Mie Gerhana

Senja belum tenggelam ketika aku mendorong gerobakku menuju taman di pusat kota. Seperti biasanya, aku mengambil tempat di sudut taman, dekat bangku panjang dan sebuah lampu terang. Favoritku karena letaknya dekat dengan pintu masuk taman dan masih bisa dilihat oleh orang di luar taman. Sehingga dagangan mie-ku tak hanya dibeli oleh pengunjung taman, tapi juga orang yang berlalu lalang.

            Setelah sampai di tempat favoritku, aku segera menggelar tikar, membersihkannya, lalu meletakkan meja. Beberapa buah meja kecil kususun berjajar. Sasaran pembeliku adalah remaja. Jadi, tak masalah buat mereka nongkrong lesehan di kedaiku sambil makan mie. Setelah menyusun sendok, garpu, dan sumpit dalam satu tempat, aku beralih ke kompor untuk memasang gas.

            “Mari, Pak. Lagi siap-siap, ya?”

            Suara itu mampir di telingaku saat aku masih sibuk meletakkan tabung gas di bawah gerobak. Aku mendengakkan kepala.

                    Dan aku menemukan dia.

            Dia mengenakan setelan kaus panjang longgar, celana training, dan jilbab hitam. Dia tersenyum berdiri di depan gerobakku.

            “Iya, Bu, mau beli?” tanyaku, menyembunyikan keterkesimaan tolol yang baru saja kulakukan.

            “Ah, nanti saja, kapan-kapan. Lagipula, Bapak masih siap-siap.” Dia menjelaskan tanpa menanggalkan senyum sedikitpun. Aku balas mengangguk.

            “Saya cuma penasaran. Anak perempuan saya bilang ada kedai mie gerobak favorit di pojok taman kota. Seenak apa mie-nya sampai dia jadi lebih sering makan di sini daripada makan masakan saya?” terangnya bernada jenaka. Aku ikut tersenyum. Wanita itu ternyata punya tawa yang renyah, senyum yang menular.

            Tunggu ... tadi, apa dia bilang?

            Anak perempuannya?

            “Ya sudah, Pak, mari. Saya lanjut lari dulu.” Aku hanya mengangguk dan membiarkan wanita itu berlalu dari hadapanku.

            Aku menghela napas. Sudah lama senja tidak terasa hangat dan beku bersamaan seperti ini.

---

            Istriku meninggal delapan tahun yang lalu. Ketika Aditya anakku masih berumur dua belas.

            Resep mie yang sekarang kujual ini adalah hasil karyanya. Mie gandum yang direbus dan diaduk dengan potongan bumbu rempah, lalu disajikan dengan potongan ayam giling dan bakso. Aku juga menyediakan sepuluh level tingkat kepedasan untuk mie yang kujual di kedai gerbobak dengan nama ‘Mie Gerhana’.

            Gerhana itu nama istriku. Karena selain ia adalah pemilik resep, aku juga ingin membuatnya selalu kuingat. Dan, berkat Tuhan dan doa Gerhana dari surga, kedai mie yang telah kubuka hampir enam tahun ini mampu menyekolahkan Aditya sampai jenjang perguruan tinggi.

            Bicara soal anakku Aditya, biasanya sepulang kuliah ia membantuku berjualan. Kadangkala sambil membawa buku-buku untuk belajar. Aku sudah bersikeras melarangnya untuk ikut sehingga dia bisa belajar sekaligus jaga rumah. Tapi, Aditya lebih keras lagi. Dia selalu nekat ikut mendorong gerobak. Tak mau ayahnya lelah, katanya. Kadang, jika kuliahnya terlampau sore, ia akan pulang dulu untuk mandi, makan, dan sholat maghrib. Baru setelah itu menyusulku dan membantuku berdagang.

            Seperti malam ini, sepulang dari masjid, aku mendapati gerobakku—yang tadi kutitipkan pada tukang parkir taman—sudah ditunggui oleh Aditnya sembari anak itu membaca buku.

            “Dit,” panggilku. Ia menghentikan aktivitas membacanya lalu menyalamiku.

