Mica
1
“Jadi, ya, Tsaf, gue udah ubek-ubek
Gramedia seharian dan lo tahu apa yang akhirnya gue temukan?”
Rumaisa—selanjutnya panggil aja cewek aneh ini Mica biar gampang—sambil
menggoyang-goyangkan buku bersampul pink
norak dengan wajah super bahagia. “Taktik Mendapatkan Cowok Cuek (Akurat
Sepanjang Masa). Gue girang banget masa akhirnya gue bisa tahu caranya dapetin
Nico!”
Sementara Mica masih sibuk
berceloteh aneh soal buku ajaib yang entah dia dapatkan di rak bagian mana di
Gramedia itu, gue fokus sama buku yang jauh lebih berguna; Harry Potter and The
Order of Phoenix yang kesejuta kalinya gue baca. Well, setidaknya lebih menyenangkan membaca kisah cinta Harry sama
Cho yang walaupun kandas tetap lebih asoy daripada menyimak kisah cinta
searah-dan-itupun-nyasar-dan-sampai-kapanpun-nggak-akan-sampai-nya Mica.
Gue tahu banget Mica naksir berat
(nyaris tergila-gila kalau tidak mau disebut sinting) sama Nicolas Rafid. Kakak
kelas Mica dan gue yang katanya paling ganteng seantereo SMA Pembangunan ini.
Hampir setiap detik Mica ngomongin cowok yang udah jelas nggak naksir dia itu
dan hampir setiap detik juga Mica berusaha untuk setidaknya merebut perhatian
Nico, yang jelas saja gagal.
“Tsafier! Lo dengerin gue nggak sih,
Kampret?” gue tidak sadar kalau Mica sudah selesai dengan kelakar panjangnya
soal buku itu. Membuat gue segera mengalihkan pandangan dari buku itu ke Mica.
“Nggak keseluruhan, tapi intinya gue
ngerti.”
Mica mendelik, “Apa?”
“Ya lo masih mau merjuangin Nico
yang antah berantah itu, ‘kan?” kata gue, kali ini sambil kembali membaca.
“Lo mah selalu nggak asik gitu kalau
diajak ngomongin Nico.” Ujar Mica sambil cemberut. Gue menutup buku, lalu
berdiri.
“Udah ah, balik kelas yuk?” kata
gue. Mica mendengus kesal.
“Dasar cowok nggak peka!” teriak Mica,
sambil bersunggut-sunggut tapi tetap aja mengikuti gue. Gue tersenyum lalu
geleng-geleng. Kemudian, gue menghela napas.
Yang nggak peka tuh lo, Ca.
2
Mica naksir Nico sejak kita pertama
kali masuk SMA Pembangunan ini. Mica yang gue kenal sangat anti-mainstream,
tiba-tiba kasih kabar ke gue kalau dia naksir Nicolas Rafid yang fenomenal.
Nico yang ganteng lah, Nico yang pintar lah, Nico yang eksis lah, Nico yang
juara olimpiade lah, Nico yang keren lah, Nico yang ini dan Nico yang itu. Gue
tidak tahu apa yang terjadi sama Mica sampai dia bisa jatuh cinta sama cowok
yang dicintai sama banyak cewek ini, sangat aneh dan sangat tidak Mica.
Sahabat gue ini pernah pacaran
sekali, sama atlet tinju tapi entah kenapa suka banget warna peach dan doyan lipstikan atau apalah
itu yang bikin bibir meling-meling. Itu adalah pacar pertama Mica waktu kelas
tiga SMP dan juga pacar teraneh nan menjijikan Mica. Namanya Baham, dua tahun
lebih tua dari Mica, dan putus dalam waktu satu bulan saja.
“Habis gue pacaran sama cowok kontradiksi. Ya lo pikir aja, ya, Tsaf, tiap mau tanding tinju dia musti
pakai lipbalm dulu! Walaupun dia
keren juga sih, kalau lagi tinju. Tapi, ‘kan, ya mau dia pakai lipbalm dari surgapun nggak akan ngaruh
sama pertandingannya, ‘kan?” gue yang diceritain begitu cuma bisa ngakak sampe
bego dan baru berhenti ketika Mica sumpel gue pakai Lays sampai gue keselek.
Setelah sembuh, gue ngakak lagi.
Ada juga cowok yang ditaksir Mica.
