Sepuluh Menit di Sudut Bar
Semarak mulai menyepi. Lampu
dimatikan, pintu ditutup, tapi aku masih belum beranjak dari tempatku duduk.
Sudut ruangan bar ini punya view yang
menyenangkan. Atau, mungkin karena kebetulan saja posisinya strategis. Terserah
apa alasannya, tapi dari sudut tempatku duduk ditemani gelas bir yang sejak
satu jam lalu tak kusentuh, aku bisa dengan jelas memerhatikan dia.
Aku bukan peminum. Bisa dihitung
jari aku menyesap wine maupun vodka atau hanya segelas bir seperti
yang kupesan malam ini dalam seumur hidupku. Tapi aku suka bar. Hiruk pikuk dan
sepi yang berkolaborasi membuat bar seperti surga buatku yang benci ramai tapi
takut sunyi. Pegawai bar itu bahkan hapal aku. Dia tahu aku lebih senang
menikmati suasana bar daripada mabuk oleh berbotol-botol alkohol.
Tapi, beberapa malam belakangan,
selain bar, aku punya suasana lain yang bisa dinikmati.
Ini sudah gelasnya yang kelima,
sebentar lagi mungkin dia mabuk. Aku masih memerhatikannya, sembari sesekali
menyentuh gelas bir milikku. Aku dan dia memesan minuman yang sama, tapi aku
tahu dia memang sengaja minum untuk mabuk. Terbukti betapa brutalnya dia
menghabiskan hampir satu botol bir ukuran sedang. Dia menaruh lagi birnya
kegelas. Birnya habis.
“Bosse,
tambah lagi!”
Aku mendengarnya berteriak ke
bartender yang langsung menyiapkan botol bir selanjutnya. Dalam hati, aku
khawatir. Aku membayangkan bahaya apa saja yang bisa menyerangnya ketika mabuk.
Apakah dia menyetir? Kemungkinan kecelakaan untuk pemabuk bertambah berpuluh
persen daripada pengemudi biasa. Atau dia jalan kaki? Kau akan menemui jembatan
besar dan dibawahnya ada sungai dengan arus paling deras di kota ini, ketika
keluar dari gang bar ini, belok kiri lalu lurus seratus meter. Aku berpikir
berapa persen kemungkinan dia akan terjun bebas ke bawah sana, terbawa arus,
lalu mati. Aku terkekeh geli. Aku tidak mabuk, tapi kemampuan berhalusinasiku
mungkin lebih tinggi dari manusia yang menghabiskan dua botol vodka.
Aku menyalakan rokok. Hal lain yang
membuatku menyukai bar adalah bahwa aku bebas merokok di sini. Aku tidak pernah
merokok di manapun selain di tempat ini. Stigma masyarakat tentang perempuan
merokok membuatku terpaksa menahan asam yang menyerang lidah saat berkumpul
bersama teman-teman kantorku, keluargaku, maupun di tempat-tempat yang boleh
merokok.
Sambil terus memerhatikan dia, aku
mengembuskan asap rokokku. Pria itu kira-kira pertengahan dua puluh tahun. Dia
punya kantung mata—sedikit lebih parah dari milikku. Dia memakai kemeja putih
yang acak-acakan dan dasi merah yang tidak rapi melingkari lehernya. Tipe
pekerja keras. Karyawan perusahaan metropolitan; meninggalkan rumah pukul
tujuh, terjebak macet, dimarahi atasan, pekerjaan yang menumpuk, dan pulang
petang. Dan, jangan tanyakan soal lembur. Dia jenis manusia yang mudah
ditebak—tapi dapat kuprediksi sorot ramah dari raut wajahnya yang teduh.
Lagi. Rambutnya acak-acakan, lebat
cenderung ikal. Bukti bahwa dia sudah tidak menyisir itu selama satu hari ini. Lengan
kemejanya dilipat sampai siku. Di meja tempat ia duduk, diletakannya ponsel dan
satu pak rokok. Tipe orang yang terbuka. Dan, wah, dia punya rokok tapi tidak menyentuhnya sama sekali.
Seolah-olah gelas bir yang kini berada di genggaman tangannya tak tersaingi
apapun.
Apa lagi? Oh, alasan dia mabuk berat
malam ini. Pekerjaan kantor menumpuk? Dimarahi atasan? Dipecat? Patah hati?
Diputuskan pacarnya? Diceraikan? KDRT?
Damn,
aku penasaran.
Temanku bilang, aku orang yang
dingin. Beberapa lagi takut pada sikap diamku yang seringkali keterlaluan.
Tapi, malam ini, aku baru saja memikirkan sebuah ide aneh. Sambil mematikan
rokokku yang sebetulnya masih cukup panjang, aku mengumpulkan tekad. Tekad yang
kemudian menggelambir, mengalahkan nikotin yang cukup penuh mengisi
paru-paruku.
Aku mau mengajaknya berkenalan.
Kenalan.
Kelihatannya keren.
Aku memerhatikan kondisi sekitarku.
Lalu, tanpa membawa tas pun pak rokokku, aku berjalan menuju mejanya. Begitu
sampai, dia terlihat menatap gelas kacanya yang kosong. Saat aku duduk di kursi
di hadapannya, dia menatapku. Entah terkejut entah kaget entah bingung. Tapi
aku sudah tidak peduli.
