Pesta
“Is
it okay to leave you here?”
“Sure, no worry. I can wait and eat
everything here. Just meet your colleagues,
I’ll be fine.”
He left kisses on his’s girl cheek. “Aku
nggak akan lama.”
Now, here she is. Berdiri di depan meja penuh dengan
kudapan-kudapan one bite yang
terlihat sangat menggiurkan, lalu di meja sampingnya ada gelas-gelas soft drink berikut buah-buahan kecil di
sampingnya. Everything seems so unreal.
Pesta terakhirnya adalah malam perpisahan demisioner organisasi di kampus yang
dia ikuti tahun lalu, namun jika dibandingkan dengan pesta yang ini, malam
perpisahan itu sama sekali tidak terlihat seperti pesta.
Maksudnya,
malam perpisahan demisioner dia tahun lalu lebih seperti kumpul-kumpul bersama
di sekretariat yang sudah didekorasi sedemikian rupa, balon dan tumblr light di sana sini, musik-musik
ala aktivis kampus—yang setelah dipikir-pikirnya, sama sekali tidak cocok,
masak perayaan demisioner yang diputar lagu ‘Peradaban?—dan makanan, lots of food, ada minuman soda, ada
puluhan bungkus keripik yang dibeli pakai uang sisa kas organisasi, ada tumpeng
(“sebagai perayaan kebebasan! Habis ini nggak ada proker-proker lagi!” begitu
kata ketuanya dulu saat ditanya kenapa ada tumpeng di pesta perpisahan), dan
panggung bebas, yang lebih seperti karpet di mana ada kursi, kajon, dan gitar
untuk siapapun bebas menampilkan apapun.
Tapi,
sekarang, dia ada di sini. Ada di pesta super mewahnya selama dua puluh satu
tahun hidupnya, untuk kali pertama. Secara teknis, ini bukan pesta pertamanya,
sih. Lebih ke pertama kali menemani ‘teman’-nya ke pesta super mewah, perayaan
ulang tahun pemilik lima puluh persen saham perusahaan top tier di Indonesia, dan juga perayaan keuntungan perusahaan yang
katanya mencapai paling banyak dalam lima tahun. Dia tidak begitu mengerti apa
yang sebetulnya dirayakan pesta ini. Yang dia tahu hanyalah, ada begitu
banyak—nyaris semuanya, orang-orang kaya raya, dengan setelan jas maupu dress mewah yang harganya bisa membiayai
uang kuliah tunggalnya sampai lulus berikut biaya kos untuk satu tahun.
Mendatangi
pesta bisnis seperti ini—benar, ‘kan, namanya pesta bisnis?—dia jadi berpikir
mana di antara keduanya yang betulan ‘pesta’ : pesta ini atau pesta perpisahan
demisionernya tahun lalu. Atau apakah keduanya sama-sama disebut pesta, hanya
beda subjek dan jumlah kekayaan saja?
Dia
terkikik tanpa alasan. Hidupnya sudah berubah sejak dia demisioner tahun lalu.
Drastis—nyaris sama sekali berbeda. Dulu, tetek bengek soal perusahaan, saham,
dan sebagainya hanya dia pelajari lewat buku maupun mata kuliah yang dia ambil
di semester empat. Tapi kini, dia menghadapinya langsung. Maksudnya, langsung
mendengar dari orang yang melakoni kegiatan itu setiap hari; di tengah-tengah
makan siang ataupun dinner di
restoran yang punya pemandangan city
light paling indah di kota ini, atau ‘dinner’
selanjutnya.
How to explain it not in horny way?
