Kisah yang Belum Berakhir

Dik, apa kamu sudah berhasil melupakanku? Terus terang, kalau aku belum.

Di antara pesanan lukisan yang menumpuk, di sela order desain yang semakin banyak, aku masih sempat merindukanmu. Aku mencoba melupakan bayangmu, dengan menjatuhkan diri pada kesibukan, mencoba melarutkan tubuhku ke dalamnya. Tapi, aku selalu gagal, ke manapun aku pergi, senyummu selalu mengikuti. Mengekor dalam setiap langkahku, yang terseok semenjak kepergianmu.

Kadang, rindu datang malam-malam, semakin larut dan semakin menggebu. Semuanya membuatku sukar berkonsentrasi, dan semakin sukar bagiku untuk melupakanmu. Rindu ini menjadi candu, yang kunikmati racunnya, juga kuresapi sakitnya.

Ah, Dik, apa kabar? Apa suaramu masih ceria seperti terakhir kali kita bertemu dalam sambungan telepon? Apa kamu masih sering begadang sampai larut malam untuk mengusaikan tulisanmu? Apa kamu masih suka martabak manis? Apa kamu masih tidak bisa mengerjakan soal kalor Fisika? Apa kamu masih sama seperti dulu--sebelum kutinggalkan?

Banyak pertanyaan yang selama ini kusimpan diam-diam untukmu, Dik. Begitu banyak tanya dan membuatku semakin terobsesi untuk mencari jawabannya. Aku semakin merindukanmu, dan tentu saja hal itu sangat mengganggu hari-hariku. Banyak pesanan yang terabaikan, sementara jemariku malah asik mengabadikan siluet wajahmu di atas kanvas. Mengagumimu diam-diam, dan menghembuskan namamu dalam-dalam. Semakin hari semakin banyak rindu yang tercipta. Yang semula kuanggap kerikil, kini malah membuatku semakin kerdil.

Suara Duta melengking dalam lagu Yang Terlewatkan. Di malam sedingin ini, ditemani lagu-lagu Sheila On Seven, aku tiba-tiba saja ingin mengingat kembali tentang kita--seperti kaubilang; kisah yang tak sempat usai. Ketika kisah kita berakhir tanpa sempat kuselesaikan, aku dan kamu berpisah di persimpangan jalan, padahal hati kita masih saling tertaut satu sama lain. Bukan salahmu, Dik. Bukan juga keegoisanmu seperti yang kaubilang waktu itu. Ini sepenuhnya karena kebodohanku, yang membiarkan cinta bertumbuh di saat yang sama sekali tidak tepat. Aku terlalu takut kehilangan kamu, sampai tidak berani bilang bahwa saat itu aku sudah punya kekasih. Aku fokus pada obsesiku; memilikimu seutuhnya, persetan dengan statusku. Kamu masih lugu waktu itu, kamu mau mengikuti jalan kisah dalam sandiwara yang sengaja kuciptakan ini. Kamu ikut dalam alur yang kubuat. Aku, kamu, dan dia terlibat dalam satu cerita yang seharusnya tidak pernah ada.

Aku tahu tentu kamu merasa dibohongi. Tapi ketahuilah, Dik, aku tak pernah bohong soal perasaanku, aku benar-benar mencintaimu. Hanya saja waktu mempertemukan kita di saat yang sama sekali tidak tepat.

Aku hanya bisa menyesali semua yang telah kuperbuat. Aku tak mendapatkan semuanya, tidak kamu, tidak juga bertahan dengannya. Tapi kini, satu-satunya hal yang paling kusesali adalah, aku telah melukaimu, setelah kuobati rasa sakitmu dulu, dan berjanji tak akan membiarkan lukanya basah lagi. Aku menyesalinya, karena aku telah melukai hati seorang gadis, yang sangat kucintai.

Dik, jika kau ada waktu, aku ingin kaumain ke studioku. Ah, walau kutahu itu takmungkin terjadi, berharap banyak tak salah, 'kan? Aku ingin kaulihat hasil gambarku beberapa hari terakhir ini. Isinya hanya sketsa wajah biasa. Tapi wajah itu, milik seorang gadis, yang sampai detik ini; masih menguasai seluruh isi dimensiku.

Ya, wajahmu.

Dari Mas-mu,
yang lelah disiksa rindu.

Komentar

What's most