Sriwedari
Dua orang.
Di kereta. Satu gerbong. Berhadapan.
Semula, tak
ada yang bicara.
Aku mencoba
tetap fokus pada buku yang kubaca, sambil sesekali memegang gelas styrofoam berisi kopi. Mengabaikan pria
yang mengenakan jaket biru di depanku. Pria yang memerhatikanku seperti mencoba
memastikan sesuatu. Pria yang kukenal, juga pria yang tak ingin kutemui.
Sudah
nyaris sepuluh tahun yang lalu aku tak bertemu dengannya dan yang kupilih
adalah pura-pura melupakannya. Pria ini berhubungan terlalu banyak dengan
kenangan di masa laluku. Masa lalu yang terkubur jauh di belakang. Masa lalu
yang dulu pernah punya nama. Masa lalu tempat aku pernah begitu bahagia,
bersama keempat sahabatku saat kami masih mengenakan seragam putih abu-abu.
Seabu-abu klir jaketnya. Yang membutakan mata dan membutakan hati, tapi membuat
ingatanku jauh lebih bising daripada suara mesin kereta.
Sialnya,
aku bukan manusia yang pandai pura-pura.
Sriwedari
dari Solo barangkali hanya butuh waktu satu jam menuju Jogja. Tapi, perkara
melupakan bukan matematika. Melupakan seperti filsafat yang tak habis di
pikirkan. Bukan statistika. Berhadapan dengan pria ini seperti menghitung
jumlah tak terhingga. Kenangan seperti itu, satu jam adalah satu juta menit.
Dan sudah sepuluh tahun aku berusaha melupakan satu juta itu. Aku hanya akan
buang-buang waktu jika terus bersikap acuh pada dia yang berusaha menarik
perhatianku ini.
Jadi,
“Aku inget
kamu, kok.”
Dia tertawa
lebar. Aku ikut tersenyum. Banyak hal dari pria ini yang masih begitu sama,
sampai-sampai hatiku terasa begitu sakit. Aku jadi bertanya-tanya, apakah dia
juga merasakan kegelisahan yang kurasakan? Dia terlihat baik-baik saja saat
melihatku. Mungkin, dia sudah baik-baik saja setelah sepuluh tahun berlalu.
Mungkin juga, dia bahkan tidak mengingat apapun lagi.
Sejujurnya,
aku tidak harus berpura-pura tidak mengenal pria ini. Pria ini berada di
barisan yang sama denganku. Berada pada satu garis nasib. Yang tersakiti, yang
tertinggalkan. Kami harusnya saling bahu membahu untuk menghadapi hidup. Tapi,
aku yang tolol ini justru menganggapnya sama buruk dengan masa lalu yang
seharusnya tertinggal jauh di belakang itu. Harusnya, setelah sekian lama aku
akan resisten pada kenangan seperti kuman resisten pada obat-obatan. Tapi, tidak
ada yang terjadi. Deskripsi soal bahagia mulai kulupakan. Selama sepuluh tahun,
aku kesakitan.
“Apa
kabar?” dia bertanya. Untuk menghargainya, aku menutup bukuku dan meletakannya
di sampingku.
“Baik-baik
saja. Kamu?” jawabku. Dia tersenyum lalu meraih sesuatu dari tas ransel yang
baru kusadari ada di samping kirinya. Aku terkejut menyadari sesuatu yang
diambilnya dari sana. Sekantung marshmallow.
Dia membukanya dan melahap satu lalu menelannya.
“Sama, aku
juga baik. Mau ke mana kamu?”
Dia sama
tidak baik-baik sajanya denganku.
“Ada
kerjaan di Jogja. Kamu sendiri? Kok dari Solo? Aku dengar kamu bukannya di
Semarang sekarang?” aku bertanya lagi.
“Iya, ada
kerjaan juga, sih, di Solo. Terus ada kosong gitu sampai lusa, jadinya bablas
ke Jogja sekalian. Lagipula ada orang yang dulu selalu maksa aku untuk ke Jogja
sama dia. Hehe,” dia tertawa, tapi ada getir dalam suaranya. Aku tahu pasti
siapa yang selalu memaksanya untuk ke Jogja itu. Wanita dalam masa lalunya, yang mungkin apa yang dia rasakan pada
wanita itu sama seperti apa yang aku rasakan pada pria di masa laluku. Wanita
yang mencintai Jogjakarta, wanita yang dicintainya, wanita yang pernah
mencintainya, wanita yang meninggalkanya, wanita yang menikahi orang lain.
