Langit dan Laut yang Tak Terbatas, Seandainya Cukupku Lebih dari Itu
Ketika hampir
delapan tahun yang lalu aku tahu bahwa pria yang aku cintai akan menikahi
sahabatku sendiri, aku tidak punya definisi yang pasti untuk menjelaskan
perasaanku. Bukan hancur jadi keping-keping atau mau mati, jujur. Lebih ke ...
Ya
sudah?
Karena dulu aku lebih dari tahu
bahwa buat Raka, aku tak pernah lebih dari teman yang kebetulan sering berbagi
kelas yang sama waktu kuliah—dan perempuan yang menjadi sahabat, dari perempuan yang sangat dia cintai. Tidak
kurang, tidak lebih. Walau bagiku tidak pernah cukup. Tapi Cintara tidak
begitu. Aku bersahabat dengan Cintara ketika sahabatku itu sudah bersama Raka
lebih dulu. Bertemu lebih dulu, saling jatuh cinta lebih dulu. Maka ketika aku
tahu bahwa dua orang yang selama ini Cintara hanya mengaku—“sumpah temenan
doang!” tiba-tiba datang ke kosanku, lebih dari delapan tahun yang lalu, pamer
cincin dengan wajah merah pasca menangis sepanjang perjalanan dari restoran
tempat Raka melamarnya sampai ke kosanku, aku sejujurnya sama sekali tidak terkejut.
Seberapapun Cintara denial soal
perasaannya ke Raka, seberapapun Raka mati-matian terlihat seperti sahabat
untuk Cintara, perasaan yang terlihat di antara mereka berdua terlalu kentara.
Tulus, polos, dan tidak dipaksa naik ke permukaan. Kadangkala timbul tenggelam,
tapi selalu ada.
Saat itu, pernikahan mereka
memberiku pemahaman mengenai ‘cukup’. Bahwa sejak awal, buatku dan Cintara, ini
bukan kompetisi. Sampai kapanpun akan terus seperti itu. Cinta Raka buat
Cintara absolut, tidak bisa dibantah, tidak bisa diinterupsi. Maka aku akan
terus jadi orbit yang tidak bisa menyentuh sedikit ruang itu barang sekali.
Selamanya.
Cintara menyukai pantai. Raka juga.
Debur ombak dan suara angin, pekikan burung-burung, matahari tenggelam, adalah
hal yang dipuja mereka berdua. Bahkan Raka melamar Cintara di restoran yang
terletak di pinggir pantai. Tempat ini menyimpan jutaan kenangan soal cinta
mereka yang barangkali masih ada dan terus menerus hidup, tumbuh dewasa.
Satu hal yang masih sulit kupercayai
sejak delapan tahun, atau jauh sebelum itu, ketika pertama kali aku sadar aku
mencintai Raka, peristiwa ini dulu masih berbentuk seandainya. Dulu, Cintara
membuatku paham tentang bentuk lain mencintai, paling sederhana, yang bisa aku
pahami—yang akhirnya aku berikan secara cuma-cuma untuk Raka. Dulu, aku hanya
bisa bermimpi. Dulu, aku menjaga jarak aman agar cinta tidak bertumbuh terlalu
dalam. Tapi, ‘seandainya’ itu ternyata bukan khayalan atau lamunan kosong.
Seandainya itu adalah perwujudan dari cinta diam-diam, ia berubah bentuk jadi
mimpi, dan orang-orang bertahan hidup karena mengejarnya.
Aku selalu tahu, entah kapan
waktunya itu, aku akan menyerah soal Raka. Dan aku sudah pernah nyaris
melakukannya. Aku menghabiskan waktuku sendiri untuk menyimpan kisah tragis itu
dalam hati. Sok bisa menjadi cukup, sok bisa mencintai dengan tenang, padahal
aku ingin jadi ombak untuk lautannya
yang dingin.
Ketika Cintara dan Raka sibuk
bahagia, aku sibuk bermimpi bagaimana aku bisa melupakan Raka. Tapi langkahku
berhenti di situ. Tidak masuk pun tidak pergi. Aku menjadi awan yang
menggantung di langit, yang bahkan—sedihnya—tak bisa membuat hujan, ataupun
kekeringan, atau apapun. Aku hanya awan yang menetap di sana. Setia sampai mati
tapi ditolak berkali-kali.
