Seperti Ini Dulu

"Mas, aku otw kontrakan kamu, ya."

"Ini sudah malam, lho, Dik. Ada apa emangnya?"

"Nanti saja, Mas."

Panggilan ditutup. Aku sibuk menerka apa yang akan dia katakan padaku saat ia sampai nanti. Nada suaranya terdengar berat, seperti tertimpa beban. Aku sabar menunggu, sambil kusiapkan teh hangat untuknya jika ia sampat nanti.

Tak sampai lima belas menit, pintu kontrakanku diketuk. Aku bergegas membukakannya karena aku tahu itu pasti dia.

"Aduh, Dik." Decakku ketika melihat penampilannya malam ini. Gaun pesta ketat warna merah menyala, lipstik sewarna yang membuat bibirnya terlihat lebih sensual. Matanya sayu dan mulutnya bau alkohol.

"Mas," hanya itu yang ia ucapkan karena setelahnya ia langsung memelukku dan menangis di sana. Masih dalam posisi berdiri, aku membalas rengkuhannya.
Pelan, aku melepaskan peluknya dan menuntunnya ke ruang tamu dan ia menurut begitu saja.

"Kenapa tho, Dik?"

"Bapak, Mas, Bapak ..."

Aku masih tak mengerti apa yang ia katakan karena setelah mengucap kata bapak ia kembali menangis. Ingatanku melayang ke ayahnya, seorang anggota legislatif di kotaku. Orang terpandang dan tentu saja kaya. Meski sibuk, tapi ayahnya sangat mencintai gadis di hadapanku ini. Lantas, apa yang membuatnya hadi sesedih itu?

"Bapakku ditangkap KPK."

"Apa?"

Dia tak menjawab pertanyaanku, tapi kembali melanjutkan tangisnya yang semakin terdengar pilu. Ia tampak hancur, dan aku mengerti mengapa ia bisa jadi seperti itu. Aku membawanya kembali dalam rengkuhan, membiarkannya meluapkan semua perasaannya di bahuku. Agar semua bebannya lepas, dan aku bisa melihat tawanya lagi seperti dulu.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Ia menjawab dengan cepat, dan lima detik setelahnya senyum tersungging di bibirnya yang sensual itu.

"Makasih, ya, Mas udah dengerin aku nangis," katanya. Suaranya terdengar lebih baik, "Sebentar lagi pacarku jemput. Aku nggak mau ngerepotin kamu."

Aku mengangguk dan tersenyum sambil mengelus rambutnya lembut. Ia membalas senyumku dan mengunci mataku dengan tatapannya.

Tak ada yang tahu bahwa hatiku mulai retak. Sesungguhnya, aku selalu ingin ia di sini. Menangis di pelukanku, meraung dalam rengkuhanku. Meski ia hanya datang padaku saat ia sedang jatuh, aku senang.

Ah, mungkin ini belum saatnya. Nanti, di pelukan yang entah ke berapa, aku baru akan mengungkapkan semuanya. Saat ini biar begini dulu, dia datang padaku dalam kodisi terluka; dan aku menyembuhkan sakitnya.

Seperti ini dulu.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku.

Komentar

  1. Halo.
    Wah, terima kasih, ya. Tapi aku masih perlu belajar banyak, nih. :)
    Terima kasih, ya, sudah berkunjung. Salam kenal. :)

    BalasHapus

Posting Komentar

What's most