Tapi
serius, pemandangan yang seperti ini, adalah pemandangan yang dia kira tidak
akan pernah bisa dia lihat seumur hidup. Kalau dia tidak tiba-tiba ketemu
seorang pria super charming berusia
pertengahan lima puluh, dengan aroma parfum maskulin yang sampai hari ini dia
gila-gilai, saat menangis karena laptopnya tiba-tiba mati di tengah-tengah dia
mengerjakan bab dua skripsi. Saat itu dia duduk di kursi paling pojok McDonald,
menangisi laptopnya yang lag, lalu mati sama sekali. Untung dia sudah back up di Google Drive. Tapi yang dia tangisi adalah, bagaimana kelanjutan
dia menulis skripsi setelah ini? Dia tidak punya uang sama sekali. Jangankan
laptop, makan pagi dan siang saja harus dikumulatif. Dan McDonald siang ini
adalah kebetulan dia dapat voucher promo
dari aplikasi, yang pas didapatkannya ketika dia sudah super suntuk mengerjakan
di kosan. Pokoknya terlalu jauh untuk beli laptop lagi, dan kalau untuk
mereparasinya, dia juga tidak punya uangnya.
Dia
melanjutkan menangis sampai pria itu datang. Tiba-tiba duduk di depannya,
bertanya apa yang terjadi, dan kemudian karena sudah kepalang capek untuk
menghindar, dia memutuskan menceritakan semuanya. Termasuk biaya kosnya yang
belum dia bayar selama dua bulan. Saat itu, pikirannya hanya, dia hanya mau
cerita. Jika pria asing ini macam-macam dia akan segera telpon teman
laki-lakinya di organisasi untuk membanting pria ini. Waktu itu dia punya
sahabat sabuk hitam karate. Makanya, dia tidak peduli dan terus bercerita pada
pria asing ini, sambil menghapus air matanya beberapa kali. Suprisingly, pria ini mendengarnya
bercerita dengan seksama. Tanpa interupsi, mengangguk sekali-kali, bahkan
menimpalipun tidak. Ketika ceritanya selesai, dia bahkan masih belum berkomentar
banyak.
“Makasih,
ya, Pak, sudah dengerin cerita saya. Maaf saya kayak orang aneh tiba-tiba
curhat sama orang asing begini.”
Pria
itu justru tertawa. Bukan meremehkan, tapi tertawa seolah kalimat yang
dikatakannya benar-benar lucu.
“Siapa
nama kamu?”
“Hah?”
“Saya
tanya, nama kamu siapa?”
Ada
aura dominasi yang terlalu kuat ketika pria itu menekankan pertanyaannya.
Makanya, dia langsung diam, kemudian membisikkan namanya, “Rana.”
“Rana,
kamu mau saya belikan laptop baru?”
At that time, she was virgin. It was
her first time, she knew nothing, but it came naturally. How the
transaction has finally agreed and
she ended up with new MacBook in her bag. Her mind stopped
working, but her life-need said ‘yes’ already. Maybe she was born slutty. But
when she got the iPhone and ten miliion in her bank account after had the most
amazing orgasm, eventho it was her first time doing it, she found no reason why
should her terminate this agreement.
Itu
nyaris setahun lalu. Sekarang, dia ada di sini. Di pesta yang isinya para
pemegang saham perusahaan besar, dengan musik yang sebetulnya membuatnya
mengantuk. Ketika ‘teman’-nya mengajaknya ke sini, sebetulnya dia sudah mau
menolak seratus persen. Dia tahu betul posisinya sebagai apa dan bagaimana
reputasi ‘teman’-nya di lingkungan ini. Dia bukan lagi pria yang jago di
ranjang seperti yang dikenalnya, atau pria yang kebetulan cukup kaya untuk
membayarkan biaya kos, mengisi rekening banknya, memberinya kartu kredit dengan
limit tidak terbatas, dan tetap membayarkan semua kebutuhan paling tersiernya
walau dia sudah punya cukup uang untuk itu—yang didapatkannya dari orang yang
sama. Dia adalah salah satu pemegang saham terbesar di sini, dan akan konyol
jika dia datang dengan perempuan muda yang semula tidak pernah dia bawa ke
manapun. Pria yang baru saja ditinggal istrinya dua tahun. Tapi pria itu
memaksa Rana, dia bilang, “It’s ok, Rana, they will understand. I won’t go to the
party alone. My son will come with his fiancee, yang kuceritakan itu, Rana,
yang aku jodohkan dengan keponakan presiden direktur perusahaan yang pestanya
akan kudatangi. Kita datang sebentar saja, Rana, setelah itu kita pergi berdua
saja.”