Cowoknya biasa aja, sih. Yang gue syukuri adalah dia bukan atlet tinju nan
doyan lipstikan. Tapi, sialnya, ternyata dia kalau makan bunyi kenceng banget.
Kunyah dikit, ceplak ceplok, kunyah
lagi, bunyi lagi. Sampai akhirnya Mica dan gue yang waktu itu lagi makan
bertiga karena niat Mica mau kenalin gebetannya, akhirnya menyerah karena gue
super jijik. Berimbas pada Mica juga yang tidak melanjutkan hubungannya dengan
cowok itu. Selain Baham dan cowok ceplok, rasanya udah, deh.
Makanya, ketika awal Mica naksir
Nicolas yang sangat wajar gue jadi bingung.
“Mana gue tahu, tiba-tiba aja gue
naksir sama Nico. Nggak boleh, ya, gue naksir cowok yang wajar gitu?”
Yaelah,
Ca, boleh lah. Yang nggak boleh itu, nggak peka.
Ingin rasanya gue teriakin ke kuping
Mica kalimat itu, tapi cuma berani dalam hati doang. Karena seburuk apapun
kemungkinan yang bisa terjadi seandainya gue bilang hal itu ke Mica, gue hanya
menghancurkan segalanya. Hati gue, dan tentu saja hati Mica.
Ngomong apa dah gue.
3
“Jadi, ya, Tsafiero Putra, hari ini
gue merelakan waktu gue untuk bobo manja di hari minggu dalam rangka
mendiskusikan proyek masa depan gue merebut hati Nico dipandu buku termashyur
ini!” gue melongo ketika tiba-tiba Mica sudah duduk di kasur gue di minggu yang
mengasyikan ini dengan piyama gambar popeye kebangsaannya. Rumah dia memang
dekat banget sama rumah gue dan nyokap gue memberikan akses penuh ke kamar gue
buat dia yang sampai saat ini sebenarnya tidak pernah gue setujui. Dia memeluk
buku Taktik Mendapatkan Cowok Cuek (Akurat Sepanjang Masa) itu sambil kakinya
dia pake untuk bangunin gue.
“Ca, please, gue butuh banget bobo. Semalem gue selesain tugas Ekonomi
sampai dini hari dan gue beneran pingin
males-malesan.” Gue menyingkirkan kakinya dari muka gue dan menarik selimut
lagi.
Mica tidak menyerah. Ia meletakkan
buku pink najis itu di meja belajar gue lalu, berjalan ke ujung ruangan,
mengambil ancang-ancang lalu ...
“STOP! Nggak usah adegan
koboi-koboian! Gue bangun!”
Mica tersenyum lalu berjalan ke arah
gue yang kini sedang mengucek-ucek mata. Dia lalu naik ke ranjang gue dan tanpa
berdosa menggeser gue sampai ke pinggir kasur.
“Jadi, Tsaf, yang gue tahu dari buku
ini tuh ada lima tahap yang harus gue lakukan untuk mendapatkan kakak kelas
cuek. Yang pertama, jadi diri sendiri.” Mica berdiri lalu menghampiri kaca
kecil di ujung kamar gue.
“Gue nggak operasi plastik, berarti
gue udah jadi diri gue sendiri, ‘kan, ya?” Mica kembali ke ranjang gue lagi.
“Gila.”
“Yang kedua, pastikan kalau dia
masih jomblo.” Mica terdiam beberapa detik sambil berpikir. Gue memerhatikan dia
sambil deg-degan. “Dia jomblo.”
“Yakin amat?”
“Insting singa lah! Dia, ‘kan, nggak
pernah jalan sama cewek!”
Gue mengendikan bahu sementara Mica
kembali membaca buku aneh itu.
“Tiga, kepo jejaring sosial doi,”
Mica mengerutkan dahi. “Ini mah setiap hari!”
Gue tersenyum melihat tingkah konyol
Mica. Lalu, menghela napas. Gue bahagia kalau Mica, sahabat yang gue sayangi,
bahagia. Tapi, gue tidak menyangka kalau rasanya bakal sesesak ini. Gue
mendadak merasa menjadi sahabat yang jahat.
“Keempat, cari perhatian dia.” Mica
menatap gue dengan pandangan asing. “Cari perhatian caranya gimana, ya?”
Gue balas menatap Mica. “Udahlah,
Ca, nggak usah aneh-aneh.”
“Kan gue belum bilang gue mau
ngapain,” ujar Mica.