“Ya?” dia bicara. Aku tidak berniat
menjawab dua huruf yang barusan dia ucapkan itu. Aku mengambil rokok dari pak
miliknya. Menyalakannya dengan pematik api yang kusimpan di sakuku. Dia
kelihatan makin bingung. Syukurlah, dia belum terlalu mabuk.
Aku menyodorkan rokok yang barusan
kusesap ke padanya, “Coba.”
“Apa?”
Aku menyodorkan black menthol itu semakin dekat ke arahnya. Tangan kiriku yang
kosong meraih gelas bir dari tangannya lalu meletakannya di atas meja. “Rokokmu
akan menangis karena cemburu, Bosse.”
Aku meniru caranya memanggil bartender tadi.
Menyadari itu, di tersenyum sekilas
lalu meraih gelas birnya lagi dan menghabiskan seluruh isinya, “Saya tidak
berminat one night stand.”
Aku tergelak, dia tampak bingung.
Aku tahu mungkin aku lebih tampak seperti pelacur yang sedang menawarkan diri
atau wanita kesepian yang butuh belaian tapi, “Im not. Saya juga nggak sedang menawari kamu untuk one night stand.” Jelasku di antara
derai tawa. Aku menatap matanya—cokelat tua. Mencari-cari celah dalam dirinya
yang bisa kususupi.
Biar kuberitahu satu hal.
Seringkali, kenyamanan hanya hadir dalam sepuluh menit pembicaraan.
Coba kita buktikan.
“Hari ini beratkah, Bosse?” tanyaku. Dia terpekur, tak
segera menjawab pertanyaanku. Lalu, ia meraih rokok yang abunya terjatuh
mengotori meja. Ia menyesapnya.
Sumpah, aku terkejut.
“Saya terlihat seperti orang yang
kacau, ya?” dia mengembalikan rokok itu. Aku menyesapnya, lalu menyerahkan
rokok itu padanya lagi.
“Tidak juga. Dibanding kacau, Anda
lebih terlihat seperti orang yang ... well,
butuh bicara?” dia terlihat membuang abu di asbak, lalu menyesap batang itu
lagi. “Saya sok tahu sekali, ya?”
“Iya.” Dia menyerahkan rokok itu
kepadaku lagi. Aku jadi mulai menikmati permainan estafet rokok ini. Dia juga
tidak setegang tadi menghadapi gadis-asing-perokok yang tiba-tiba, entah karena
sebab apa ini, mengajaknya berbincang sembari berbagi batang black menthol.
Oke. First imperession darinya; aku sok tahu.
“... tapi, tidak masalah, sih. Saya
suka wanita agresif.” Katanya—tertawa. Aku tersenyum miring sebelum menyerahkan
rokok itu padanya.
“Hari ini, bar sepi,” kataku.
“Begitu? Saya tidak bisa
membandingkan. Saya bukan pelanggan tetap bar ini. Saya hanya mengetahui ada
bar ini dari seseorang—seseorang yang saya percaya. Dan dia memang jujur.” Ada
getir dari penekanan nadanya ketika mengucapkan kata seseorang.
“Sebelumnya sering ke bar?” dia bertanya. Aku
hampir lupa dengan rokok di tanganku. Aku menyesapnya; kali ini sedikit lebih
lama. Aku menikmati rasa peppermint yang menghiasi lidahku. Aku menghembuskan asap,
lalu tersenyum.
“Bisa dua sampai tiga kali dalam
sepekan.”
Kali ini, tanpa aku menyerahkan
batang rokok padanya, dia sudah meraihnya dari jepitan jari tengah dan
telunjukku. Aku terkejut.
“Sesering itu? Suka sekali minum
atau ada alasan lain?” tanyanya.
Aku menunggunya menyesap rokok
sebelum menjawab pertanyaannya. Dia tersenyum ketika menyadari bahwa aku
memerhatikan caranya merokok. Aku ikut tersenyum lalu mengambil batang itu. Menunggu
sebelum bicara.
“Aku tidak begitu suka minum. Saat
ke sini, aku bahkan lebih sering pesan greentea
daripada bir.”
“Kejutan. Aku tidak tahu bar ini
menyediakan teh hijau. Hei, Bosse,
rokoknya hampir habis.”
Aku meraih rokok itu. Menyesap
sebelum mematikannya. Sebetulnya, rokok itu belum terlalu pendek. Minimal, kami
masih bisa menikmatnya beberapa esap lagi. Tapi, aku sudah tidak peduli. Ada
sesuatu yang lebih menarik dari sekadar melakukan estafet rokok. Aku menyadari
bahwa dia sudah tidak menyentuh birnya lagi sama sekali. Ini menarik, aku juga
tidak merasa kaku lagi. Tunggu, aku lupa mengecek sesuatu. Aku melirik arloji.
Bagus.
“Hari ini beratkah, Bosse?”
Dia mengangguk.
Dia mengangguk tepat ketika aku
melirik arloji dan ketika jarum jam menunjukan sebelas lebih dua puluh menit.
Sebelum aku duduk di hadapannya, aku memastikan waktu. Pukul sebelas lebih
sepuluh menit.
Tepat sepuluh menit.
SUKA SUKA AAAHHH
BalasHapus