Pilihan Kedua

Untuk Mas yang tak akan pernah jadi kekasihku.

Pagi tadi, aku membuka inbox handphone-ku dan harus menelan kecewa karena pesanmu tak lagi mampir di ponselku seperti biasanya. Ah, tiba-tiba aku jadi ingat kejadian semalam. Wanita itu-- yang menyebut dirinya sebagai kekasihmu- tiba-tiba saja menghubungiku dan bertanya banyak hal tentang hubungan kita. Jadi, dia ini yang biasa kauceritakan?

Tadi malam, pesannya mampir di direct message akun Twitter-ku. Dia mengenalkan dirinya dan menyebut diri sebagai kekasihmu. Saat membaca pesannya, aku bisa lihat ketersiratan cemburu yang tak sengaja ia paparkan dalam ceritanya. Dia bilang bahwa akhir-akhir ini kalian jarang bertemu, dan kamu tak lagi seperhatian dulu. Ketika bertemu pun, kamu tak pernah tepat waktu. Kamu mulai sering berbohong dan tak lagi seperti dulu.

Seperti katamu, Mas, aku tidak menceritakan pada gadis itu apa yang terjadi sebenarnya. Aku tak bercerita bahwa kamu sibuk dengan graffiti-mu sampai mengabaikannya. Aku tak bilang bahwa kamu terlalu asik main game sampai larut malam hingga bangunmu kesiangan. Aku juga tak mengatakan padanya bahwa kedekatan kita tak lagi wajar seperti dulu. Aku bilang seadanya, kamu sibuk sekolah dan ponselmu mengalami masalah jadi tak sering memberi kabar. Kamu tak perlu khawatir, aku tak bilang padanya bahwa akhir-akhir ini malah kamu lebih sering menemuiku daripada menemuinya.

Aku bersyukur gadis itu percaya-percaya saja dengan apa yang kukatan padanya padahal itu delapan puluh persen berbohong. Apalagi tentang kita, sewajarnya saja aku bilang bahwa aku dan kamu hanya sebatas partner menulis dan aku hanya pengagum graffiti buatanmu. Aku bisa membacanya, dia begitu tidak ingin kehilangan kamu. Dia tak ingin kamu lebih sering bersamaku daripada bersamamu. Dia sangat mencintaimu, Mas, aku sangat memahaminya.

Setelah kita selesai chatting, aku buru-buru mengirimimu pesan dan mengabari apa yang baru saja terjadi. Kamu langsung menelepon, bertanya apa saja yang ia katakan, dan aku menjawabnya dengan jujur. Kamu buru-buru berterima kasih, dan aku membalasmu dengan anggukan yang takkan mungkin kau lihat. Seperti cinta yang diam-diam mulai ada ini, tak kasat mata dan takkan pernah bisa kau lihat; apa lagi kau pahami. Bukan hanya kamu, Mas, aku juga tak bisa memahaminya, mengapa aku masih bisa menerimamu, meski kau sudah memilihnya lebih dulu sebelum aku.

Aku berani bertaruh, hari ini kamu pasti menemuinya dan mulai membisikinya kalimat manis seperti yang biasa kau lakukan padaku. Lalu, tangannya akan menggeloyot manja di lenganmu, dan kalian akan menghabiskan senja berdua, dengan cara yang romantis baginya; menyakitkan bagiku. Tapi, bisa apa aku? Bukankah aku hanya pilihan keduamu? Bukankah aku hanya pelarian?

Tenang, Mas, sampai saat ini, gadis tolol yang mencintaimu ini masih tahu diri. Aku tidak akan berharap banyak, karena aku tahu bahwa mengharapkanmu hanya akan menyakiti banyak pihak. Terutama dia; kekasihmu yang sangat setia menunggumu. Meski kau selalu menghiraukannya. 

Dan siang ini, ketika aku tahu kamu pasti tengah bertemu dengannya, tiba-tiba saja aku merindukanmu. Aku ingin kau menemuiku, lantas aku bisa memelukmu sepuasku. Seandainya bisa, aku ingin melakukannya, bertemu denganmu tanpa menunggu kau selesai dengan kekasihmu. Seandainya bisa, aku tidak ingin menjadi pilihan kedua. Aku ingin dijadikan satu-satunya, bukan salah satunya. 

Selesai menulis ini, aku menatap ponselku. Dan entah mengapa aku bahagia mendapati pesanmu, walau isinya tentang kabar bahwa kamu berhasil membahagiakan gadis itu--kekasihmu.

Komentar

What's most