“Makanya itu, ini tindakan preventif
biar lo nggak ngapa-ngapain. Biarin aja semua berlangsung realistis, lah. Nggak
usah aneh-aneh segala.” Kata gue akhirnya.
“Nggak ada harapan buat gue, ya,
Tsaf, buat dapetin Nico?” tanya Mica.
“Ada, dong.”
“Terus?”
“Apanya yang terus?”
“Cari perhatian caranya gimana?”
Gue mengacak-acak rambut Mica. Nggak
lembut kayak di film-film, tapi kasar karena gue betulan frustasi menghadapi
anak ini.
“Coba, langkah yang terakhir apa
deh, siapa tahu lebih gampang.” Simpul gue akhirnya. Mica menurut, lalu membaca
langkah terakhir.
“Yang kelima, ungkapkan perasaan,”
Mica diam lama sekali. Lalu akhirnya, meluk gue. “Kayaknya yang satu ini harus
gue lakuin deh. Gue balik dulu, yah, Tsaf, mau siap-siap buat besok. Lo boleh
bobo lagi deh. Baaai!”
Mica turun dari ranjang gue lalu
langsung lari ke luar kamar. Di luar, gue dengar dia ngobrol sama nyokap gue
sambil kegirangan dan nyokap gue membalas dengan kegirangan yang sama. Gue
yakin Mica udah cerita semuanya ke nyokap gue. Membuat gue jadi merasa tidak
didukung.
Gue mengambil ponsel sambil berdesis
mampus tujuh ribu kali.
4
Pagi-pagi, gue berangkat bareng sama
Mica yang entah kenapa hari ini bersinar seperti habis mandi di surga.
Berbanding terbalik dengan gue yang lesu karena memikirkan hari ini, hari di
mana Mica akan mengungkapkan perasaannya ke Nico.
Gue kacau.
Gue sama sekali nggak tahu apakah
gue berjalan atau ngambang hari ini. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang
bisa saja terjadi hari ini membuat hati gue semakin tidak karuan. Gue takut
akan kenyataan yang bakalan gue hadapi hari ini.
“Eh!” gue sadar bahwa gue telah
menabrak seseorang saat suara bariton itu teriak dan mengaburkan lamunan gue.
Saat gue mendangak, gue semakin kaget karena cowok yang gue tabrak adalah Nico.
Mica langsung mendelik dengan wajah
persis sama seperti yang ditunjukan Ginny Weasley waktu liat Harry Potter di
film kedua. Tapi, dia segera menguasai diri dan meminta maaf pada Nico.
Sementara gue bergeming.
“Maafin Tsafier, Kak Nico. Dia lagi
stress aja hari ini, maaf, ya, Kak.”
Tak disangka, Nico menarik kakinya
dari injakan kaki gue ... SIALAN! Gue beneran baru sadar gue menginjak kaki
dia. Gue langsung berdiri di belakang Mica dan pura-pura mati.
“Nggak apa-apa, kok, Mica. Lain kali
hati-hati, ya, Tsafier.”
Lalu, Nico berlalu meninggalkan gue
yang shock dan Mica yang kegirangan karena menyadari bahwa Nico tahu namanya.
Tanpa sadar bahwa Nico juga tahu nama gue.
“GILA! SINTING! DIA TAHU NAMA GUE!
BEGO! GUE HARUS GIMANA?”
Mica mengungkapkan kata-kata itu
sambil berlari-lari ke kelas. Sementara gue teringgal jauh di belakang tanpa niat
untuk ikutan lari. Gue menyeret kaki gue, berjalan super pelan berharap, kalau
aja gue bisa mengendalikan hati gue dengan mantra imperius, mungkin segalanya bakalan gampang.
5
Sekarang jam 15.00 habis pulang
sekolah gue sembunyi di balik tembok kantin, menunggu Mica yang akan memulai
aksi kontroversial untuk mengungkapkan perasaan ke Nico. Gue tidak mengerti
gimana caranya Mica berhasil ajak Nico ketemu di kantin dan sekarang mereka lagi
duduk berdua berhadap-hadapan, dengan wajah tolol Nico dan muka super grogi
Mica.
Dan gue dengan muka kolaborasi
keduanya.
