Hidup Seperti dalam Snow Queen
Waktu bekerja sebagaimana angin
bekerja. Cepat, tak terlihat, dan tak terkendali. Membawa pertemuan dan
kepergian turut serta, menyembuhkan dan menyakiti dalam waktu bersamaa. Juga,
membawa harapan hidup di ambang hidup dan mati. Waktu membuat kita menyadari
bahwa seringkali kita juga harus tertawa untuk hal-hal yang serius.
Jika dipikir ke belakang, kita yang
hidup di waktu sekarang ini akan terasa tidak masuk akan bagi diriku tiga tahun
yang lalu, yang bahkan tidak menyadari bahwa ada mahluk seperti dirimu yang
hidup di dunia ini, menghirup udara yang barangkali berasal dari pohon yang
sama dengan yang kuhirup. Bahkan, diriku sebelas bulan yang lalu pasti akan
mengira ini mimpi. Benar, sebelas bulan yang lalu. Ingatkah kau, Tuan?
Sebelas bulan yang lalu, aku pernah
mengemis pada Tuhan untuk mengembalikan seseorang. Sebelas bulan yang lalu, aku
pernah rela menukar apapun asalkan seseorang tidak pergi. Sebelas bulan yang
lalu, aku tahu rasanya mati suri karena kehilangan yang begitu membunuh.
Sebelas bulan yang lalu, keadaan tidak sebaik-baik saja hari ini. Sebelas bulan
yang lalu, aku lebih memilih memejamkan mata dan menghadapi kekosongan
beruntun, daripada membuka mata lantas mendapati kenyataan bahwa kau tidak ada.
Tuan, jika aku boleh mengatakan satu
hal saja padamu, aku ingin mengatakan betapa aku bersyukur bisa mengenalmu. Aku
benar-benar bersyukur itu kau. Seandainya kau orang lain, aku yakin segalanya
tidak akan sama dan aku tidak akan sebersyukur ini. Terlebih, karena Tuhan
telah mengembalikanmu, memberiku pelajaran dan pengalaman; bahwa sesuatu yang
penting harus selalu dijaga.
Ketika aku menulis ini, aku tidak
tahu apa yang sedang kurasakan. Aku sedang depresi karena deadline tulisan tinggal beberapa jam lagi dan aku masih belum
menulis satu kalimatpun. Aku hanya, tiba-tiba saja terpikir satu hal yang
membuatku berhenti memikirkan tentang tulisan dan membuka lembar kerja Ms. Word
baru. Aku bertanya-tanya, jika sejarah selalu berulang, akankah aku siap
kehilangan kamu lagi?
Waktu ternyata tak hanya
memberitahuku bahwa setiap detik, semua hal di dunia ini bisa berubah. Waktu
juga mengajariku bahwa satu hal yang harus kita lakukan adalah dengan
menghadapi dan menerima perubahan itu. Tapi, benarkah aku siap jika kamu harus
pergi?
Setelah cukup lama berpikir, aku
tahu bahwa seberapapun banyak pengalaman yang kudapatkan sebelas bulan lalu,
sesembuh apapun lukaku sekarang, sekering apapun bekasnya kini, aku tidak akan
siap kehilangan kamu lagi. Aku tahu rasanya dan aku benar-benar tidak ingin
menyentuk rasa sakit semacam itu lagi. Rasa sakit karena kehilangan kamu. Aku
benar-benar tidak ingin kehilangan kau lagi.
Diriku sebelas bulan yang lalu
begitu menginginkan hari ini. Dan, haruskan aku yang kini kembali lagi menjadi
diriku sebelas bulan yang lalu? Yang tolol, yang sedih, yang ketakutan, dan
yang tidak tahu bagaimana caranya hidup setelah paru-parunya bahkan menolak
udara.
Tuan, mungkin ini sangat
melodramatis bagimu, tapi aku benar-benar setakut itu kehilangan kamu lagi.
Rasanya seperti mimpi bisa meraihmu kembali dan aku semakin yakin ini mimpi
karena ini benar-benar nyata. Aku bersyukur hari ini terjadi, dan aku
benar-benar takut jika aku harus kehilangan kau lagi.
Mungkin Tuhan bosan mendengar
ceritaku yang melulu itu. Tapi, andai saja kau bisa melihat hatiku, perasaanku,
mungkin kau akan mengerti mengapa aku begitu takut. Kenyataan yang semacam ini
bisa secepat kilat dibolak-balik waktu dan aku tidak pernah bisa siap
menghadapi kehilangan meski aku sudah berkali-kali merasakannya.
Tuan, kamu pernah membaca dongeng
karya Hans Christian Andersen yang berjudul Snow Queen? Waktu seperti Snow Queen sementara aku adalah
Gerda dan kau adalah Kay. Jika kita dalam dongeng itu, akankah aku bisa
menyelamatkanmu dari waktu, seperti Gerda bisa menyelamatkan Kay dari Snow
Queen?
Hidup memang tidak seperti dongeng.
Tapi, hidup bisa lebih indah dari dongeng. Perjalananku membawaku sampai pada
titik yang menyeramkan ini. Tentang sakitnya kehilangan padahal tidak memiliki.
Seringkali, meski kita harus tertawa pada hal-hal yang serius juga, di sisi
lain ada candaan yang tak bisa kita tertawakan. Seklise patah hati dan
kepergian, rasa sakit tak akan pernah sebercanda itu.
Jangan pergi lagi, Tuan. Bahkan jika
keadaan tak lagi mudah untuk kita. Bahkan jika kenyataan terlalu tolol untuk
kita perjuangkan. Jangan pergi meski ada ribuan alasan yang memaksamu untuk
melakukannya. Jangan pergi lagi. Karena rasanya mematikan.
Jangan pergi lagi. Aku mohon.
Komentar
Posting Komentar