisi. Sementara aku? Aku hanya gadis biasa di usia belia yang sedang meraba-raba apa itu cinta. Aku perempuan biasa, kualitas otakkupun tak seberapa. Aku hanya perempuan yang sok suka sastra yang punya hobi menulis dan berimajinasi. Aku hanya Si Bodoh yang sangat mengagumimu, dan sering bermimpi agar bisa bersamamu. Aku berharap agar tak pernah bangun, agar mimpi itu terus berlanjut. Aku berharap agar tak ada yang menyadarkanku bahwa bersamamu hanyalah angan kosong yang terlampau tinggi untuk kugapai.

Tapi ternyata, takdir berkata lain. Kamu tak sejauh matahari, juga tak sekadar ilusi. Aku semakin jatuh cinta padamu sejak pertama kalinya kaumemanggilku sayang. Aku mulai jatuh padamu dan jatuh itu membuatmu semakin sakit. Kenangan kita yang terjalin singkat ternyata amat membekas buatku, entah kamu. Ah, kupikir hanya aku saja. Karena kamu tiba-tiba saja menjauh tanpa alasan yang jelas, pergi tanpa sempat mengucap kata pisah. Kamu pergi, tanpa memberiku kesempatan untuk tahu perasaanmu.

Pria-ku, teman-temanku bilang, ini sudah saatnya bagiku untuk berhenti memperjuangkan kamu. Ini sudah waktunya bagiku untuk menyerah dan meninggalkan semuanya. Tapi, Sayang, nyatanya aku belum berpikir sejauh itu.

Aku masih ingin berdiri di sini, membahagiakanmu walau tentu aku tak akan bisa melakukannya. Aku masih ingin terus mencintaimu, sesakit apapun yang akan kuperoleh jika terus melakukannya.

Rasanya, tak adil jika hanya aku saja yang terluka. Kita sama-sama jatuh cinta, tapi mengapa hanya aku yang merasakan sakitnya ketika jatuh itu berlangsung? Dan, rasa sakitku semakin lengkap ketika tadi siang kulihat kamu sudah tak lagi berjalan sendiri menuju parkiran. Kamu menggenggam tangan seorang gadis, yang takkupedulikan identitasnya. Aku hanya peduli pada jantungku yang tiba-tiba berdebar kencang, hatiku yang tiba-tiba terasa sakit, dan mataku yang tiba-tiba panas.

Tak adil bagiku jika kamu yang datang dan memberi harapan, tapi aku yang terbang dan kemudian dihempaskan. Tak adil bagiku jika angin menghempaskanku terlalu jauh, tanpa membawamu turut serta. Tak adil rasanya jika aku terus meperjuangkan walau yang kudapat hanya pengabaian.

Tak adil rasanya jika aku mengukir namamu dengan sangat elok di hatiku, tapi ternyata aku sama sekali tak punya makna serupa di hatimu.

Komentar

What's most