Aku, belajar merasa cukup,
membiarkan Raka dan Cintara bahagia. Lalu melanjutkan hidup, kemudian mati,
lalu dikremasi. Tidak perlu jadi awan untuk siapa-siapa lagi.
Tapi, lima tahun lalu, kehidupan
semua orang goncang. Kematian Cintara menjadi titik balik yang sangat menyakitkan
bagi semua orang. Termasuk aku, terutama Raka, dan seorang anak laki-laki
dengan mata bulat, yang diantarkan Cintara dengan menukar nyawanya.
Ruang kosong yang ditinggalkan
Cintara akan selamanya tidak bisa aku isi. Dan aku juga tidak berani, bahkan
untuk sekadar punya keinginan, mengisinya. Terlalu banyak yang Cintara
tinggalkan, dan aku tahu Raka selama ini hanya pura-pura sudah merelakannya.
Cintara adalah cinta dalam hidup Raka, yang tiba-tiba direnggut semesta tanpa
tedeng aling-aling, diambil Tuhan secara paksa, tanpa aba-apa. Dan Raka tidak
punya waktu bahkan untuk sekadar diberi tanya apa dia akan bisa rela.
Lima tahu lalu, aku tahu Raka tidak
bisa benci siapa-siapa selain dirinya sendiri. Tapi anak laki-laki yang dibawa
Cintara dengan nyawanya tidak bisa tumbuh tanpa cinta. Raka dipaksa kuat saat
satu-satunya hal yang ingin dia lakukan adalah mengakhiri hidup, menyusul
Cintara, bahagia—peduli setan mau di neraka atau surga. Raka hanya menginginkan
Cintara.
Tapi ... entah, bagaimana mulanya,
aku tiba-tiba ada.
Aku, tidak ingin memaksakan diri.
Sama sekali tidak ada niatan untukku menjadi orang jahat yang mengambil
kesempatan. Tapi aku tahu Raka tidak akan sekuat itu menjaga anak laki-laki,
yang, baginya, mengambil Cintara dari hidupnya. Aku tahu Raka lebih dari sakit
hati, ada banyak kepedihan yang dia tepis untuk membawa anaknya keluar dari
rumah sakit sambil berurai air mata, melewati aku yang tecerai berai ditikam
perasaan serba entah.
Kalau Raka mau mati, kesedihanku
lebih delapan kali.
Aku menggigil di kamar mandi rumah
sakit tepat ketika dokter menyelesaikan operasi Cintara dan berkata bahwa hanya
bayi laki-laki mungil yang lahir lebih cepat dari perkiraan itu kemudian tidur
dengan damai dalam inkubator, yang bisa diselamatkan. Aku tidak tahu seberapa
sering aku mengunjungi rumah sakit, menyaksikan anak laki-laki itu dengan
perasaan yang pedih. Aku lupa minggu ke berapa,
ketika anak laki-laki itu sudah bisa dibawa, Raka tidak kunjung hadir ke
rumah sakit untuk menjemputnya. Aku menunggu cemas, berharap sedikit, tapi aku
takut Raka tidak ke sini untuk mengambilnya.
Lalu, tiba-tiba Raka datang. Dengan
langkah kecil dan penampilan berantakan. Kemudian membawa bayi itu dengan
tangan gemetar, dengan berurai air mata. Dan aku tidak melakukan apa-apa selain
mengambil jarak, mengamati dari jauh, ikut menangis.
Kepergian Cintara adalah kepedihan
yang tidak bisa aku jelaskan kepada siapapun. Terlalu tiba-tiba, terlalu ...
aku bingung. Terlalu banyak yang Cintara bawa pergi dan aku bahkan tidak diberi
kesempatan untuk menemuinya sekali lagi. Dia mungkin istri Raka, tapi aku
sahabatnya, Cintara adalah yang terpenting dari semuanya, dan air mataku selalu
tidak pernah cukup.
Kepergian Cintara adalah tanda tanya
besar yang sampai kapapun tidak akan bisa aku jawab. Ada pusaran yang berputar kencang, membawa
kebahagiaan semua orang untuk turut hanyut, dan akupun turut serta. Terseret
pusaran itu. Tenggelam tapi tak kunjung kehilangan kesadaran.
Kepergian Cintara memberiku
kesempatan untuk mewujudkan mimpi yang sudah lama aku buang ke planet lain.