Dan
Rana apa bisa menolak?
Makanya
walaupun yang dibilang sebentar oleh ‘teman’-nya adalah lebih dari lima belas
menit meninggalkan Rana memakan kudapan-kudapan one bite dan meneguk segelas kola dengan kondisi tumit pegal luar
biasa karena terus-terusan berdiri, plus tubuh menggigil karena dia hanya
memakai dress hitam satin berlengan
tali kecil dengan bagian dada dan punggung yang terbuka. Kalau Rana tidak ingat
posisinya, dia sudah pergi sejak tadi.
Baru
ketika Rana mau mengambil dimsum dingin, yang tetap enak, tiba-tiba seorang
laki-laki datang menghampirinya.
“Udang
atau ayam?”
Rana
menoleh, “Sorry?”
Rana
memindai laki-laki itu. Kemeja warna biru tua yang dibalut dengan jas yang
lumayan panjang, dengan celana kain yang terlihat rapi dan licin. Laki-laki
mungkin dua atau tiga tahun lebih tua dari Rana.
“Itu,
dimsum, rasa ayam atau udang?”
Rana
melihat ke dimsum yang ada di tangan kanannya, “Ayam.”
“Aneh,
biasanya Om Ravin lebih suka dimsum udang.”
Rana
menggigit dimsumnya, lalu menelannya dalam sekali makan.
“Kayanya
campur, deh. Ada rasa ayam, tapi ada udang juga. Lewat-lewatan gitu.” Ujar Rana
begitu dia merasakan rasa dimsum itu. Laki-laki di depannya itu ikut mengambil
dimsum dan memakannya dalam sekali telan.
“Setuju,
dicampur ini.” Dia mengambil gelas soft-drink
dan meneguknya sedikit. Saat datang ke sini, laki-laki itu membawa gelas yang
tadinya berisi cocktail—itu diedarkan
oleh pelayan dari satu tamu ke tamu lain.
“Kalau
nomor whatsapp kamu, kombinasi
nomornya dicampur juga?”
---
Matanya
menangkap seorang perempuan dengan gaun satin, dengan bagian punggung terbuka
yang tampak kikuk mendatangi pesta. Walaupun begitu, perempuan itu terlihat
berusaha menikmati suasana pesta ini.
Dia
sendiri tidak terlalu banyak datang ke pesta. Apalagi pesta perusahaan seperti
ini. Kalau bukan karena kewajiban, dia lebih memilih menghabiskan malam sabtunya
main game sampai pagi. Tapi agenda
itu tidak bisa dilaksanakan semudah kepalanya merencanakan. Di dunia miliknya
yang sudah diatur sejak lahir, dia nyaris-nyaris tidak punya banyak pilihan. Makanya
dia memilih untuk mengikuti arus—toh punya segala privilege ini tidak buruk juga.
Tapi
dia sendiri tidak begitu menyukai pesta. Atau lebih tepatnya, dia bosan dengan
pesta. Baginya pesta selama ini terlalu itu-itu saja. Pesta terbaiknya masih
pesta penyambutan mahasiswa baru yang dilaksanakan setiap awal tahun ajaran
ketika dia masih menjadi mahasiswa bisnis di Amerika, dulu. Pesta meriah dengan
sof-drink dan cookies, lalu semuanya berdansa dengan pasangan masing-masing,
kemudian ketika pesta bubar pasangan itu hanya berpindah tempat berdansa. Untuk
melakukan dansa yang lain, tentu saja.
Baginya
pesta yang berisik dan tidak terstruktur begitu adalah pesta yang paling bisa
dia nikmati. Dia tidak perlu memikirkan penjualan saham, atau memikirkan strategi
menghadapi perusahaan-perusahaan start up.