            Saat aku akan menanyakan bagaimana kuliahnya hari itu, dua orang remaja putri datang dan memesan dua mie gerhana level empat. Aditya segera sigap berdiri lalu merebus mie, sementara aku menyiapkan bumbu saus rempah.

            “Mas Adit, Mas Adit ....” satu dari dua orang remaja putri tadi memanggil Aditya. Aditya menoleh sambil tersenyum, “Gimana, Dik?”

            Dua orang remaja itu, bukannya menjawab, malah sibuk tersenyum-senyum sambil bergosip. Aku menggelengkan kepala, sementara Aditya acuh sambil memasukkan bakso ke dalam rebusan mie.

            Aditya memang tampan. Ia mewarisi kulit kuning langsat ibunya, mata tajam ibunya, dan hidung bangir milik ibunya. Sementara tubuhnya tinggi tegap, selain diwariskan dariku, juga karena kesukannya berolahraga. Fisiknyapun kuat, bahkan sampai bisa mendorong gerobak ini dengan satu tangan. Aku mulanya bahkan mengira bahwa gadis-gadis yang datang ke kedaiku, bukan karena mie gerhana-nya, melainkan karena Aditya. Tapi, ketika aku iseng mengatakan hal itu, Aditya malah tertawa.

            “Nggak, lah! Mie gerhana buatan Bapak, ‘kan, memang enak!”

            Setelah itu, aku tidak pernah berkata macam-macam lagi.

            Mie yang sudah matang, segera dituang Aditya ke dalam gelas besar yang akan kuaduk bersama bumbu rempah. Setelah itu, dua porsi mie yang sudah jadi kutuang dalam kotak.

            “Silakan, Dik,” ujar Aditya sambil menyerahkan bungkusan berisi dua kotak mie.

            “Ini, Mas Aditya,” gadis yang satu menyerahkan uang pas sambil tersipu-sipu.

            Begitu dua gadis pembeli pertama itu pergi, aku segera mengelap piring. Aditya berdiri di sebelahku, sepintas aku tahu bahwa anak semata wayangku ini tengah gelisah.

            Aditya mengambil sebuah lap berwarna merah dan membersihkan meja. Sementara aku sudah selesai degan aktivitasku, aku memutuskan duduk di bangku taman.

            “Pak, Adit boleh pacaran gak, sih?” Aku yang baru saja akan merokok mengurungkan niatku segera.

            Aku menghela napas. Adityaku sudah dewasa.

            “Boleh, tapi dia dibawa ke sini,” balasku.

            Aditya memasang wajah sumringah. “Iya, Pak. Malam ini memang rencananya mau saya kenalkan Bapak.”

            Aku menangguk, Aditya kemudian duduk di sebelahku,

            “Namanya Rajni. Teman sekampusku. Dia cerdas dan punya kesukaan berlebihan terhadap sastra, seperti ibu.” Aditya bercerita sambil tersenyum. Matanya menerawang menatap langit yang kehilangan bintang. Aditya pasti rindu Gerhana, ibunya. Aku bersyukur Aditya sudah menemukan sosok pengganti ibunya,

            Bicara soal pengganti, aku jadi teringat wanita yang kutemui sore tadi. Gerhana memang tidak pernah terganti, tapi, salahkah jika aku jatuh cinta lagi?

            “Rajni boleh ke sini, ya, Pak, berarti?” tanya Aditya, memastikan.

            “Boleh.”

            Aditya kini tersenyum lebar. Ia kemudian kembali melanjutkan mengelap meja. Lima menit kemudian, Aditya meminta izinku menjemput Rajni. Setelah mengambil jaket yang diletakannya di pegangan kursi taman, ia berjalan keluar.

            Aditya punya motor. Hasil tabungannya sejak SMP ia gunakan untuk membeli motor itu. Tapi, entah mengapa ia lebih suka berjalan kaki atau menggunakan angkutan umum. Aku senang ada seorang gadis yang bisa menerima Aditya apa adanya.

            Sudah tiga orang pembeli yang membungkus makanannya, dan dua orang yang masih sibuk menghabiskan mie mereka saat Aditya datang bersama Rajni.

            “Pak.” Dua orang terakhir yang membeli daganganku pergi saat Aditya meyalamiku disusul seorang gadis berambut sebahu yang terlihat malu-malu. Dia cantik dan sorot matanya tegas.