Gue memutuskan untuk tidak menyimak
apa yang mereka bicarakan dengan jongkok di balik tembok kantin. Gue takut. Sangat
takut kalau apa yang terjadi hari ini bakal menghancurkan segalanya. Gue bersandar
di tembok yang penuh lumut dan coret-coret gambar aneh buatan kakak kelas
maupun angkatan gue sambil menghela napas. Harusnya, gue harus tahu resiko dari
semua ini sejak awal.
Sambil terus menyimak arloji, gue
tetap pada posisi yang sama. Sampai akhirnya gue sadar kalau posisi begini
tidak baik untuk kesehatan betis dan pantat gue, gue akhirnya bangun dan sadar
kalau ada suara langkah kaki mendekat ke arah gue. Langkah kaki Mica.
Dia berdiri di depan gue. Mica
menangis.
“Gue ditolak. Dia udah punya pacar.”
Mica menangis semakin keras sementara gue maju untuk memeluk dia. Gue sudah
tidak peduli ingus dia bakal mengotori seragam putih gue, yang gue pedulikan
bahwa gue hanya perlu menenangkan dia. Gue meraih ponsel dari saku dan mengetik
nomor ponsel nyokap gue untuk menjemput Mica.
“Ca, balik yuk? Gue antar ke depan
ya?”
Mica tidak bergerak. Membuat gue
memutuskan untuk menggendong cewek itu dan membawanya keluar. Di jalan menuju
gerbang, Mica cuma menangis. Gue tidak seratus persen yakin apa yang sedang gue
rasakan sekarang ini apa.
Sepuluh menit menunggu, nyokap gue
datang.
“Mama bawa Mica, ya? Aku ada urusan.”
Kata gue. Nyokap gue heran, tapi iya-iya aja karena dia tahu bahwa Mica
menangis di situ. Gue yakin dia lebih peduli dengan Mica yang menangis daripada apa yang menjadi urusan
anaknya saat ini.
Begitu mobil nyokap gue menjauh dari
pandangan, gue berbalik ke belakang dan menemukan seseorang.
Nico.
“Seperti yang lo suruh.” Ujar Nico. Gue
menatap dia tajam.
“Gue nggak menyuruh lo buat bikin
dia nangis!” gue teriak.
Nico balas menatap gue tajam, gue
bahkan merasa tatapan dia lebih menusuk. “Seperti yang lo suruh, gue tidak
bilang ke dia tentang hubungan kita!”
Gue terdiam mendengar kata-kata
Nico. Betul, gue memang menyuruh Nico untuk tidak berkata apapun soal gue dan
Nico ke Mica. Gue memang menyuruh Nico untuk tetap bungkam sama Mica kalau gue
dan Nico pacaran. Gue hanya tidak menyangka bahwa hal tersebut akan sangat
menyakiti Mica. Gimana kalau dia tahu bahwa pacar yang Nico ceritakan itu
adalah gue? Sahabatnya sendiri?
“Tsafier, gue sudah melakukan semua
yang lo minta. Gue tidak bermaksud menyakiti Mica, tapi gue juga tidak bisa
menyangkal diri gue sendiri.” Nico mendekat ke arah gue, menyentuh tangan gue.
Jemari dia terasa beku, membuat gue jadi merinding.
“I
do love you.” Bisik Nico. Gue menunduk menggigit bibir. Sialan cowok ini.
Sialan!
“Gue harus apa?” bisik gue bergetar.
Nico memeluk gue, memaksa gue tenggelam ke pundaknya.
“Lo harus tetap di sini,” Nico balas
berbisik.
Dan gue menurut. Gue tetap di sini,
di bawah pelukan Nico, pacar gue, juga cowok yang dicintai sahabat gue. Tidak
berusaha pulang maupun menghubungi Mica, karena jauh di dalam hati gue sendiri,
gue juga ingin egois. Gue menenggelamkan diri ke dalam pundak Nico, memejamkan
mata, berusaha tidak menangis di sana.
Maaf, Ca, gue tidak pernah bermaksud
menyakiti lo. Gue hanya tidak tahu gimana caranya bilang ke lo, bahwa sejak
awal, ini bukan kompetisi. Bahkan seberapa keraspun lo mencoba untuk dapetin
Nico. Maaf, Ca, dua cowok brengsek yang lo sayangi ini, kerja sama buat
menyakiti lo dengan cara yang sangat kotor.
Nico membelai rambut gue,
seolah-olah dengan begitu, seluruh beban dan pikiran gue lenyap.
Komentar
Posting Komentar