Semuanya menyenangkan, heboh, dan jujur. Tidak ada hubungan bisnis yang
dibatasi oleh basa-basi menyedihkan dan tembok-tembok berisi uang yang sejujurnya
tidak begitu ia sukai.
Hanya
saja, pesta yang malam ini lain—atau setidaknya, baginya, jadi terasa lain saat
netranya menemukan perempuan itu. Dia terlihat manis dan menenangkan, tapi juga
kuat dan bisa menghancurkan siapa saja. Ada kesan aneh yang ditangkapnya saat
melihat perempuan itu. Seolah-olah kerapuhan yang dia pancarkan mampu
menariknya mendekat, pura-pura basa basi soal dimsum, dan percakapan itu
terjadi.
“Kalau nomor whatsapp kamu, kombinasi nomornya
dicampur juga?”
Perempuan itu terkekeh. “You flirt me?”
Dia menggeleng, “Tidak, saya cuma
nanya kombinasi nomor whatsapp-nya,
kalau bisa sih disebutkan nomornya.”
Perempuan itu semakin tertawa,
dengan suara kecil yang sangat lembut. Di tengah kekehannya, dia bertanya, “Is it normal to do thing like this?”
“What thing?”
“Ya, ini, minta nomor di
tengah-tengah pesta saat semua orang bicara soal harga.”
Perempuan itu tidak terlihat
bercanda. Dia terlihat betul-betul tidak tahu.
“I think ... I don’t know? I don’t
do party often, dan biasanya orang-orang di pesta semacam ini sudah saling
mengenal satu sama lain. Saya kenal hampir sembilan puluh persen orang di
ruangan ini, atau minimal pernah melihat wajah mereka dia banner pembicara atau televisi.”
Perempuan itu mengangguk-angguk,
“I see.”
“Evan.” Dia, laki-laki itu,
memberikan tangan kanannya. Yang langsung bersambut,
“Rana.”
“Jadi gimana campurannya?” tanya
Evan.
“Dimsum?”
“Nomor.”
Rana kini tidak terkekeh
lagi, dia tertawa. Betul-betul tertawa. Dan Evan menyukainya, melihat tawa itu.
Seolah-olah lelucon soal nomor adalah hal paling lucu yang pernah Rana dengar.
“We just knew each other like ... seconds ago.”
“Kalau udah dapat nomernya
kan bisa kenalan lebih lama?”
Rana tersenyum, “Sure.”
Rana meraih kertas bekas nota
pembelian kopi dari tas kecilnya, lalu meraih eyeliner dari sana, dan menuliskan nomornya ketika tiba-tiba—
“Rana!”
Rana dan Evan kompak menoleh.
“Eh, Om ...”
“Papa?”
What the fuck.
“Rana? You know my son?” tanya ‘teman’-nya sambil merangkul pundak Rana. Rana
memasukkan kembali eyeliner ke dalam tas
kecilnya.
“No, Papa, we just randomly
talked about the dimsum. Don’t worry
I don’t steal yours.” Rana beralih menatap Evan dengan tatapan sinis. Siapa
yang habis memaksa minta nomornya?
“Hahaha ... sure. Papa pulang dulu dengan Rana, kamu
sama tunanganmu sana.”
Evan tersenyum kepada
papanya. “Hati-hati, Papa.”
Rana dan ‘teman’-nya pergi
meninggalkan Evan yang masih takjub dengan peristiwa yang baru saja dialaminya.
Anjir lah gue hampir saja naksir sugar
baby bokap gue. Ketika dia masih
mencoba mencerna kejadian aneh yang baru saja terjadi, sudut matanya menangkap
kertas kecil yang tadi sepertinya ditinggalkan Rana. Evan meraihnya, dia
membuka kertas yang dilipat itu.
081-xxxxxx, text me! – Rana
Evan tersenyum miring.
Pesta yang kali ini seru
juga.
Komentar
Posting Komentar