Wanita yang barangkali sampai hari inipun tak bisa dilupakannya.
Ini seperti
melodrama yang menjijikan buatku yang benci dongeng. Tapi, melihatnya memakan marshmallow yang kenyal dan manis itu
seperti memutar film di otakku. Ada satu kenangan tentang salah satu jenis
permen itu. Ada satu kenangan yang begitu aku hindari, kenangan yang kukira tak
lagi membuatku sekarat hanya karena tak sengaja mengingatnya lagi. Tapi, rotasi
roll film itu terus bermain dalam kepalaku. Merepeat adegan yang sama berulang-ulang. Kami berlima, aku, priaku,
pria ini, wanitanya, dan seorang lagi. Ada tawa di sana. Dan pernah bagi kami
tawa berarti bahagia. Dan marshmallow
pada genggaman kami masing-masing, juga sekaleng soda. Kami pernah begitu
bahagia bersama sebelum kami saling membenci satu sama lain. Kami pernah saling
membutuhkan sebelum saling melupakan.
“I got it.”
Dia
tersenyum, lalu menyodorkan kantung marshmallow
itu ke arahku, “Makan. Ini pernah jadi favorit kita.”
Aku
menggeleng pelan, “Aku benci manis sekarang.”
Dia
mengernyit, tapi tanpa bertanya lebih jauh lagi, dia berkata, “Oke.”
“Sudah
sepuluh tahun sejak kita terakhir ketemu, ya?” dia melempar pandangan ke luar
jendela. Sawah dan gunung itu bisa saja memanjakan mata kami berdua lalu kami
akan melupakan perbincangan yang akan segera dimulai ini. Tapi, dia beralih
menatapku dan melanjutkan, “Mereka ... apa kabar?”
“Kalau yang
kamu maksud mereka itu ‘mereka’, mungkin mereka baik-baik saja sekarang.
Anaknya sudah besar, pasti, ya? Tapi, kalau yang kamu maksud mereka adalah kita
di masa lalu, well, tidak tahu.”
Aku sendiri
juga tidak tahu mengapa aku justru melayaninya membicarakan topik ini. Tapi,
aku merasa bahwa aku juga membutuhkan ini. Membutuhkan seseorang yang tahu
benar apa yang kurasakan, kemudian kami membagi luka kami masing-masing. Apa
yang kita rasakan setelah kita sama-sama ditinggalkan? Apakah dia bisa lebih
rasional daripada aku karena dia pria?
“Kamu siap
dengan perbincangan ini?” aku yang bertanya karena hampir selama lima detik dia
hanya terdiam menatapku. Mungkin, dia terkejut karena jawabanku terlalu
fenomenal buatku yang dikira takkan sanggup hanya untuk menyinggung topik ini.
Dia
menghela napas, “Sudah sejak lama aku menyesali sikapku sendiri. Aku harusnya support mereka dulu,” ujarnya.
“Mereka
berkhianat.” Ujarku singkat, padat, jelas, dan menusuk. Seperti bermain bola
voli, aku memberinya smash terhebat
yang bisa dilakukan umat manusia.
“Kalau
mereka berkhianat, berarti kita pasukan lari dari kenyataan?”dan dia juga
memberiku tangkisan yang sama hebatnya dengan smash-ku tadi.
Dia menelan
satu marshmallow lagi. “Mereka dicaci
banyak pihak dulu. Terutama wanitaku. Kita semua, sama sakitnya. Tidak adil
buat mereka kalau kita masih benci sama mereka sampai sekarang—“
“Aku tidak
benci mereka,”
“Kamu
dendam.”
“Aku merasa
bodoh! Aku merasa tertipu! Bukankah kamu juga?” aku berkata dengan bibir
bergetar. Dia menerawang lagi.
“Kita
sahabatnya, terlepas dari apapun yang terlah terjadi. Saat itu kita bersahabat.
Harusnya kita tidak pergi, tidak menghindar, tidak ikut mencaci mereka. Sepuluh
tahun ini, aku dirundung perasaan yang hebat. Dibanding sakit hati karena
pengkhianatan mereka, aku justru lebih merasa bersalah karena aku tidak ada
untuk mereka.”
