Please Stay With Me
"Pulang sekolah aku ada rapat panitia
perpisahan, habis itu langsung futsal. Kamu pulang sendiri bisa, kan?"
"Iya. Kan biasanya juga gitu."
"Oke. Makasih, ya, Sayang, udah
ngerti."
Tanpa mengucap salam sepatah katapun,
Arial menutup teleponnya. Faya hanya bisa menghela napas lemah. Tanpa Arial
tahu, hati Faya mulai retak pelan-pelan.
Gadis itu melangkahkan kakinya
meninggalkan ruang kelas. Seperti biasa, atau tepatnya sejak Arial aktif dalam
banyak organisasi sekolah dan Faya harus terpaksa terbiasa, gadis itu berjalan
sendiri ke luar gedung sekolahnya. Matanya mulai panas, Faya sangat ingin
menangis.
Sejujurnya, saat ini Faya tak meminta
macam-macam. Dia hanya ingin Arial berada di sisinya, bagaimanapun kondisinya.
Faya rindu Arial yang dulu, yang selalu bisa menyempatkan waktu di sela
kesibukannya untuk menemui Fata. Tapi, sebagai gadis yang sangat mencintai
Arial, Faya tak bisa berbuat banyak. Faya hanya berusaha mengerti walau itu berarti
menyakiti dirinya sendiri.
Dalam perjalanannya, Faya menangis dalam
diam.
---
"Ayolah, Ial,"
"Aku beneran sibuk, Fay. Please, aku nggak minta macam-macam selain
pengertian kamu."
"Tapi ini anniversary kita yang pertama, masak kamu gak bisa
hadir barang sejam atau dua jam?" Suara Faya sudah bergetar.
Di ujung sana, Arial terdengar mendesah
berat seolah menyesali kejadian ini. Tapi, Faya tak menangkapnya sama sekali.
Ia sibuk dengan hatinya yang mulai retak pelan-pelan, terasa sakit seperti
diremas. Kesabarannya sudah di ubun-ubun, dan untuk kali ini, rasanya Faya tak
lagi bisa mengerti.
"Im so sorry, Sayang, perpisahan tinggal dua minggu
lagi, dan kita harus benar-benar menyiapkan semuanya maksimal."
"Bahkan di hari Sabtu sekalipun?
Sehari aja, Arial. Please
..."
"Please juga, Fay. Aku harap kamu
mengert--"
Faya segera memutus panggilan. Emosi sudah
menguasai dirinya secara penuh. Sungguh Faya tak paham mengapa Arial bisa
begitu mudah mengabaikan dirinya untuk kesibukan tolol semacam itu. Faya
menelungkupkan wajahnya ke tangan, menangis dan mengerang di sana.
---
Faya mengucek matanya pelan dan
mengumpulkan kesadaran. Ia melirik ke arah jam, pukul sebelas siang tepat.
Tandanya ia sudah tertidur satu jam lamanya sejak insiden tadi.
Ah, Faya jadi teringat insiden tadi.
Rasanya, ia ingin menangis lagi.
Faya tersentak dari lamunannya ketika pintu kamarnya diketuk. Ia
bangun malas-malas dari tempat tidurnya. Ia bahkan tidak merapikan rambutnya
hingga kini penampilan gadis itu tampak seperti singa.
"Ada ap—“
"Happy anniversary, Sayang." Faya menatap tak
percaya pemandangan di hadapannya kini. Sosok pria yang tadi membuatnya berurai
air mata tapi begitu ia rindukan, kini berdiri tepat di hadapannya, membawa
sepiring martabak manis dihiasi lilin berbentuk angka satu.
Tunggu, itu martabak manis?
"Maafin aku, ya, Sayang. Aku tahu
selama ini aku terlalu sibuk jadi cuekin kamu terus. Mungkin aku sekarang jadi
gak bisa ngertiin kamu, tapi selalu menuntut kamu untuk mengerti. Maaf, ya,
Fay, aku tahu aku egois," Ujar Arial menyesal.
Faya hanya bergeming mendengar penuturan
Arial. Ia menutup mulutnya dengan tangan, sembari menggigit bibir agar tidak
menangis karena ia benar-benar terharu saat ini.
"Maaf, ya, Fay." Kata Arial
sekali lagi dengan nada sesal.
Faya menarik napas, "Aku maafin kamu,
tapi ada syaratnya."
Arial menatap penuh minat ke wajah lusuh
Faya. "Apa?" Tanyanya.
Faya meraih piring martabak manis yang
dibawa Arial dan menaruhnya di atas meja di dekat pintu kamarnya. Lantas, ia
menghamburkan diri pada pelukan pria itu.
"Syaratnya, kamu nggak boleh
pergi-pergi lagi. Kamu boleh sibuk sama kegiatan kamu, tapi kamu harus
sempatkan waktu di sela kesibukan kamu untuk aku. Dan lagi, kamu nggak boleh
tinggalin aku. Gampang, 'kan?"
Dan Arial membawa gadis itu dalam
rengkuhannya, erat dan lebih erat lagi.
Pelan, dibisikannya pada gadis itu, "Aku nggak akan pergi.
Tapi kamu juga, please stay
with me."
Komentar
Posting Komentar