Tapi aku tetap tidak berani menyentuh Raka. Enam tahun sejak kematian Cintara,
dan aku, masih terus hidup, bersama yang seandainya
itu.
“Tante, waktu kakek teman aku
meninggal, kakeknya dikubur di tanah. Kok Mama dikubur di laut?”
Karena Cintara suka laut.
Aku ingin menjawab itu, tapi
tenggorokanku tercekat. Seolah tersedak napasku sendiri. Ini pertama kalinya
Langit mempertanyakan ini padaku, dan aku tahu pasti jawabannya apa. Tapi entah
kenapa, untuk menceritakannya, dadaku patah sendiri.
Sambil terdiam dalam waktu yang
cukup lama, aku melihat Raka yang masih bersimpuh sambil memandang laut lepas
sana. Seolah-olah dengan begitu Cintara bisa direngkuh. Seolah-olah Cintara
bisa kembali nyata ...
Cintara adalah semesta Raka. Tempat
hidupnya berputar di situ dengan stagnan. Dan aku adalah semesta yang lain,
sama sekali baru, sama sekali asing.
Aku tahu Cintara menamai anaknya
Langit bukan tanpa asalan. Laut dan langit. Keduanya tidak terbatas—dan Raka
seperti matahari terbit dan tenggelam yang hidup dari sana. Dan akupun tahu
kenapa Raka mengkremasi jenazah Cintara dan menaburkannya di laut. Karena laut
ada di mana-mana, maka dengan begitu Cintara akan selalu ada.
“Tante!”
“Iya, Langit?”
“Kenapa Mama dikubur di laut?” ulang
anak laki-laki berumur enam tahun itu, yang memiliki mata bulat Cintara,
menegaskan pertanyaannya.
“Mamamu suka laut. Tidak terbatas
dan ada di mana-mana, seperti langit,” jelasku sambil menggenggam tangannya dan
tersenyum.
“Seperti Langit?” tanya anak
laki-laki itu sambil menunjuk dirinya sendiri.
“Seperti langit, dan Langit.” aku
menunjuk ke atas, lalu menunjuk hidung Langit.
“Kalau Papa terbatas ya, Tante?”
Pertanyaan yang sederhana, polos,
dan sangat wajar untuk keluar dari mulut anak kecil berusia enam tahun. Tapi entah
mengapa pertanyaan itu membuatku tersedak untuk alasan yang tidak wajar.
Terbatas
...
“Papa juga tidak terbatas, Langit.” Ujarku.
“Maksudnya gimana, Tante?”
“Papamu punya cinta yang tidak
terbatas untuk kamu, dan untuk mamamu.”
Langit menatapku sayu, lalu menunduk
lama. “Tapi aku nggak pernah ketemu Mama.”
Aku menggenggam tangan Langit, mengelus
punggung tangan anak itu penuh sayang, “Langit, coba kamu lihat ke laut ...”
Langit menuruti permintaanku, dia
menatap laut lepas sana, mendengarkan deburan ombak, pekikan burung-burung, dan
matahari terbenam. “Setiap kali melihat laut, saat itu pula kamu melihat mamamu.”
Langit kini menengok ke arahku, tersenyum
lama, lalu merengkuhku dengan tangan kecilnya. Aku tidak tahu apakah
kata-kataku bisa dimengerti oleh anak laki-laki berusia enam tahun ini, tapi
aku berharap setidaknya dia memahami arti laut, arti deburan ombak, dan
semuanya yang Cintara tinggalkan kepadanya. Anak yang kukenal sejak masih bayi,
kubantu sedikit-sedikit untuk merawatnya. Anak yang sering dititipkan padaku
karena kesibukan ayahnya yang sangat menyita waktu. Anak yang sangat aku
sayangi, lebih dari aku mencintai ayahnya.
Aku membawa Langit semakin hangat ke dalam pelukanku, merasakan Cintara,
merasakan Raka, dan merasakan patah hati yang ada selamanya—untuk seumur
hidupku.
---
Aku di kursi penumpang, Raka di kursi
kemudi. Langit sudah tidur sejak setengah jam yang lalu di kursi belakang. Aku
tidak tahu sejak kapan keheningan yang menyelimuti kami jadi terasa semenyiksa
ini.
