Pamit

            Untuk kali ini, cukup kita bermain kucing-kucingan lagi, Tuan.

            Berkali-kali kita berpisah, bertemu, berpisah, dan tetap saja tak ada yang berubah. Aku benci pada diriku sendiri karena tidak bisa melupakanmu, tapi aku jauh lebih benci lagi kalau aku tidak berusaha untuk melakukannya. Sudah terlalu lama, kali ini biarkan hatiku bebas terjaga dan menunggu penghuni lain yang cukup nekat untuk mendobrak pintunya.

            Aku bukannya mudah menyerah atau apa—bebaslah kau berpresepsi tentangku, tapi kini tak kutemukan bahagia pada kita. Posisiku terganti, posisimu terganti, dan kita tidak perlu memaksakan diri memulai hal-hal yang sudah lama berakhir ini. Aku muak mencari pembenaran pada hubungan yang sejak awal salah ini, Tuan. Perasaanmu dan perasaanku adalah bentuk kenaifan kita pada kenyataan. Aku tidak mau menjadi orang yang bebal. Aku ingin melihat dunia dengan realitanya secara apa adanya.

            Kau mungkin bisa, tapi aku tidak. Berpura-pura seolah tidak terjadi apapun di antara kita. Tetap berteman, menjalani persahabatan tolol ini menjadi sebuah formalitas yang telah kita atur sedemikian rupa, menjalankan segala sesuatunya secara sistematis. Aku merasa lucu. Bahwa masing-masing dari kita bahkan sudah menolak percaya bahwa sahabat itu ada, lantas apa yang sekarang tengah kita jalani?

            Maka dari itu, malam ini aku serius pamit undur diri atas semua rasa yang tidak bisa dipertanggungjawabkan pada siapapun. Aku tidak mampu lagi bersikap seolah aku baik-baik saja diabaikan kamu dan kamu tidak masalah dengan sikap dingin yang belakangan sering kuberikan. Aku benar-benar lelah. Berpura-pura tidak tahu bahwa semua sudah banyak berubah. Aku bukan manusia primitif yang menolak perubahan. Karena sepedih apapun, aku percaya bahwa perubahan selalu membawa kebaikan.

            Terima kasih. Hadirmu sempat membawa begitu banyak arti meski seberarti apapun itu pasti kelak akan menjadi tidak berguna juga. Cukup aku bersikap munafik beberapa minggu belakangan ini. Karena, sejujurnya, aku tidak bisa mempercayakan hatiku lagi pada seseorang yang dulu dengan terang-terangan menghancurkannya. Seorang pembunuh tak akan mampu menghidupkan kembali. Bebas analogiku, tapi sulit tidak membentengi diriku sendiri, membuat jarak denganmu, karena aku bahkan tidak mengerti mengapa aku mau kita berteman lagi. Rasanya, ketololanku kemarin, tulisan-tulisan yang beraroma kesedihan ... tidak cukupkah alasan untukku mundur?

            Bahwa kini hatimu tak lagi kosongpun, aku tahu. Aku mengenalmu dan terlalu munafik rasanya untuk menampik kenyataan itu. Dan hatiku tak lagi kosongpun, aku yakin kamu juga tahu. Kehadiran pria itu ketika kamu pergi lama dulu ternyata mampu mengisi labirin-labirin kosong hatiku. Tidak apa-apa. Kita sudah dewasa dan kita berhak mengatur hati kita sendiri.

            Bukan salahmu, bukan salahku, bukan salah siapa-siapa. Tak ada yang perlu kamu pidanakan atas kasus perpisahan ini. Aku berterima kasih karena kamu sudah datang meski akhirnya tebakanku bahwa kamu bukan orang yang akan meninggalkan salah besar.  Kamu adalah bagian dari barisan pemberi pelajaran. Kamu yang sempat menetap memberiku begitu banyak pengalaman sehingga mampu mengambil keputusan seberani ini.

            Ah, aku lega.

            Malam ini, surat perpisahan ini harus kulayangkan ke mana? Sebelumnya selalu kualamatkan ke hatimu, karena kini penghuninya sudah ganti, haruskah kualamatkan pada debur ombak pantai di dekat rumahmu sana? Mungkin, iya. Aku juga takut untuk mengirimkannya ke hatimu lagi. Selain usang, tempat itu mencekam. Setidaknya karena kini bukan milikku lagi.

            Terima kasih, Tuan. Maaf atas keputus asaanku menghadapi sikapmu. Maaf karena aku menyerah duluan. Tapi, kita tidak sedang berkompetisi atas apapun. Kita juga tidak sedang berperang. Jadi, bukan masalah,’kan?

            Terima kasih banyak. Terima kasih atas pengalaman yang tak terkira harganya ini. Aku sedang dalam perjalanan menuju masa depan, semoga kamu juga lekas menuju masa depanmu sendiri. Well, yang tanpa aku tentu saja. Mimpi kita dulu, lupakan saja. Aku juga sudah tidak memikirkannya. Maaf juga atas sisa-sisa hari yang kita habiskan dengan air mata. Kini, kau punya hati yang harus dijaga dan itu bukan hatiku.

            Selamat tinggal.

            Atas perhatian Tuan, saya ucapkan terima kasih.

             Batang, 05 September 2016


Komentar

What's most