Yang Seharusnya Tidak Pernah Ada

Untuk Graffer-ku,

Aku menatap langit-langit kamarku. Selesai mengetik, aku merasakan pipiku basah oleh air mata. Aku tidak mengerti mengapa segalanya bisa menjelma menjadi masalah serumit ini. Kekasihmu itu, tiba-tiba saja memakiku dengan sebutan jalang, murahan, dan beragam kalimat kebun binatang ia serapahkan untukku. Dia mengataiku perebut kekasih orang, perusak hubungan orang dan kata-kata lain yang membuat hatiku terasa sakit.

Aku tidak tahu harus berbuat apa karena kejadian itu memang sepenuhnya salahku. Aku memang tolol karena mau-mau saja menerimamu meski kamu telah berdua lebih dulu. Aku tidak tahu mengapa aku tetap mencintaimu padahal kutahu kau membagi cintamu juga denganku dan gadis itu. Dan, kebodohanku semakin lengkap ketika aku mau-mau saja menjadi pilihan keduamu, ketika kau sedang muak dengan manjanya kekasihmu.

Mas, jelaskan padaku mengapa segalanya bisa jadi begini? Apa yang harus kukatakan pada kekasihmu itu? Alasan apa lagi yang bisa kupaparkan padanya? Aku tidak tahu apakah aku harus marah, menangis, kecewa, atau dengan egois tetap mempertahankan hubungan kita. Meski kita belum terika status apapun, kejadian ini tetap membuatku terpukul. Aku merasa bersalah, walau terus terang aku juga merasakan sakit. Kuputuskan meminta maaf padanya, walau aku juga merasakan sakit yang serupa, walau rasanya tak sama.

Kalau kamu mau aku menceritakan semuanya sejak awal, aku akan berterus terang kalau sejak pertemuan kita ada sesuatu yang tercipta dengan ajaib; entah apa namanya.  Penulis, graffer atau seniman graffiti, dan Stand Up Comedian. Kamu masuk sebagai kriteria pria sempurna di mataku, Mas. Aku terlalu terpana pada silaunya cahayamu, terlena pada manisnya kata-katamu, dan pada akhirnya aku jatuh cinta setengah mati padamu. Segalanya berjalam begitu saja, tanpa kukendalikan, tanpa kurencanakan. Ketika kamu bercerita bahwa ternyata kamu sudah punya kekasih, aku ingin menolak percaya bahwa kenyataannya aku sudah terlanjur jatuh cinta. Aku mengakali keadaan dan menganggap semuanya tetap dapat kulanjutkan jika segalanya tanpa ketahuan kekasihmu. Maki aku tolol, Mas, tapi semuanya terjadi karena aku terlanjur mencintaimu.

Aku memilihmu, tidak di antara pilihan, tapi karena aku memilihmu. Dan karena itu aku tak bisa lepas dari ponsel setiap saat untuk menunggu kabarmu di sudut kamarmu, sibuk menggambar di kertas HVS atau melukis di atas kanvas. Sekadar perhatian manis dan untaian ungkapan rasa sayang yang sederhana yang sering kau bisikan di telepon kala malam tiba. Suara beratmu dan desah suaramu berhasil memecah keheningan di malam hari juga di hatiku. Aku tak tahu apa maksudnya, tapi yang jelas, aku senang kauperlakukan seperti itu, layaknya kekasihmu. Sekarang, setelah kekasihmu puas memakiku, aku hanya bisa diam dan berdoa pada Tuhan agar aku bisa tetap baik-baik saja meski segalanya tak lagi sama.

Aku menulis ini ketika lukaku masih basah dan air mataku belum sepenuhnya kering. Aku 
mengabaikan ponsel-ku yang berdering berkali-kali dengan munculnya namamu sebagai tanda bahwa kamulah yang menelepon. Aku mematikan data seluler ponselku agar semua media sosial yang kupunya menjadi nonaktif. Aku ingin sendirian. Seandainya aku menerima teleponmu, aku sudah bisa menebak tujuanmu adalah minta maaf dan berharap agar segalanya bisa kembali normal. Seperti sebelum-sebelumnya kita biasa bertengkar, kamu akan meminta maaf, mengucap sayang, dan berkata tak mau kehilangan. Mana mungkin aku menganggap semuanya tetap baik-baik saja meski hatiku sakit dan lukaku semakin berdarah? Mana mungkin aku tetap bersikap biasa meski aku sedang tidak baik-baik saja?

Seharian ini, ketika aku hanya ingin menangis di kamar, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tenggelam dalam ketikan-ketikan kosong yang tak jelas isinya, mendengarkan lagu Avenged Sevenfold - So Far Away berkali-kali. Aku menggila hari ini. Menggila karena aku mencintaimu dan karena itu aku menyakiti kekasihmu.

Tolong, Mas, hari ini jangan ganggu aku. Aku ingin sendirian dan aku tak ingin mendengar apapun alasanmu. Mungkin, besok akan jadi lebih baik dan aku akan lebih siap untuk menghadapimu dan menghadapi kenyataan yang menyakitkan untuk beberapa hari ke depan.

Mas, seandainya kamu tidak pernah datang  memberi harapan, mungkin segalanya takkan jadi serumit ini. Kita tak akan pernah ada dan aku tak perlu mencintaimu secara sembunyi-sembunyi. Bukan, aku tidak menyesali pertemuan kita, yang kusesali adalah mau-maunya saja aku menjadi pilihan kedua. Aku tidak menyesali perasaanku, aku hanya menyesal pernah memperjuangkan cinta yang salah, yang seharusnya tidak pernah ada, tidak pernah tercipta. Karena dengan begitu, kita juga tidak akan pernah menyakiti siapapun. Walau belum sepenuhnya yakin, aku memutuskan untu pergi. Aku tak akan mengganggumu, dan mengganggu hubunganmu dengan kekasihmu. Aku akan melupakanmu, walau berat dan sangat menyakitkan, aku akan meninggalkanmu bersama harapan dan mimpi yang pernah kuperjuangkan agar bisa kita wujudkan bersama. Semua yang terjadi--dan seharusnya tidak pernah terjadi- telah menuntutku untuk tahu diri, bahwa kenyataannya mencintaimu adalah kesalahan yang tak boleh kulakukan.

Aku mencintaimu, Mas, tapi aku merasa perlu mengakhiri segalanya, sebelum perasaan ini akan menjelma menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Dan sebelum cinta ini tercipta lebih dalam lagi.

Dari Adik-mu,
yang telak mencintai,
dengan sangat berani.

Komentar

What's most