            “Dia Rajni, Pak.” Aditya menggenggam tangan Rajni.

            Aku mengangguk, “Nak Rajni mau makan mie level berapa?” tanyaku.

            “Biasa, Pak, level tiga,” jawab Rajni.

            “Lho, Rajni sering ke sini?” tanyaku mendengar kata ‘biasa’ dari pernyataannya.   

            “Sering, Pak. Tapi baru sadar kalau yang punya itu ayahnya Adit waktu dia bilang mau ajak saya ke sini,” jelas Rajni. Aditya di sebelahnya hanya terkekeh.

            “Ya sudah, untuk menyambut calon mantu, Bapak buatkan level tiga spesial. Silakan duduk, Rajni ...”

            Mendengar ucapanku, Aditya dan Rajni sontak memasang senyum tersipu yang sama.

            Dadaku terasa hangat.

            Aditya tampak tersenyum menatapku dari kursi taman dan aku membalas senyumnya. Mereka tampak serasi dan menggemaskan. Aku harap mereka menemukan esensi cinta itu. Saat ada satu masa di mana mereka tidak butuh waktu untuk menghitung lama atau sementara, karena kehadiran satu sama lain saja sudah cukup.

            Aku menengadah  menatap langit—lagi. Kekosongan hatiku penuh akan sajak-sajak hampa bernapaskan kerinduankau akan sosok Gerhana. Waktu berjalan begitu cepat sejak hari Gerhana pergi dan semua terasa sama. Sama kosongnya, sama sepinya.

            Ingatanku terbang pada sosok wanita yang kutemui tadi sore. Ada begitu banyak ketidaktentuan yang akan terjadi dengan waktu. Aku tidak menduga. Sudah delapan tahun sejak Gerhana pergi, dan tiba-tiba saja sepi di hatiku tidak terasa menakutkan lagi.

---

            Sudah lima hari berlalu sejak pertemuanku dengan wanita  itu karena dia jadi lebih sering lari sore dan kemudian menyapaku. Sekadar basa-basi, tanpa topik lebih dari sekadar itu. Tapi, pada suatu sore dihari ke tujuh, dia membuka sebagian tirai yang menutupi dirinya sedikit lebih lebar.

            Setahun yang lalu, suaminya meninggal.

            Wanita yang hingga kini belum kuketahui namanya itu bercerita singkat perihal suaminya yang pergi karena serangan jantung.

            “Nggak tahu, ya, Pak. Anak saya malah bisa lebih ikhlas dari saya,” begitu ujarnya. Aku tersenyum sambil sibuk menyusun sendok, garpu, dan sumpit dalam satu tempat.

            “Kalau menurut saya, sih, ikhlas itu bukan cuma perkara rela atau tidak rela,” kataku.

            “Jadi, ikhlas itu apa?”

            “Ikhlas itu saat segala sesuatunya pergi, namun masih merasa cukup.”

            “Cukup? Kadar cukup itu seperti apa?”

            “Tidak mau yang lebih,” ujarku. Aku menata tempat sendok di atas meja. “Anak ibu sekarang bahagia, ‘kan? Nah, ikhlas itu saat ibu tidak lagi meminta apa-apa selain anak ibu terus mempertahankan kebahagiaan itu.”

            Wanita itu menatapku dengan sorot mata tak terdefinisi “Bapak sedang membiacarakan saya atau orang lain?” tanyanya.

            Aku tersenyum, “Siapa yang akan tahu?”

            Kemudian ia tertawa renyah. Aku suka yang begini, ia paham tanpa perlu bertanya banyak  hal.

            Dan sore itu, ia berlalu meninggalkan hangat di dadaku. Kebekuanku mencair, kesepianku menguap.

            Aku seratus persen jatuh cinta.
---

            Malam minggu, Aditya membantuku berjualan. Ia membantu sejak sore karena ia tak ada kuliah hari ini. Jadi, sementara aku mempersiapkan kompor, Aditya menata meja, membersihkannya, dan menyusun tempat sendok.