Aku dan dia
sama-sama diam. Meresapi banyak hal. Ada banyak tanya di otakku, tapi jawaban
itu menggantung di langit. Dipajang semesta tanpa aku pernah mampu meraihnya.
Aku sendiri
bingung mengapa aku bisa setidak mampu itu memaafkan mereka. Seperti aku
berusaha melupakan semua yang terjadi di masa lalu, aku seharusnya juga berusaha
melupakan semua kesalahan yang pernah mereka lakukan.
Berharap
sama seperti menghitung banyaknya nol yang bisa diraih matematika. Terus
menerus ada dan tak berujung, tapi omong kosong. Sampai pada titik ini, aku
akhirnya menyadari bahwa aku hanya kesedihan yang terlalu sombong untuk
mengakui kerinduan. Aku tidak menyesali pertemuan, aku lari dari kenyataan.
“Aku datang
ke Jogja, bukan karena kebetulan,” ujarnya. Aku sadar dia sudah menghabiskan
nyaris separuh dari marshmallow di
kantungnya. “Mereka berdua tinggal di Jogja.”
Aku
menghela napas. Seharusnya, aku sudah bisa menduga hal ini.
“Perasaanmu
sekarang gimana, Dai?” tanyaku. Dia menghela napas berat.
“Aku masih mencintainya,
sampai seringkali aku merasa jadi pendosa yang mencintai istri orang lain dan
merasa masih memilikinya bahkan setelah sekian lama.” Jelasnya. Dia kemudian
beralih padaku, “Kamu sendiri?”
“Nggak ada
yang berubah, Dai. Sama sepertimu.”
Kami berdua
hening.
“Aku sudah
memaafkan dia, Kla. Bahkan jauh sebelum aku memaafkan diriku sendiri. Jauh lebih
mudah melupakan kesalahan Arista daripada berdamai dengan diriku sendiri yang
meninggalkannya dalam kondisi terburuknya. Aku menyesali banyak hal sebelum
akhirnya aku berani sampai ke titik ini. Aku berdamai, Kla. Aku sudah selesai
dengan tetek bengek rasa sakit. Kamu kapan, Kla?”
Laju kereta
melambat. Sebelum sempat menjawab pertanyannya, Sriwedari berhenti di Tugu. Aku
turun bersama dengan Dai dari kereta. Berjalan menuju pintu keluar utara, saat
itulah aku menemukan mereka. Arista dan ... Rafka.
“Dai!” suara
Arista.
Dai
tersenyum dan berjalan menuju mereka berdua. Langkahnya ringan dan dia tak
membawa beban. Aku mampu menemukan raut terkejut dari wajah Arista dan Rafka.
Tapi, Arista segera berlari dan memelukku.
Ketika aku
selesai memeluk Arista, Rafka juga berhambur memelukku. Barangkali, aku
mendadak menjadi seperti Afrodit yang datang ke pernikahan Psikhe dan Cupid.
Rafka
menatapku dengan sorot mata yang sama dengan yang aku ingat sepuluh tahun yang
lalu. Aku tersenyum balas menatapnya.
Dai
melirikku dan tersenyum. Seolah-olah dia paham bahwa aku berbisik dalam hati,
menyampaikan kata-kata yang tadi belum selesai aku ucapkan, bahwa, “Kalau aku
sekarang, Dai. Aku sudah memaafkan Rafka dan tentu diriku sendiri.”
“Mama, aku
mau siomay.”
Suara kecil
itu datang dari belakang Arista. Aku tersenyum menatap gadis kecil yang
kira-kira berusia sepuluh tahun itu. Gadis itu seperti duplikat Arista.
Aku berlutut
dan menyodorkan tanganku dan menyalami gadis itu, “Halo, nama tante Klara. Tante
temennya mama kamu. Nama kamu siapa?”
Dia
terkejut dengan tindakanku, tapi tidak segera malu-malu atau bersembunyi di
belakang Arista. Dia justru tersenyum dan mencium tanganku, “Halo, Tante. Nama aku
Klara juga.”
The right train of thought can take you to a better station in life. - Anonym
Wooh. Bagus....
BalasHapusWihii baru muncul. Terima kasih! :)
Hapus