“Na, terima kasih sudah mau menemani
Langit selama aku ngobrol sama Cintara ...” Raka memecah keheningan. Laki-laki
itu menoleh sekilas ke arahku lalu tersenyum.
Aku balas tersenyum. “Iya.”
“Langit cuma bisa anteng sama kamu
... aku juga nggak ngerti kenapa bisa begitu. Aku pernah ke pantai berdua aja
sama Langit dua bulan lalu, dan dia malah sibuk main pasir, lari ke sana ke mari,
rusuh sendiri,” Raka berceloteh. “Untung hari ini kamu bisa. Makasih sekali lagi,
Na.”
“Nggak apa-apa, Rak. Lagian aku udah
sebulan nggak ketemu Langit,” jelasku.
Raka menghela napas.
“Udah enam tahun, padahal ya ...
tapi aku tetap merasa nggak mampu merawat langit sendirian.” Raka berkata lirih
sambil tetap fokus menyetir.
“Kan besok nggak lagi ...”
“Nina, menurutmu Cintara marah nggak
ya sama aku?”
Here
we go again. Repeated feeling.
“Aku nggak merasa punya cukup waktu
dan kasih sayang untuk Langit, anak yang susah payah dilahirkan Cintara untukku
dan menukarnya dengan kematiany—“ Raka tidak mampu melanjutkan itu. Lalu ia
menghela napas, kemudian menenangkan diri. “Kayaknya dia malah lebih sering
bareng kamu, ya, Na, daripada aku? Hahaha ...”
Raka tertawa, tapi aku bisa
mendengar getir dari nada suaranya.
Aku masih diam. Menunggu.
Raka menghembuskan napas berat.
“Aku kira aku bisa hidup sendiri. Aku
kira aku bisa mendidik Langit sendiri, membesarkannya bersama banyangan Cintara
yang terus hidup di kepalaku. Aku kira gitu, Na.”
“ ... tapi tahu-tahu, pernikahanku
sama Andien udah besok aja. Konyol ya aku?”
“ ... Cintara tetap hidup di hatiku,
menjadi pusat di semestaku, setiap aku melihat pantai, aku akan terus melihat
Cintara.”
“Nina, kamu kesel ya lihat aku kayak
nyelingkuhin sahabatmu gini?” Raka bertanya padaku. Aku menoleh, mencoba mengulum
senyum.
“Rak, Cintara pasti mau kamu
bahagia. Nggak apa-apa kok, Rak, butuh afeksi itu manusiawi. Kamu nggak
mungkin, ‘kan, menangisi Cintara seumur hidup kamu,”
Seperti
aku menangisi penolakanmu seumur hidupmu.
“Lagipula
Langit butuh sosok ibu. Semoga, Andien, bisa jadi orang yang tepat untuk itu.”
Raka mengangguk pelan. “Aku tadi
sudah ngobrol semuanya ke Cintara, lewat laut, semoga ... sampai, ya.”
Mobil Raka berhenti melaju tepat di lobi
apartemenku. Sebelum turun, aku sempatkan menoleh ke Raka. “Pasti sampai, Rak.”
Aku membuka pintu mobil, sebelum
itu, aku berbisik, “Semoga kamu bahagia, ya, Rak. Nanti pamitin Langit, ya.
Kasian udah pules gitu.”
“Kamu juga, Na. Besok datang, ‘kan?”
“Aku usahakan.”
Aku turun dari mobil. Berjalan menuju
lift dan perlahan naik menuju lantai 36 tempat unit apartemenku berada. Begitu sampai,
aku meletakkan tas dan barang-barangku lain, lalu berjalan pelan, membuka pintu
menuju balkon, lalu ke luar.
Aku melihat lalu lalang kendaraan,
lampu-lampu gedung tinggi, dan keramaian kota yang tidak mampu aku hadapi lagi.
Udara di sini dingin. Nyaris seperti beku.
Setia
sampai mati tapi ditolak berkali-kali.
Aku semakin mencengkeram pembatas
balkon sampai baku-baku jariku memutih. Tak bisa kurasakan apa-apa. Aku
memejamkan mata. Pedih ... pedih sekali.
Pelan-pelan, aku meloncati balkon
ini, Terjun bebas. Memejamkan mata. Merasakan udara dingin menusuk-nusuk tubuh
patah hatiku, tubuh matiku.
Cukupku,
sampai di situ.
Cintara
...
Komentar
Posting Komentar