            Malam minggu, mie gerhana biasanya ramai. Anak muda zaman sekarang lebih betah nongkrong berlama-lama di warung orang. Aku dan Aditya sibuk melayani pelanggan yang sudah banjir sejak habis maghrib tadi. Pukul setengah sembilan tepat, aku dan Aditya baru bisa istirahat.

            “Selamat malam ....” suara seorang ... bukan, dua orang wanita terdengar. Aku yang sedang berbaring di kursi taman segera bangkit berdiri.

            Rajni.

            Dan wanita itu.

            Kebetulan macam apa ini?

            “Rajni, Ibu ....” Aditya tahu-tahu sudah berdiri dan menyalami wanita itu sementara Rajni menyalami tanganku. Tiba-tiba saja, ada suara keras yang berdenging di telingaku. Tanda tanya memenuhi otakku.

            “Pak Wono, mie-nya ramai, ya?” wanita itu bicara.

            Aku masih belum berkata apa-apa.

            “Bapak, kenalin ini ibu saya.” Suara Rajni yang lembut malah terdengar begitu menghantam telingaku. “Tadi sore saya cerita kalau Bapaknya Aditya itu yang punya mie gerhana. Malamnya langsung minta ke sini untuk memastikan.

            “Iya, Pak. Saya senang Aditya ternyata anaknya Pak Wono. Ayahnya baik, insya Allah anaknya juga baik,” wanita itu bicara lagi.

            Aditya mendengar itu hanya tertawa geli, disusul kekeh Rajni. “Ibu bisa saja.”

            “Iya, kebetulan sekali, ya ... dari teman jadi besan.”

            Aku mengangguk berusaha tersenyum atas pernyataannya.

            “Ya sudah. Ibu sama Rajni mau mie level berapa?” tanyaku. Aku yakin nada suaraku terdengar getir.

            “Saya, ‘kan, baru pertama. Jadi level satu saja. Kalau Rajni biasa aja?” Rajni menangguk.

            Sialnya, seringkali lawan bicara kita tidak tahu bahwa dirinya sedang dicintai.

            Aku mengangguk kemudian berjalan menuju gerobakku. Aditya berinisiatif membantu, tapi aku melarangnya dengan dalih ia harus menemani Rajni dan ibunya. Dengan berat hati, Aditya menurut.

            Sambil merebus mie dan menyiapkan bumbu rempah, aku menghela napas. Malam ini sepi, tapi dadaku begitu ramai riuh. Retak dan kepingannya mulai tersebar ke mana-mana. Aku patah hati.

            Mie gerhana level satu milik wanita itu sudah jadi, tapi tak segera kuberikan. Aku masih sibuk membuat level tiga milik Rajni.

            Aku menghela napas. Baru kemarin-kemarin kami berbicara soal ikhlas dan hari ini aku harus mengikhlaskannya lagi.

            Tiba-tiba saja, aku ingin mencicipi bumbu rempah level tiga. Aku meraih sendok lalu mengambil sedikit kuah bumbu rempah itu. Ingatanku melayang pada sosok Gerhana seiring bumbu itu mengisi lidahku.

            Aku memberikan dua piring mie gerhana itu pada Rajni dan ibunya. Ibunya—wanita itu, tersenyum menatapku.

            Perpisahan sunyi.

            Pada kunyahan wanita itu saat memakan mie buatanku, aku berucap selamat tinggal sambil memejamkan mata. Lalu, aku menyuapkan sisa bumbu rempah sisa tadi ke mulutku.

            Gerhana ... Gerhana. Tiba-tiba saja aku rindu kau, Gerhana.

            Helaan napasku memberat. Dadaku hampa, perasaanku kosong lagi. Ternyata, hanya pada Gerhana aku boleh jatuh cinta.

            Aku melihat wanita itu sekali lagi. Menyaksikannya mengunyah mie buatanku—resep milik Gerhana. Cinta punya misterinya sendiri-sendiri. Dan kali ini, jawaban dari misteri cintaku adalah bahwa dia adalah ibu dari kekasih anakku. Seseorang yang rasanya begitu lucu untuk aku cintai.

            Maka dari itu, atas nama sementara, aku melepaskan cinta.


Batang, 30 Agustus 2016. Ditulis untuk melengkapi nilai tugas membuat cerita pendek Bahasa Indonesia.

Komentar

What's most